Jakarta (Antara Babel) - Ketua Dewan Pers Yosef Adi Prasetyo meminta Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) yang baru saja dideklarasikan membuat peraturan-peraturan internal terkait etik dalam pemberitaan di media siber.
"Inovasi lahir setiap saat, tetapi hukum selalu tercecer di belakang. Karena itu, hukum harus mengikuti inovasi, termasuk dalam hal etik," kata Yosef dalam Deklarasi AMSI di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Selasa.
Yosef kemudian mencontohkan kekosongan hukum yang kerap terjadi dalam pemberitaan media massa karena belum ada aturan yang mengatur, misalnya tentang siaran langsung di persidangan.
Pada sidang kasus Antasari Azhar, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sempat "berteriak" karena media menyiarkan materi persidangan yang berkaitan dengan asusila secara langsung.
Begitu pula dengan persidangan kasus pembunuhan Mirna Wayan Salihin yang kerap disebut "kasus kopi sianida". Penyiaran persidangan yang terus menerus dan secara langsung ternyata bertabrakan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
"Menurut KUHAP, hakim harus bisa memisahkan antara saksi dan ahli. Namun, karena disiarkan secara langsung, mereka bisa saling mendengarkan keterangan masing-masing," tuturnya.
Bila masyarakat pers tidak bisa mengatur dirinya sendiri melalui peraturan-peraturan terkait etik dalam hal tertentu, maka yang kemudian terjadi adalah masyarakat pers akan diatur oleh pihak lain.
"Itu terjadi pada persidangan Basuki Tjahaja Purnama dan kasus korupsi KTP elektronik. Majelis hakim yang menentukan persidangan terbuka dan bisa diliput langsung atau tidak," katanya.
Bila masyarakat pers bisa menyepakati pedoman dan aturan terkait dengan peliputan di persidangan, Yosef mengatakan Dewan Pers bisa mengomunikasikan etik peliputan kepada Mahkamah Agung.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017
"Inovasi lahir setiap saat, tetapi hukum selalu tercecer di belakang. Karena itu, hukum harus mengikuti inovasi, termasuk dalam hal etik," kata Yosef dalam Deklarasi AMSI di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Selasa.
Yosef kemudian mencontohkan kekosongan hukum yang kerap terjadi dalam pemberitaan media massa karena belum ada aturan yang mengatur, misalnya tentang siaran langsung di persidangan.
Pada sidang kasus Antasari Azhar, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sempat "berteriak" karena media menyiarkan materi persidangan yang berkaitan dengan asusila secara langsung.
Begitu pula dengan persidangan kasus pembunuhan Mirna Wayan Salihin yang kerap disebut "kasus kopi sianida". Penyiaran persidangan yang terus menerus dan secara langsung ternyata bertabrakan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
"Menurut KUHAP, hakim harus bisa memisahkan antara saksi dan ahli. Namun, karena disiarkan secara langsung, mereka bisa saling mendengarkan keterangan masing-masing," tuturnya.
Bila masyarakat pers tidak bisa mengatur dirinya sendiri melalui peraturan-peraturan terkait etik dalam hal tertentu, maka yang kemudian terjadi adalah masyarakat pers akan diatur oleh pihak lain.
"Itu terjadi pada persidangan Basuki Tjahaja Purnama dan kasus korupsi KTP elektronik. Majelis hakim yang menentukan persidangan terbuka dan bisa diliput langsung atau tidak," katanya.
Bila masyarakat pers bisa menyepakati pedoman dan aturan terkait dengan peliputan di persidangan, Yosef mengatakan Dewan Pers bisa mengomunikasikan etik peliputan kepada Mahkamah Agung.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017