Jakarta (Antara Babel) - Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo mempertanyakan pernyataan Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian  bahwa UU nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD khususnya tentang pelaksanaan panggil paksa itu tidak jelas hukum acaranya.

"Jujur saya agak terkejut mendengar pernyataan Kapolri Tito Karnavian bahwa UU MD3 khususnya tentang pelaksanaan panggil paksa itu tidak jelas hukum acaranya dan bahkan dikatakan tidak ada cantelannya di dalam KUHP," kata Bambang di Jakarta, Selasa.

Dia menjelaskan dirinya dan beberapa anggota Komisi III DPR seperti Benny Harman, Sarifudin Sudding, Azis Syamsudin, Ahmad Yani, Desmond J Mahesa masih ingat betul saat penyusunan UUMD3 tersebut.

Bambang yang juga anggota Pansus Hak Angket KPK itu mengatakan rumusan pasal 204 dan 205 UU MD3 itu justru atas permintaan Kapolri Jend Polisi Sutarman dan dengan rumusan tersebut menurut Kapolri sudah sangat cukup untuk Polri melaksanakan perintah DPR.

"Tidak perlu diatur lebih rinci. Itu dikemukakan Polri untuk menjawab permintaan anggota pansus RUU MD3 dari Demokrat Benny K Harman agar pasal tentang masalah pemanggilan paksa diatur secara tegas dalam UU MD3," ujarnya.

Setelah itu menurut dia lahir UU No.17 tahun 2014 tentang MD3 yang mengatur secara tegas dan jelas tentang tata cara dan pelaksanaan pemanggilan paksa itu didalam pasal 204 dan 205.

Politisi Partai Golkar itu mengatakan dalam Pasal 204 ayat 1-5 UU MD3 mengatur tegas dan jelas terkait pemanggilan paksa oleh Polri bahkan pada ayat 5 anggarannya pun diatur dan dibebankan ke DPR.

"Nah kalau sekarang Polri tiba-tiba menolak, masa DPR harus minta bantuan Kopassus atau TNI sementara di UU jelas, itu tugas Polri," katanya.

Bahkan menurut Bambang Soesatyo, dalam Pasal 205 ayat 7 UU MD3 secara tegas dan jelas juga memberikan hak dan kewenangan kepada pihak berwajib (polisi) untuk melakukan penyanderaan paling lama 15 hari atas permintaan Pansus atau DPR.

Sebelumnya Kapolri Jenderal Tito Karnavian menolak permintaan Pansus Hak Angket KPK DPR untuk menjemput paksa tersangka keterangan palsu dalam sidang kasus dugaa nkorupsi KTP Elektronik Miryam S. Haryani, jika pimpinan KPK tidak juga memberi izin hingga 3 kali pemanggilan.

"Kalau permintaan teman-teman (DPR), itu kemungkinan besar tidak bisa kami laksanakan karena ada hambatan hukum acara yang tidak jelas. Silahkan ahli hukum menyampaikan pendapatnya," ucap Tito dalam jumpa pers bersama pimpinan KPK di Gedung KPK, Jakarta, Senin (19/6).

Tito berpendapat, ketentuan dalam Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) yang mengatur penjemputan paksa terhadap siapa pun yang menolak hadir di Pansus DPR, hukum acaranya tidak jelas jika dikaitkan dengan KUHP.

Pewarta: Imam Budilaksono

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017