Jakarta (Antara Babel) - Setelah "mangkrak" selama 10 tahun, akhirnya DPR RI menyetujui RUU tentang Kepalangmerahan disahikan menjadi undang-undang pada rapat paripurna di Gedung DP/MPR/DPD  di Senayan Jakarta, Senin (11/12).

Penuntasan pembahasan Rancangan UU tentang Kepalangmerahan ini menandai babak baru organisasi kepalangmerahan di Indonesia.

Dikatakan babak baru karena kegiatan kepalangmerahan di semua negara yang didasarkan pada Konvensi Jenewa tahun 1949 atau juga dikenal sebagai Konvensi Palang Merah memerlukan legalitas lembaga dan perlindungan personelnya.  

Konvensi ini merupakan salah satu komponen dari Hukum Perikemanusiaan Internasional (HPI), suatu ketentuan internasional yang mengatur perlindungan dan bantuan korban perang. Selain di medan perang, kepalangmerahan juga berperan sangat penting saat terjadi musibah atau bencana alam.

Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Jenewa itu sekitar 57 tahun yang lalu melalui UU Nomor 59 Tahun 1958. Sebagai salah satu negara yang meratifikasi konvensi ini, pemerintah wajib mengatur lebih lanjut dalam sebuah UU tentang perlindungan lambang konvensi yang dipilih, termasuk tentang perhimpunan nasionalnya.

Pemerintah Indonesia melaksanakan kegiatan kepalangmerahan melalui Palang Merah Indonesia (PMI). Namun selain PMI, juga muncul komunitas-komunitas di masyarakat yang menyelenggarakan kegiatan kemanusiaan. Organisasi-organisasi kemanusiaan yang dilaksanakan masyarakat selama ini juga menyelenggarakan berbagai kegiatan penanganan masalah, khususnya saat terjadi bencana alam.

Bedanya ada pada penggunaan lambang. Lambang PMI sudah dikenal publik dengan warna palang merah dengan dasar putih. Berbeda lagi dengan lambang organisasi lain yang dibentuk oleh masyarakat atau komunitas, seperti Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI).

Persoalan penggunaan lambang inilah menjadi salah satu perdebatan di DPR RI. Inti perdebatannya adalah kalau yang resmi digunakan atau diakui sebagai lambang kepalangmerahan adalah lambang yang selama ini digunakan PMI maka bagaimana dengan lambang yang digunakan organisasi lain di luar PMI?

Ketua Umum BSMI Muhamad Djazuli Ambari, SKM, MSi, mengatakan selama 15 tahun terjun membantu kegiatan kemanusiaan, mereka telah menggunakan lambang bulan sabit merah. Persoalannya apakah nantinya peran BSMI dan lembaga kemanusiaan lain yang menggunakan lambang bulan sabit merah akan dihilangkan setelah RUU ini menjadi UU?

Dalam kaitan ini, BSMI berharap pemerintah memperbolehkan perorangan atau kelompok masyarakat menggunakan lambang kepalangmerahan untuk berkiprah di dalam negeri. Tetapi pemerintah dapat menunjuk PMI sebagai wakil resmi Indonesia di saat kegiatan kemanusiaan di luar negeri yang dikoordinasi Komite Palang Merah Internasional (ICRC).

Ketua Komisi X DPR Syamsul Bachri memberi penjelasan terkait  lembaga kemanusiaan selain PMI yang harus bekerja sama dan berkoordinasi dengan PMI. Pada pasal 32 tentang peran serta masyarakat, peran lembaga kemanusiaan yang ada di Indonesia sangat terbuka untuk terlibat secara aktif. RUU ini juga menjamin bahwa lembaga kemanusiaan yang ada di Indonesia terus dapat melakukan aktivitasnya  selama ini sebagaimana tercantum dalam pasal 42.

Sampai di sini perdebatan dan kekhawatiran komunitas masyarakat yang menyelenggarakan kegiatan kemanusiaan kepalangmerahan menemukan titik terang. Selama kegiatan kepalangmerahannya tidak dilarang, maka peran komunitas dan masyarakat  dalam kegiatan penanganan bencana tampaknya hanya mensyaratkan adanya koordinasi dan kerja sama dengan PMI.

Kalaupun masih ada keberatan, maka mekanisme hukum dapat ditempuh melalui "judicial reviev" di Mahkamah Konstitusi (MK). Namun apakah pihak-pihak yang semula keberatan masih akan menindaklanjutinya ke MK? Waktu akan membuktikannya

Disambut

Penuntasan pembahasan RUU tentang Kepalangmerahan oleh DPR RI disambut gembira para sukarelawan PMI di berbagai daerah mengingat UU ini sudah lama dinantikan. Dalam kurun waktu 10 tahun "mandeg" di DPR, mereka bertanya-tanya mengapa begitu lama. Bahkan ungkapan kekecewaan itu dilakukan melalui beberapa kali demonstrasi.

