Jayapura (Antara Babel) - Provinsi Papua terletak di ujung timur Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara Papua New Guinea (PNG).

Untuk menandai batas wilayah RI-PNG, dibangun tanda batas negara yang berbentuk pilar atau tugu perbatasan yang disebut pilar batas atau Meredian Monument (MM), yang kini sudah terbangun di 52 titik.

Batas administrasi Provinsi Papua yakni sebelah utara dengan Laut Pasifik, sebelah timur dengan PNG, sebelah barat dengan Provinsi Maluku, dan sebelah selatan dengan Australia dan PNG.

Perbatasan daratan dengan PNG sepanjang kurang lebih 780 kilometer, dan berbatasan laut dengan PNG dan Australia di sebelah selatan pada tiga titik, dan sebelah utara pada dua titik.

Provinsi Papua juga berbatasan laut dengan Negara Republik Palau, yakni di sebelah utara pada Kabupaten Supiori tepatnya di Pulau Mapia (Pulau Padaido/Pulau Bras).

Terdapat enam kabupaten/kota dan 26 distrik (kecamatan) di Provinsi Papua yang berbatasan langsung dengan negara lain.

Di Kota Jayapura ibukota Provinsi Papua, memiliki satu distrik yang berbatasan langsung dengan PNG, yakni Distrik Muara Tami.

Di Kabupaten Keerom terdapat lima distrik yang berbatasan langsung dengan PNG yakni Distrik Arso Timur, Web, Senggi, Waris dan Distrik Towe.

Di Kabupaten Pegunungan Bintang terdapat delapan distrik yang bersebelahan dengan PNG, yakni Distrik Oksamoi, Iwur, Kiwirok Timur, Batom, Tarup, Murkim, Mafinop, dan Distrik Pepera.

Di Kabupaten Merauke terdapat empat distrik yang bertetangga dengan PNG yakni Distrik Mauken Jarai, Sota, Eli Gobel dan Distrik Ulilin.

Di Kabupaten Supiori hanya dua distrik yang berdekatan dengan PNG yakni Distrik Supiori Utara, dan Supiori Barat.

Di Kabupaten Boven Digoel terdapat enam distrik yang berbatasan langsung dengan negara tetangga PNG, yakni Distrik Kombut, Ninanti, Waropko, Sesnui, Ambatkwi, dan Distrik Subui.      
    
Sebagaimana perbatasan negara, terutama yang berbatasan darat, selalu ada permukiman penduduk di kawasan tapal batas, baik yang terdata maupun yang ilegal atau warga tanpa dokumen kependudukan.

Mungkin dianggap biasa jika jumlah warga ilegal yang bermukim di kawasan perbatasan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidaklah banyak, mengingat rakyat Indonesia sangat toleran.

Namun, menjadi masalah serius jika jumlahnya cukup banyak dan hal itu terjadi di kawasan perbatasan RI-PNG.

Jika dihitung maka sekitar seribu kepala keluarga (KK) penduduk di kawasan perbatasan RI-PNG dalam wilayah RI tidak beridentitas atau belum mengantongi Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Penduduk Indonesia tanpa identitas diri itu antara lain bermukim di Kampung Detto, Diggo, Naga, Bestop, Benkin dan kampung Kugo, Distrik Waropko, Kabupaten Boven Digoel.

Juga di sejumlah kampung di Kabupaten Merauke seperti Kampung Rawa Biru dan Yakyu, Distrik Sota.

Kepala Badan Perbatasan Kabupaten Merauke Albertus Muyak menyebut sekitar 500 orang warga perbatasan yang tidak beridentitas.

"Bagaimana kami mau proses kartu lintas batas kalau KTP dan KK tidak ada, sementara syarat pembuatan kartu lintas batas adalah KTP dan KK," ujarnya.

Ironisnya, hal itu sudah berlangsung sejak lama, sehingga membuka ruang warga negara tetangga leluasa bermukim di wilayah NKRI tanpa dokumen keimigrasian dan juga sangat mungkin warga Indonesia bermukim di wilayah PNG tanpa dokumen resmi.

Kepala Badan Perbatasan dan Kerja sama Luar Negeri (BPKLN) Provinsi Papua Suzanna Wanggai mengatakan cukup banyak warga Indonesia di kawasan perbatasan itu yang belum beridentitas.

"Hampir sebagian besar penduduk yang bermukim di perbatasan RI-PNG tidak memiliki KTP, sehingga kami minta pemda setempat agar membantu dengan memberikan identitas kependudukan agar jelas status kependudukannya dan kewarganegaraannya," ujarnya.

Suzanna memperkirakan jumlah warga Indonesia di kawasan perbatasan RI-PNG lebih dari 1.000 KK atau sekitar 3.000 jiwa.

Ia juga mengungkapkan bahwa sekitar 1.000 orang warga PNG bermukim di wilayah Papua tanpa dokumen resmi.

Sekitar 300 orang bermukiman di wilayah Kabupaten Keerom dan ratusan orang lainnya bermukim di kawasan perbatasan dalam wilayah Kabupaten Merauke.

Umumnya mereka bekerja di perkebunan kelapa sawit dan jumlah itu diperkirakan akan terus bertambah karena lemahnya pengawasan di garis batas kedua negara.

Keberadaan ratusan warga PNG di wilayah Papua juga tanpa dokumen resmi itu diketahui saat pendataan yang dilakukan bersama-sama dengan petugas dari PNG, di Skopro, Kabupaten Keerom, Provinsi Papua.

