Tanjung Gusta, Sumatera Utara (Antara Babel) - Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) V mendorong percepatan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Masyarakat Adat yang saat ini masuk prioritas Prolegnas.
"Sejak 2012 RUU ini sudah diinisiasi, 2013 jadi hak usul inisiatif DPR, 2014 dibentuk Pansus, dan di 2015 Pansus sudah ke lapangan mengoleksi data dan menyerap aspirasi. Tapi ternyata sampai berakhirnya masa bakti periode dewan saat itu RUU gagal diundangkan," kata anggota Baleg DPR RI Luthfi Andi Mutty di Kongres Masyarakat Adat Nusantara V di Tanjung Gusta, Sumatera Utara, Kamis.
Menurut dia UU tentang Masyarakat Adat perlu ada karena sebagai pondasi perekat kebangsaan. Karenanya untuk mempercepat pengesahan dirinya meminta agar Pemerintah mau mengirimkan perwakilan yang mampu mengambil keputusan ketika membahas RUU ini dengan DPR.
Penyusun draft RUU Masyarakat Adat Rikardo Simarmata mengatakan optimistis RUU ini segera lolos menjadi Undang-Undang, karenanya harus segera diantisipasi oleh masyarakat adat sendiri.
UU Masyarakat Adat, menurut dia dibuat sesuai amanat Pasal 18 UUD 1945. Selama ini peraturan untuk pengakuan dan perlindungan masyarakat adat ada pada UU yang tersektoral sehingga membuat lelah pengurusannya mengingat Kementerian/Lembaga tidak sinergi.
Hingga November 2016, ia mengatakan isi RUU Masyarakat Adat menegaskan masyarakat adat sebagai subyek hukum, mengakui hak-hak adat terutama hak atas Sumber Daya Alam (SDA), mengakui wilayah adat, hak mendapatkan pendidikan, hak merasakan pembangunan.
KMAN V yang digelar di Kampung Tanjung Gusta pada 14-19 Maret 2017 juga menyoroti pelaksanaan Reforma Agraria sebagai salah satu kunci pemenuhan hak-hak masyarakat adat terhadap wilayahnya, kata Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan.
Presiden Joko Widodo telah memulai pengembalian hak-hak masyarakat adat melalui penyerahan Surat Keputusan Pengakuan Hutan Adat seluas total 13.122 hektare (ha) kepada sembilan komunitas masyarakat adat. Pengembalian hutan adat itu, menurut Abdon, sebagai salah satu perwujudan Nawacita Presiden dan upaya melakukan Reforma Agraria.
Meski demikian, ia mengatakan proses pengembalian hak-hak masyarakat adat tersebut masih panjang, mengingat yang sudah dipetakan AMAN mencapai delapan juta hektare sedangkan yang ditargetkan hingga 2020 mencapai 40 juta ha.
"Jadi ada rekognisi, redistribusi, legalisasi, dan restitusi. Sehingga jika berbicara tentang Reforma Agraria ya tidak boleh satu-satu harus empat-empatnya disebut," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017
"Sejak 2012 RUU ini sudah diinisiasi, 2013 jadi hak usul inisiatif DPR, 2014 dibentuk Pansus, dan di 2015 Pansus sudah ke lapangan mengoleksi data dan menyerap aspirasi. Tapi ternyata sampai berakhirnya masa bakti periode dewan saat itu RUU gagal diundangkan," kata anggota Baleg DPR RI Luthfi Andi Mutty di Kongres Masyarakat Adat Nusantara V di Tanjung Gusta, Sumatera Utara, Kamis.
Menurut dia UU tentang Masyarakat Adat perlu ada karena sebagai pondasi perekat kebangsaan. Karenanya untuk mempercepat pengesahan dirinya meminta agar Pemerintah mau mengirimkan perwakilan yang mampu mengambil keputusan ketika membahas RUU ini dengan DPR.
Penyusun draft RUU Masyarakat Adat Rikardo Simarmata mengatakan optimistis RUU ini segera lolos menjadi Undang-Undang, karenanya harus segera diantisipasi oleh masyarakat adat sendiri.
UU Masyarakat Adat, menurut dia dibuat sesuai amanat Pasal 18 UUD 1945. Selama ini peraturan untuk pengakuan dan perlindungan masyarakat adat ada pada UU yang tersektoral sehingga membuat lelah pengurusannya mengingat Kementerian/Lembaga tidak sinergi.
Hingga November 2016, ia mengatakan isi RUU Masyarakat Adat menegaskan masyarakat adat sebagai subyek hukum, mengakui hak-hak adat terutama hak atas Sumber Daya Alam (SDA), mengakui wilayah adat, hak mendapatkan pendidikan, hak merasakan pembangunan.
KMAN V yang digelar di Kampung Tanjung Gusta pada 14-19 Maret 2017 juga menyoroti pelaksanaan Reforma Agraria sebagai salah satu kunci pemenuhan hak-hak masyarakat adat terhadap wilayahnya, kata Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan.
Presiden Joko Widodo telah memulai pengembalian hak-hak masyarakat adat melalui penyerahan Surat Keputusan Pengakuan Hutan Adat seluas total 13.122 hektare (ha) kepada sembilan komunitas masyarakat adat. Pengembalian hutan adat itu, menurut Abdon, sebagai salah satu perwujudan Nawacita Presiden dan upaya melakukan Reforma Agraria.
Meski demikian, ia mengatakan proses pengembalian hak-hak masyarakat adat tersebut masih panjang, mengingat yang sudah dipetakan AMAN mencapai delapan juta hektare sedangkan yang ditargetkan hingga 2020 mencapai 40 juta ha.
"Jadi ada rekognisi, redistribusi, legalisasi, dan restitusi. Sehingga jika berbicara tentang Reforma Agraria ya tidak boleh satu-satu harus empat-empatnya disebut," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017