Jakarta (Antara Babel) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan memeriksa mantan anggota DPR RI Djamal Aziz dalam penyidikan tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan Kartu Tanda Penduduk berbasis Nomor Induk Kependudukan secara nasional (KTP-e).

"Yang bersangkutan sebagai saksi untuk tersangka Setya Novanto (SN)," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Selasa.

Selain memeriksa Djamal, KPK akan memeriksa pegawai PT Sucofindo Nadjamudin Abror juga untuk tersangka Setya Novanto.

Terkait penyidikan kasus KTP-e dengan tersangka Setya Novanto, KPK masih akan terus melakukan pemeriksaan saksi-saksi terutama untuk peran-peran pihak swasta dan DPR.

Sebelumnya, KPK pada Kamis (13/7) juga telah memeriksa Djamal Aziz dalam kasus yang sama untuk Andi Agustinus alias Andi Narogong yang saat ini sudah berstatus terdakwa terkait perkara KTP-e.

Djamal yang saat itu mantan Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) Partai Hanura di Komisi II DPR RI mengaku tidak mengerti sama sekali terkait proyek pengadaan KTP-e

"Ternyata saya itu tidak mengerti sama sekali tentang KTP-e ini soalnya saya Agustus 2010 itu sudah pindah ke Komisi X. Jadi, hampir tidak ngerti kan reses itu kalau tidak salah masuk 15 Agustus 2010 terus upacara Agustus-an, surat dari fraksi saya itu 18 Agustus sudah dikirim ke Komisi II bahwa saya dipindah ke Komisi X jadi hampir praktis tidak mengerti sama sekali," kata Djamal seusai diperiksa KPK sebagai saksi dalam kasus KTP-e di gedung KPK, Jakarta, Kamis (13/7).


Ia pun juga menyatakan bahwa pada saat duduk di Komisi II DPR RI dirinya tidak berada di Panitia Kerja (Panja) Otonomi Daerah (Otda) di bawah Kementerian Dalam Negeri sehingga tidak tahu soal rapat pembahasan proyek pengadaan KTP-e itu.

"Tidak tahu, kebetulan saya tidak di bawah Panja Otda, Otda itu kan di bawah Kemendagri, saya tidak di situ saya kebetulan di Panja Pertanahan di bawah Badan Pertanahan Nasional (BPN) jadi saya tidak ada korelasinya gitu," ucap Djamal.

Ia pun juga mengaku tidak kenal dengan Andi Narogong.

"Tidak kenal," jawab Djamal singkat.

Djamal juga mengaku tidak mengerti terkait namanya yang ada di dalam dakwaan KTP-e dan menerima aliran dana sebesar 37 ribu dolar AS.

Ia pun menyatakan pada saat dirinya diperiksa, penyidik menunjukkan bahwa kasus proyek pengadaan KTP-e terjadi pada 2011-2012, namun dirinya sudah dipindahkan ke Komisi X pada Agustus 2010.

"Makanya saya tidak ngerti, yang ngomong itu yang kamu tanya saya tidak ngerti. Itu kan di penyidik ditulis itu kan dimulainya September 2011 sampai 2012. Bagaimana saya harus ngerti?," ucap Djamal yang saat ini sebagai fungsionaris Partai Gerindra itu.

Dalam dakwaan perkara KTP-e dengan terdakwa Irman dan Sugiharto, Djamal yang saat itu Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) Partai Hanura di Komisi II DPR RI disebut menerima 37 ribu dolar AS terkait proyek KTP-e sebesar Rp5,95 triliun itu.

KPK telah menetapkan Ketua DPR Setya Novanto (Setnov) sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan KTP berbasis nomor induk kependudukan secara nasional (KTP-E) tahun 2011-2012 pada Kemendagri.

"KPK menemukan bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan seorang lagi sebagai tersangka. KPK menetapkan saudara SN (Setya Novanto) anggota DPR RI periode 2009-2014 sebagai tersangka karena diduga dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena kedudukannya atau jabatannya sehingga diduga mengakibatkan kerugian negara sekurang-kurangnya Rp2,3 triliun dari nilai paket pengadaan sekitar Rp5,9 triliun dalam paket pengadaan KTP-e pada Kemendagri," kata Ketua KPK Agus Rahardjo di gedung KPK Jakarta, Senin (17/7).

Setnov disangka melanggar pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Pewarta: Benardy Ferdiansyah

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017