Jakarta (Antara Babel) - Konservasi kelautan merupakan hal yang sama pentingnya dengan pemberantasan pencurian ikan karena melestarikan lingkungan kawasan perairan bakal menciptakan sumber daya yang berkelanjutan dan untuk kepentingan generasi mendatang.

Bahkan, lembaga Center of Maritime Studies for Humanities mengingatkan Kementeran Kelautan dan Perikanan bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mencabut surat izin usaha pencemar lingkungan kelautan.

"Dalam rangka mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan yang berkelanjutan, maka sudah semestinya penegakan hukum kepada pencemar lingkungan dilakukan," kata Direktur Eksekutif Center of Maritime Studies for Humanities Abdul Halim.

Apalagi, menurut Abdul Halim, bila berdasarkan laporan yang disajikan KLHK pada periode tahun 2015-2016, rekam jejak perusahaan perikanan terbilang negatif di dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Pencabutan izin usaha perikanan terhadap pelaku pencemar lingkungan, ujar dia, juga dimandatkan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan dan Pasal 90 ayat (1) UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyebutkan bahwa, "Instansi pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup berwenang mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup".

Sejumlah perusahaan yang bergerak di sektor pengolahan ikan yang salah satunya beroperasi di daerah Sulawesi Utara diketahui ada yang memperoleh peringkat hitam di dalam laporan Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER) Tahun 2016 yang diumumkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Di dalam dokumen PROPER 2016, disebutkan bahwa "peringkat hitam" diberikan kepada "mereka yang dalam melakukan usaha dan atau kegiatannya, telah dengan sengaja melakukan perbuatan atau melakukan kelalaian sehingga mengakibatkan terjadinya pencemaran atau kerusakan lingkungan, serta melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau tidak melaksanakan sanksi administrasi".

Selain itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga memberi peringkat merah kepada 22 perusahaan yang bergerak di bidang usaha pengolahan dan pengalengan ikan, udang, dan rumput laut.

Peringkat merah diartikan sebagai mereka yang telah melakukan upaya pengelolaan lingkungan tetapi belum sesuai dengan persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Terkait hal ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mesti memberikan pendampingan dan pengawasan ekstra kepada ke-22 perusahaan pengolahan dan pengalengan ikan tersebut agar terjadi perbaikan dalam menjalankan usahanya.

Di samping perusahaan pengolahan dan pengalengan ikan, terdapat enam perusahaan galangan kapal memperoleh peringkat merah dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan tersebar di Kepulauan Bangka Belitung dan Sulawesi Utara.

Oleh karena itu, ujar dia, dalam rangka memperkuat upaya mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dari hulu ke hilir yang berkelanjutan, maka salah satu langkah strategis yang harus dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan adalah memasukkan ketentuan pencegahan pencemaran lingkungan sebagai kriteria utama untuk memperoleh SIUP (Surat Izin Usaha Perikanan), SIPI (Surat Izin Penangkapan Ikan), dan SIKPI (Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan) dengan melibatkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

    
Benahi rumpon

Sementara itu, lembaga swadaya masyarakat bidang lingkungan Greenpeace menyerukan Kementerian Kelautan dan Perikanan membenahi tata kelola rumpon yang kerap dipasang secara liar di lautan sehingga mengganggu ekosistem.

"Kami ingin menyasar perbaikan rumpon di Indonesia. Penataannya harus dilakukan," kata Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, Arifsyah Nasution, dalam acara diskusi di Jakarta, Jumat (17/2).

Menurut Arifsyah, rumpon merupakan ancaman bagi lingkungan di kawasan laut Indonesia karena penempatannya tidak berdampak baik serta dilakukan secara ilegal atau tidak mengindahkan aturan yang berlaku.

Dia berpendapat ikan yang tertangkap karena peletakan rumpon yang ilegal, maka ikan tersebut juga dapat disebut sebagai hasil tangkapan yang melanggar hukum.

"Sesuatu yang tidak legal juga akan menjadikan tangkapannya juga menjadi ilegal," katanya.