"Jumlah warga negara PNG di Skopro sekitar 300 jiwa dan jumlah itu diprediksi akan terus meningkat. Warga negara PNG itu selain bekerja di perkebunan kelapa sawit, anak-anak mereka juga bersekolah di sekolah yang ada di Skopro," kata Susi, panggilan akrab Suzanna Wanggai.

Warga PNG itu dilaporkan berasal dari Skotiou, salah satu wilayah PNG yang relatif dekat dengan wilayah Skopro, Papua, sehingga cukup leluasa bolak-balik dari kampung halamannya ke wilayah NKRI meski tanpa dokumen resmi.

Selain itu, pada pertengahan November 2016 mencuat permasalahan baru terkait warga perbatasan RI-PNG, yakni ditemukannya kampung terisolir yang dihuni lima KK sekitar 30 jiwa, yang menurut Satgas Pengamanan Perbatasan RI-PNG kampung itu tidak masuk dalam peta wilayah NKRI meskipun jelas-jelas berada di wilayah RI pada titik koordinat 9732-2580.

Kampung terisolir itu ditemukan Prajurit TNI dari Satgas Pamtas RI¿PNG dari Batalyon Infantri Raider 700 saat patroli pengawasan patok batas Meredian Monumen (MM) 7.2.

Mata pencaharian warga berburu dan berkebun namun hanya bisa untuk menyambung hidup sehari-hari, tanpa sarana pendidikan dan kesehatan di kampung yang mereka namakan Digi itu.

Bahasa sehari-hari yang mereka gunakan yakni bahasa daerah Dumnye dan sebagian besar penduduk setempat tak dapat berbahasa Indonesia.

Dengan demikian, identitas pribadi pun tidak ada sama sekali, meskipun mengaku sebagai bagian dari NKRI.

Keberadaan Kampung Digi tersebut menggambarkan wilayah perbatasan negara RI masih jauh dari perhatian pemerintah, padahal menjadi beranda negara.

Tentu saja masalah ini harus dibereskan demi tetap tegaknya wibawah NKRI di mata negara lain.

    

Wajib tanda pengenal
   
Terkait hal itu, BPKLN Provinsi Papua mendorong masyarakat yang tinggal di wilayah perbatasan untuk memiliki tanda pengenal berupa buku pelintas batas, selain mengurus KTP di pemerintahan setempat.

Kepala BPKLN Provinsi Papua Suzana Wanggai mengatakan sebagian besar warga perbatasan justru tidak memiliki buku pelintas batas.

Hal tersebut pada akhirnya membuat status kewarganegaraan para warga ini menjadi tidak jelas, padahal buku pelintas batas itu dapat juga berfungsi sebagai KTP.

Oleh karena itu, BPKLN terus berupaya mensosialisasikan pentingnya identitas diri itu agar warga Indonesia di perbatasan semakin paham dan peduli untuk membuat tanda pengenal.

Dengan memiliki buku pelintas batas, masyarakat dapat terbantu dari hal-hal yang tak diinginkan ketika berada di Papua Nugini.

"Makanya kami ke sana untuk mensosialisasikan mengenai aturan pelintas batas, ini sangat penting karena sebagian besar punya hubungan kekeluargaan dengan negara sebelah, tentunya karena saling kawin-mawin itu, tapi tetap diminta harus taat aturan," katanya.

Dia pun meminta pemerintah pusat agar hal ini juga menjadi perhatian, pasalnya selain fokus membangun infrastruktur perbatasan, juga harus melihat sisi status warga negara dengan memberikan buku pelintas batas yang juga berlaku sebagai KTP.

Pemberian kartu identitas sangat diperlukan karena masyarakat membutuhkannya untuk mengurus kartu lintas batas sebagai penganti paspor.

Sesuai perjanjian kedua negara masyarakat yang bermukim di perbatasan kedua negara tidak perlu menggunakan paspor atau hanya menggunakan kartu paslintas batas.

Bila pemerintah tidak membantu masyarakat mengurus identitas diri itu maka pembenahan status kependudukan warga perbatasan itu menjadi rumit, mengingat mereka enggan mengurus KTP di ibu kota kabupaten yang membutuhkan biaya cukup besar.

"Mudah mudahan pemda yang wilayahnya berbatasan dengan PNG mau mengalokasikan dana khusus untuk pembuatan kartu identitas bagi warganya itu," ujar Suzana.

Ia juga mengungkapkan masih banyaknya jalan tikus di sepanjang garis perbatasan RI-PNG, yang sering dimanfaatkan oknum tidak bertanggung jawab untuk melakukan penyelundupan narkoba jenis ganja atau transaksi ilegal lainnya.

Salah satu jalan tikus yang sangat rawan digunakan sebagai jalur penyelundupan yakni di Skouwpro dan Yabanda, Kabupaten Keerom.

Untuk itu, diperlukan sinergitas antara pemangku kepentingan untuk mengawasi dan menjaga daerah perbatasan RI-PNG dari wilayah Utara, Kota Jayapura hingga Selatan di Kabupaten Merauke.

"Hal inilah yang ke depan kita harus duduk bersama terkait pengawasan dan pembangunan di perbatasan, ini perlu ada untuk antisipasi masuknya barang-barang ilegal," katanya.

Sejak 2016, BPKLN Papua menjalin kerja sama dengan sejumlah daerah yang masuk wilayah perbatasan untuk membangun sejumlah pos dan melengkapinya dengan sarana-prasarana pendukung.

"Tahun ini kami dengan pihak Kabupaten Keerom dan Boven Digoel bangun pos di wilayah perbatasan, ini dilakukan agar pengawasan lebih optimal agar barang-barang ilegal dan haram (narkoba, minuman keras) tidak masuk ke Papua," katanya.

Pewarta: Anwar Maga

Editor : Mulki


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2016