Kairo, Mesir (Antara Babel) - Berjalan melalui lorong-lorong distrik Maadi di Kairo, dua jam setelah tengah malam, Dalal Abdul Qader memukul tamburnya untuk membangunkan orang-orang agar dapat menyantap makanan sebelum fajar sebelum mereka mulai berpuasa sepanjang siang hari.

"Saya bukan hanya membangunkan orang untuk sahur, tapi saya juga berusaha membawa kebahagiaan kepada anak-anak yang mengikuti saya selama perjalanan saya setiap malam," kata Dalal Abdul Qader, yang bekerja sebagai tukang membangunkan sahur selama Ramadhan --atau dalam Bahasa Arab dinamakan "Musaharati (Misaharaty)"-- kepada Xinhua, saat ia menelusuri jalan sempit di distrik tersebut.

Ketika anak-anak kecil mendengar suara tambur perempuan itu, mereka segera keluar ke jalan dan mengelilingi dia dengan penuh kebahagiaan, kata Xinhua. Anak-anak tersebut terus mengikuti perempuan itu sampai ia menyelesaikan tugasnya.

Selain tambur untuk dipukul, Dalal Abdul Qader juga melantunkan lagu religi tradisional yang mendesak orang agar bangun dan makan sahur.

Saat ia berjalan, lampu menyala dan orang mulai menyiapkan sahur, sementara anak-anak melongok dari jendela dan melambaikan tangan ke arah perempuan itu.

"Saya merasa sangat dicintai ... orang di sini menghormati saya dan ini membuat saya merasa sangat bahagia," kata Dalal Abdul Qader saat ia melambaikan tangan ke seorang perempuan yang menyapa dia dari jendela tempat tinggalnya.

Buat Dalal Abdul Qaser, pekerjaan sebagai Musaharati bukan hanya menjadi cara memperoleh nafkah, tapi itu juga menghidupkan tradisi lama yang menghidupkan cinta dan kebahagiaan di kalangan keluarga dan kerabat.

"Melihat cinta ini mengelilingi saya sungguh tak ternilai," kata wanita tersebut sementara senyuman menghiasi wajahnya.

Tradisi itu berawal dari Kekhalifihan Fatimiyah sembilan abad lalu, ketika Musaharati, atau orang yang membangunkan sahur, adalah satu-satunya cara membangunkan orang untuk sahur sebab saat itu tak ada jam beralarm atau pengeras suara di masjid.

Perempuan muda tersebut mengatakan ia mulai membangunkan sahur dari pukul 23.00 sampai pukul 02.00 setiap hari. Ia menambahkan ia tak pernah merasa lelah atau bosan berkat cinta yang ia terima dari setiap orang yang ia temui.

Perempuan yang berusia 20-an tahun itu bekerja di laundry di Ibu Kota Mesir, Kairo, sepanjang tahun, tapi ia bekerja sebagai Musaharati selama Ramadhan untuk mengingatkan dia pada kakaknya, yang meninggal enam tahun lalu dan juga bekerja sebagai Musaharati.

"Saya telah bekerja sebagai penabuh tambur Ramadhan selama lima tahun ... saya benar-benar mencintai apa yang saya kerjakan," tambah perempuan muda tersebut.

Ia percaya rakyat tidak merasa aneh bahwa seorang perempuan melakukan pekerjaan cuma buat lelaki. Ia mengatakan perempuan di Mesir sekarang bisa bekerja di banyak bidang seperti montir mobil, pengemudi truk dan pekerja bangunan.

"Ramadhan tak memiliki rasa tanpa Musaharati," kata Eid Hussein (54) kepada Xinhua. "Kebanyakan orang mungkin tetap terjaga sampai saat sahur, yang lain memiliki teknologi baru untuk membangunkan mereka. Tapi tetap saja Musaharati menjadi daya tarik bulan suci."

Ia menyatakan setiap orang di lingkungan tersebut mencintai dan menghormati Dalal Abdul Qader sebab "ia membuat kami bahagian, karena ia mengingatkan kami pada warisan kami".

Selain menghidupkan kembali tradisi lama, pekerjaan itu juga menjadi sumber penghasilan buat Dalal Abdul Qader, yang hidup di negara yang mengalami kondisi ekonomi yang sangat sulit.

"Saya mendapat uang dari pekerjaan ini sebaqb orang memberi saya uang kontan pada akhir Ramadhan untuk pekerjaan membangunkan orang yang saya lakukan ... Saya memberi sangat banyak dari apa yang saya perolah buat anak-anak yang memerlukan dalam upaya membuat mereka bahagia," kata Dalal Abdul Qader dengan riang.

Saat waktu berpuasa makin dekat, perempuan muda tersebut mengakhiri pekerjaan membangunan orang dan mulai mengucapkan selamat berpisah dengan anak-anak yang mengikuti dia sepanjang perjalanannya.

Pewarta:

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017