Plt Dirjen Perikanan Tangkap KKP Zulficar Mochtar menyatakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) selama ini tidak pernah mengeluarkan satu izin pun untuk rumpon.

"Betul rumpon di Indonesia jumlahnya puluhan ribu tetapi tidak satu pun yang berizin," kata Zulficar Mochtar.

Untuk itu, ujar dia, pihaknya juga bakal melakukan pembenahan antara lain dengan menarik rumpon-rumpon skala besar yang akan dicabut dan dimusnahkan.

Hal tersebut, lanjutnya, karena selain rumpon-rumpon tersebut berstatus ilegal, peletakan rumpon di lautan dinilai juga tidak realistis untuk tata kelola sektor kelautan dan perikanan yang berkelanjutan.  
 
Dukung ketertelusuran

Greenpeace juga mendukung penerapan mekanisme ketertelusuran dalam rangka menyelamatkan komoditas tuna yang beberapa jenisnya dikabarkan mengalami situasi "overfishing" (penangkapan berlebih).

"Benahi dulu sistem ketertelusurannya, karena bila tidak maka akan tidak jelas darimana ikan itu ditangkap," kata Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, Arifsyah Nasution.

Menurut Arifsyah, bila suatu pihak menerima ikan yang tidak jelas dari mana dan bagaimana penangkapannya, maka bisa saja komoditas tersebut tidak legal sehingga barang yang diterima juga bisa ditetapkan sebagai komoditas yang ilegal.

Apalagi, ujar dia, saat ini dalam sistem distribusi perikanan juga masih belum terlalu jelas penegakannya mengenai ketertelusuran, atau yang dalam dunia internasional sering disebut sebagai mekanisme "tracebility" tersebut.

Karena itu, Arifsyah menyatakan pihaknya fokus di industri pengalengan di mana fenomena "tuna laundry" (pencucian komoditas tuna yang ditangkap tidak sesuai aturan yang berlaku) besar kemungkinan terjadi.

Berdasarkan sejumlah kriteria yang diterapkan Greenpeace untuk menilai kinerja industri kelautan dan perikanan, salah satu yang kerap disorot adalah aspek ketertelusuran yang tidak jelas.

Sementara itu, pembicara lainnya peneliti Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Fayakun Satria mengemukakan status untuk berbagai jenis ikan tuna adalah bervariasi.

"Ada beberapa yang harus dikelola. Sebenarnya kalau manusia tidak terlalu rakus, maka beragam jenis tuna akan aman-aman saja," kata Fayakun yang juga menjabat sebagai Koordinator Nasional Tim Keilmiahan Tuna di sejumlah organisasi pengaturan penangkapan tuna regional.

    
Promosi berkelanjutan

Sebelumnya, Republik Indonesia dan Amerika Serikat juga memperkuat kerja sama regional dalam mempromosikan sektor kelautan dan perikanan berkelanjutan di berbagai ekosistem laut nusantara yang memiliki keragaman biota sangat tinggi.

"Kami memiliki tantangan di bidang kelautan yang serupa secara bersama sehingga diperlukan solusi bersama," kata Duta Besar AS untuk RI, Joseph Donovan, dalam acara Forum Investasi dan Bisnis di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Jakarta, Kamis (16/2).

Program yang dinamakan "The Oceans and Fisheries Partnership" merupakan kemitraan antara Lembaga Pembangunan Internasional AS (USAID) dengan Pusat Pembangunan Perikanan Asia Tenggara (SEAFDEC).

Tulang punggung program adalah pengembangan dan implementasi dari sistem dokumentasi hasil tangkap dan ketertelusuran yang berkelanjutan secara finansial dan spesifik per negara.

Sistem dokumentasi yang disebut sebagai CDTS itu akan terintegrasi dengan sistem yang telah ada di pemerintahan, dan akan memasukkan elemen data kesejahteraan manusia, serta akan diterapkan dengan mengacu kepada kerangka pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem.

Pewarta: Muhammad Razi Rahman

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017