Ambon (Antara Babel)- Para ibu rumah tangga di Piru, ibu kota Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) meresahkan terjadinya lonjakan harga garam pada dua hari terakhir ini mencapai Rp10.000/ kaleng ukuran susu cap nona.

"Khan selama ini hanya dijual para pedagang Rp5.000/kaleng, ternyata dua hari ini terjadi lonjakan yang meresahkan karena harga garam mencapai Rp10.000/kaleng," kata salah seorang warga Piru, Merry Sapasuru, dihubungi dari Ambon, Sabtu.

Dia mengemukakan, para pedagang beralasan bahwa stok garam berkurang sehingga menaikan harga agar tidak merugi karena bahan baku masak makanan itu dipasok dari Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB).

"Produksi di Bima berdasarkan penjelasan para pedagang juga berkurang karena faktor cuaca, makanya pemasokan ke Piru dengan mengandalkan transportasi laut tradisional juga terpengaruh," ujar Merry. 

Karena itu, pihak Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Pemkab SBB hendaknya menyikapi kekurangan stok maupun melonjaknya harga garam tersebut.

"Jangan hanya memantau bakan pokok masyarakat yang lain selanjutnya mengabaikan garam karena stok kebutuhan SBB selama ini dipasok dari Bima," katanya.

Dia menginginkan adanya program terobosan dari Disperindag Pemkab SBB untuk memanfaatkan laut yang dimiliki untuk memproduksi garam.

"Khan tersedia laut maupun lahan yang luas sehingga tinggal melatih para petani agar bisa memproduksi garam sehingga tidak tergantung pemasokan dari Bima sebagai salah satu sentra produksi utama di Indonesia," ujar Merry.

Kabupaten Bima termasuk sentra produksi garam terbesar di NTB. Bima termasuk sembilan dari 40 daerah sentra produksi garam yang ada di Indonesia.

Garam produksi petani Bima juga berkualitas sebagai realisasi dari program usaha garam rakyat (PUGAR). 

Pewarta: Alex Sariwating

Editor : Riza Mulyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017