Jakarta (Antara Babel) - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara berpendapat bahwa keterangan atau pun bukti-bukti dari saksi-saksi pelapor yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dapat diterima karena merupakan fakta hukum.

Menurut Abdul Rosyad, anggota Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara, video yang dijadikan barang bukti oleh saksi-saksi pelapor tidak ada yang diedit dan sama dengan yang ada di situs resmi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

"Pada awalnya saksi mendapatkan informasi dari orang lain mengenai adanya penodaan agama itu, mulai dari Facebook, WhatsApp, Masjid, dan cerita teman. Kemudian saksi mencari tahu melalui media Youtube dan video kunjungan itu diputar dalam persidangan dan dibenarkan terdakwa," kata Rosyad saat membacakan putusan terhadap Ahok di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa.

Majelis Hakim pun tidak sependapat dengan penasihat hukum bahwa saksi-saksi pelapor itu adalah  saksi yang mendengarkan dari orang lain dan hal tersebut harus dikesampingkan.

"Penolakan penasihat hukum itu tidak beralasan dan harus dikesampingkan sehingga keterangan saksi, terdakwa, dan adanya barang bukti berupa video kunjungan terdakwa di Kepulauan Seribu, menurut pengadilan terbukti secara fakta hukum," tuturnya.

Majelis Hakim pun menyatakan terdakwa secara sengaja berbicara mengenai Surat Al Maidah 51 dalam pidatonya saat melakukan kunjungan di Kepulauan Seribu. Apalagi terdakwa dalam bukunya berjudul "Merubah Indonesia" juga menyinggung Surat Al Maidah ayat 51.

"Menimbang bahwa yang dimaksud dengan sengaja adalah menghendaki dan mengetahui. Menimbang bahwa fakta hukum menunjukkan terdakwa sudah tahu dan paham ayat suci Al Quran sebagai kitab suci agama Islam, maka harus dihormati dan dihargai baik umat Islam maupun umat agama lain termasuk terdakwa. Hal ini berlaku juga untuk kitab suci agama lain," ucap Rosyad.

Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menjatuhkan pidana penjara selama dua tahun terhadap terdakwa kasus penodaan agama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

"Memperhatikan Pasal 156a huruf a KUHP dan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 serta ketentuan lain yang bersangkutan, mengadili menyatakan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penodaan agama. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa olah karena itu dengan pidana penjara selama dua tahun," kata Dwiarso.

Selanjutnya, kata dia, memerintahkan agar terdakwa ditahan, menetapkan barang bukti yang diajukan oleh penuntut umum berupa nomor satu dan seterusnya dan barang bukti yang diajukan oleh penasihat hukum berupa nomor satu dan seterusnya, seluruhnya tetap terlampir dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari berkas perkara, membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp5.000.

Atas putusan itu, Ahok akan mengajukan banding. Setelah putusan itu, Ahok pun langsung ditahan di Rutan Cipinang, Jakarta Timur.

Sebelumnya, JPU menuntut Ahok dengan menjatuhkan pidana penjara selama 1 tahun dengan masa percobaan 2 tahun.

"Maka disimpulkan perbuatan  Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sudah secara sah, terbukti, dan meyakinkan telah memenuhi rumusan-rumusan unsur pidana dengan pasal alternatif kedua pasal 156 KUHP," kata Ali Mukartono, Ketua Tim JPU saat membacakan tuntutan tersebut pada Kamis (20/4).

Sebelumnya, Ahok dikenakan dakwaan alternatif yakni Pasal 156a dengan ancaman 5 tahun penjara dan Pasal 156 KUHP dengan ancaman 4 tahun penjara.

Pasal 156a KUHP menyebutkan pidana penjara selama-lamanya lima tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

Sementara menurut Pasal 156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.

Pewarta: Benardy Ferdiansyah

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017