Amsterdam (Antara Babel)- Jaksa Pengadilan Pidana Internasional (ICC) mengatakan di Den Haag, Senin, bukti awal menunjukkan tentara Amerika Serikat kemungkinan terlibat kejahatan perang di Afghanistan serta pusat tahanan rahasia lain pada 2003 dan 2004. 

Dalam laporannya, jaksa itu mengatakan ada "informasi cukup masuk akal, yang membuat kami yakin" tentara AS menyiksa tahanan di Afghanistan dan pusat tahanan milik badan intelijen CIA selama rentang waktu itu. 

"Tentara AS tampaknya menyiksa 61 tahanan," kata pernyataan kejaksaan tersebut seperti dikutip Reuters.

Lembaga itu menambahkan bahwa petugas CIA dikabarkan juga menyiksa 27 tahanan lain. 

Kejaksaan pimpinan Fatou Bensouda itu mengatakan akan memutuskan mengadakan penyelidikan lebih lanjut. 

Hasil penyelidikan lengkap itu berpotensi membuat sejumlah pihak menuntut pelaku. 

ICC adalah jalur hukum terakhir yang dapat ditempuh jika pengadilan lain gagal, tetapi hanya akan berfungsi jika pihak tertuduh terbukti terlibat. 

Temuan Senin itu menunjukkan kemajuan dalam proses evaluasi pasca konflik di Afghanistan. Tampaknya masalah itu akan sulit kembali dibahas oleh komunitas internasional setelah Donald Trump terpilih sebagai presiden AS. 

"Tuduhan kejahatan itu bukan hanya soal penyiksaan ke tahanan tertentu," kata laporan tersebut. 

"Ulah itu tampaknya bagian dari pemeriksaan, yang disetujui dalam upaya mendapatkan informasi rahasia," katanya.

AS menduduki dan berjaga di Afghanistan untuk memburu pegaris keras Taliban juga al Qaeda yang dianggap bertanggung jawab atas serangan 11 September 2001. 

Kejahatan lain diduga dilakukan dalam penjara CIA di Polandia, Lithuania dan Romania, tambah jaksa. 

Pasalnya warga yang ditangkap di Afghanistan dikirim ke penjara itu. 

Laporan itu berisi sejumlah tinjauan awal yang akan diserahkan ke pengadilan. Pihak tersebut menemukan bahwa tersangka meliputi semua pihak yang berperang, baik itu Taliban dan pemerintah Afghanistan. 

ICC dibentuk pada 2003 untuk mengadili kasus kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. 

AS saat dipimpin George W. Bush cukup menentang pendirian ICC, sehingga negaranya tidak mendaftar untuk menjadi anggota. Namun Afghanistan, Lithuania, Polandia, dan Romania merupakan anggota ICC sehingga kasus itu masuk ke dalam yurisdiksinya. 

Di bawah kepemimpinan Bush yang mengutus John Bolton sebagai duta besar untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa - kini dianggap berpotensi mengisi kursi kabinet Trump - menyerang pengadilan itu.

Bahkan, parlemen meloloskan aturan membebaskan tentara AS dari vonis pengadilan itu.

Komite Intelijen Senat AS menerbitkan satu bagian dalam laporan progra penjara dan interogasi CIA dari 2001 sampai 2006 pada 2014 lalu. 

Laporan itu menyebutkan terjadi penyiksaan terhadap tahanan.

Pewarta:

Editor : Mulki


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2016