Namun kelegaan kini mereka rasakan setelah RUU Kepalangmerahan disetujui untuk disahkan menjadi UU. PMI Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, misalnya, menyambut positif disetujuinya RUU Kepalangmerahan

Humas PMI Kabupaten Sukabumi Atep menilai pengesahan ini menjadi angin segar bagi para sukarelawan PMI di daerah. Nantinya Undang-Undang Kepalangmerahan ini menjadi payung hukum dalam melaksanakan tugas kemanusiaan di lapangan. Selama ini tak sedikit sukarelawan PMI yang menjadi korban saat menjalankan tugas kepalangmerahan di lapangan.

Hal lainnya yang diatur dalam undang-undang itu, yakni menyangkut pendanaan kepalangmerahan. Kegiatan kepalangmerahan akan memperoleh pendanaan dari masyarakat dan pemerintah daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan tidak mengikat. Intinya, adanya Undang-Undang Kepalangmerahan ini memberikan kepastian hukum saat sedang melaksanakan tugas operasi kemanusiaan.

Sedangkan bagi PMI Sulawesi Selatan, pengesahan UU Kepalangmerahan menjadi kado spesial bagi sukarelawan PMI pada akhir 2017. Pengesahan ini sekaligus menjadi kado peringatan Hari Sukarelawan PMI pada 26 Desember.  

Menurut Humas MI Sulawesi Selatan Ahmad Syarif, pengesahan undang-undang ini bukan untuk menyakiti organisasi kemanusiaan lain. Kebersamaan dalam kemanusiaan harus tetap dijaga. Organisasi kemanusiaan lain tetap bisa melaksanakan kegiatan kemanusiaan sesuai dalam peraturan perundang-undangan.

Yang jelas UU tentang Kepalangmerahan ini nantinya untuk memberikan perlindungan kepada penyelenggara kepalangmerahan sehingga wajib mendapatkan perlindungan terutama perlindungan dalam melaksanakan tugas di lapangan. Di sisi lain, diharapkan dengan lahirnya Undang-Undang Kepalangmerahan tidak ada lagi oknum yang menyalahgunakan lambang palang merah.

Namun lambang PMI hanya bisa digunakan personel, unit pelaksana teknis, fasilitas dan peralatan medis, bangunan, sarana transportasi kesehatan dan sarana lainnya yang berkaitan dengan PMI. Intinya, UU ini melarang penggunaan nama dan lambang palang merah di luar kegiatan kepalangmerahan.

    
Tantangan

Kini payung hukum mengenai kepalangmerahan telah disetujui oleh DPR RI untuk disahkan. Pengesahan RUU ini berlangsung di tengah banyaknya ancaman dan potensi bencana di Indonesia. Bahkan bukan ancaman lagi tetapi sudah kenyataan.

Badai Cempaka pada akhir November dan badai Dahlia pada awal Desember 2017 telah terjadi dan menyebabkan banjir, gelombang tinggi, tanah longsor dan angin puting beliung di beberapa daerah. Ancaman dan potensi bencana diperkirakan masih ada terjadi berdasarkan analisis dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG).

Analisis dan prakiraan cuaca BMKG secara rutin disampaikan kepada publik. Dalam beberapa hari, terakhir BMKG selalu mengeluarkan peringatan dini mengenai hujan, petir dan gelombang laut yang harus diperhatikan masyarakat, pemerintah dan otoritas serta operator angkutan umum..

Pada saat yang sama Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) juga telah membuat peta kawasan rawan bencana. Selain itu, peringatan dini dan imbauan kewaspadaan selalu disampaikan kepada masyarakat.

Dalam situasi seperti ini, tugas berat tampaknya berada di depan mata para relawan kepalangmerahan. Bukan hanya akan menghadapi tugas, namun justru telah bertugas hingga waktu terus-menerus mengatasi persoalan pascamusibah atau bencana yang telah serta diperkirakan akan terjadi. Perkirakan itu berdasarkan peringatan dini dari  BMKG dan BNPD serta BPBD.

Karena itu, disetujui untuk disahkannya RUU Kepalangmerahan jangan sampai menjadikan jajaran sukarelawan kepalangmerahan terlena, namun justru menjadi pemacu untuk lebih bekerja keras dalam menangani persoalan kemanusiaan yang timbul pascabencana.  

Pewarta: Sri Muryono

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017