Jakarta (Antara Babel) - Pakar hukum tata negara Margarito Kamis menyatakan bahwa pemeriksaan Setya Novanto dalam penyidikan tindak pidana korupsi KTP elektronik harus seizin Presiden Republik Indonesia.

Margarito memenuhi panggilan KPK sebagai ahli yang meringankan Novanto dalam penyidikan kasus korupsi KTP-el dengan tersangka Setya Novanto.

"Tiga pertanyaan doang. Seputar prosedur pemeriksaan terhadap anggota DPR. Itu yang saya jelaskan, harusnya ada izin dari Presiden," kata Margarito di Gedung KPK RI, Jakarta, Senin.

Margarito mengatakan bahwa pemeriksaan terhadap anggota DPR RI harus melalui izin Presiden juga sudah tertuang dalam Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3.

"Harus ... harus. Suka tidak suka begitu. Asal dia berstatus anggota DPR," kata Margarito.

Selain itu, dia merujuk pada putusan MK Nomor 21 Tahun 2014 terkait dengan pemeriksaan Novanto.    

"Untuk memeriksa tersangka menurut keputusan MK Nomor 21 Tahun 2014 mesti diperiksa dahulu sebagai calon tersangka. Untuk diperiksa sebagai calon tersangka, mesti ada izin dahulu dari Presiden," kata Margarito.

Ia pun menyatakan bahwa penetapan kembali Novanto sebagai tersangka juga tidak memenuhi prosedur.

"Menurut saya tidak cukup karena sejauh yang saya tahu dia tidak pernah diperiksa sebagai calon tersangka. Karena dia tidak pernah diperiksa sebagai calon tersangka, sementara MK mewajibkan dia untuk diperiksa sebagai calon tersangka," tuturnya.

Oleh karena itu, kata dia, terdapat "celah" bagi Novanto untuk "lolos" kembali di praperadilan.

"Iya, kemungkinan," kata Margarito.

Direncanakan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akan menggelar sidang perdana praperadilan Setya Novanto pada hari Kamis (30/11).

Adapun hakim tunggal Kusno akan memimpin jalannya sidang praperadilan Setya Novanto.

Setya Novanto ditetapkan kembali menjadi tersangka kasus korupsi KTP-el pada hari Jumat (10/11).

Setya Novanto selaku anggota DPR RI periode 2009 s.d. 2014 bersama-sama dengan Anang Sugiana Sudihardjono, Andi Agustinus alias Andi Narogong, Irman selaku Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri dan Sugiharto selaku Pejabat Pembuat Komitment (PPK) Dirjen Dukcapil Kemendagri dan kawan-kawan diduga dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu koporasi, menyahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan sehingga diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara atas perekonomian negara sekurangnya Rp2,3 triliun dari nilai paket pengadaan sekitar Rp5,9 triliun dalam pengadaan paket penerapan KTP-el 2011/2012 Kemendagri.

Setya Novanto disangkakan Pasal 2 Ayat (1) subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Perubahan atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP atas nama tersangka.

Sebelumnya, Setya Novanro juga pernah ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus proyek KPK-el pada tanggal 17 Juli 2017.

Namun, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui hakim tunggal Cepi Iskandar pada tanggal 29 September 2017 mengabulkan gugatan praperadilan Setya Novanto sehingga menyatakan bahwa penetapannya sebagai tersangka tidak sesuai dengan prosedur.

Pewarta: Benardy Ferdiansyah

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017