Indramayu (Antaranews Babel) - Dengan sisa tenaga yang ada, Pak Denggol (62) merapatkan perahu kecilnya di pinggir Sungai Eretan, Indramayu.

Ia melaut sekitar lima jam dan baru kembali siang itu dengan membawa satu ember ikan yang sebagian merupakan lauk untuk keluarganya.

Ia tidak sendiri, tetapi bersama nelayan dengan jaring arad lain, seperti Karyani (45) dan Mustofa (40), masih mengais rezeki untuk makan sehari-hari pada musim barat, di mana alat tangkap lain tidak efektif beroperasi.

Jika musim barat selesai, mereka juga akan menggunakan kembali  jaring gilnet bantuan Pemerintah.

Arad memang akrab dengan nelayan miskin sejak belasan tahun yang lalu karena harganya cukup murah, yaitu Rp15 juta untuk jaring bekas dan Rp20 juta jika beli baru.

Harga itu jauh lebih murah dibandingkan dengan gilnet dan mini pursain. Satu set mini pursein mencapai Rp200 juta.

Arad bisa dikatakan mini cantrang karena ukurannya lebih kecil dan bisa dioperasikan seorang diri. Jaring yang mengantong ini cukup ditebar dan ditarik atau dihela dengan kapal motor kecil ukuran tiga gross ton (GT).

Tidak perlu lama menggeber jaring, cukup satu jam jaring diangkat. Kalau hasilnya kurang kembali dihela dan kalau hasilnya cukup untuk menutupi biaya perbekalan, nelayan akan kembali.

Dengan waktu penangkapan yang singkat, biaya perbekalan untuk solar dan makan siang cukup Rp100 ribu.

Saat musim barat seperti ini, rata-rata mereka mampu membawa 5-10 kilogram ikan. Jadi masih ada sisa minimal Rp50 ribu untuk kebutuhan dapur keluarga.

Akan tetapi hari itu mereka beruntung. Tangkapannya banyak udang krosok yang sekilonya bisa terjual Rp35 ribu. Namun, jika musim barat usai, nelayan arad itu mampu menangkap ikan sampai 200 kilogram dalam satu hari.

Tiga nelayan tersebut adalah bagian dari 120 nelayan di Eretan Kulon  yang sudah mendapat bantuan jaring gilnet dari pemerintah, masing-masing 10 piece.

Gilnet merupakan jaring ingsan ikan di mana pengoperasiannya dipasang vertikal menghadang pergerakan ikan. Ikan yang menabrak, ingsangnya akan terjerat. Ini merupakan alat tangkap ramah lingkungan yang diserahkan pemerintah untuk mengganti cantrang dan arad yang dilarang pemerintah.

Namun, saat musim barat yang dimulai pertengahan November 2017 dan kemungkinan masih berlangsung sampai awal Februari, gilnet tidak efektif.

Pak Denggol yang mempunyai nama asli Waryadi, dua minggu lalu juga mencoba menggunakan gilnet, tetapi hanya satu dua ekor ikan yang terjerat. Saat gelombang besar, jarang ada ikan yang bergerak di permukaan.

Demikian juga alat tangkap pursein tidak efektif karena alat itu  menjaring di permukaan dan saat arus laut berubah-ubah tidak mampu membuka sempurna.

Sementara cantrang merupakan alat tangkap ikan yang dilengkapi dua tali penarik yang cukup panjang, dikaitkan pada ujung sayap jaring.

Bagian utama dari alat tangkap ini terdiri atas kantong, badan, sayap atau kaki, mulut jaring, tali penarik (warp), pelampung, dan pemberat.

Begitu jaring ditebar kemudian ada mesin penarik dua tali utama dan kapal juga bergerak sehingga kecepatan jaring di dalam air melebihi kecepatan kapalnya.

Satu kapal cantrang ukuran 15 sampai 30 GT memerlukan 15-18 ABK, sementara jaring arad hanya perlu 2-3 ABK, bahkan seorang diri juga bisa beroperasi.

Alat cantrang dan arad itu  bisa dioperasikan sepanjang tahun, sehingga tempat pelelangan ikan di daerah nelayan cantrang dan sejenisnya tidak pernah sepi. Sebagai contoh Desember 2017 lalu di TPI Eretan Kulon mampu melelang 414.600 kilogram ikan, sementara TPI Eretan Wetan tutup karena tidak ada nelayan yang melaut.

Pemerintah melarang cantrang dan arad melalui  Permen Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015, yang terakhir pemberlakuannya ditoleransi sampai Desember 2017.

Kemudian secara lisan Menteri KP Susi Pudjijustru di hadapan pengunjuk rasa di Jakarta, memberikan toleransi sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Dengan catatan nelayan tidak boleh menambah lagi alat tangkap yamg dilarang itu.

Tidak Semua Menolak

Tidak semua nelayan menolak Permen KP Nomor 2 itu, karena sebagian nelayan justru mendukung pelarangan pukat hela itu.

Nelayan di Aceh, Bengkulu, Lampung, sebagian besar Sulawesi, Bali, NTB, dan NTT, semua mendukung pelarangan itu karena memang semua jenis ikan terjaring alat tangkap itu, termasuk ikan-ikan yang belum tumbuh dewasa.

Hal itu akan mengganggu kelestarian ikan. Hasil tangkapan nelayan setempat menjadi menurun jika kapal pukat hela beroperasi di perairan mereka.

Hampir semua nelayan di Eretan Wetan yang berseberangan dengan Eretan Kulon memahami makna kelestarian sehingga mereka tidak tergoda menggunakan model pukat hela. Mereka tetap menggunakan gilnet dan pursein walau harus puasa melaut saat musim barat.

Dulunya dua desa itu menggunakan jaring lampara dasar dan kemudian sebagian berganti dengan gilnet, pursein, dan cantrang.

Waryadi sendiri yang merupakan generasi tua di Eretan Kulon, dulunya adalah nelayan gilnet.

Ia merasakan betul banyaknya hasil tangkapan ikan sebelum maraknya cantrang dan arad.

"Kalau harus memilih, saya lebih baik pilih gilnet," katanya.

Akan tetapi, syaratnya semua kompak meninggalkan cantrang dan arad.

Hanya saja memang harus ada solusi pekerjaan bagi nelayan saat muncul musim barat. Hal itu menjadi pekerjaan rumah yang harus dipecahkan bersama.

Solusi tersebut tentang bagaimana memberikan kegiatan produktif bagi nelayan manakala musim barat di mana alat tangkap ramah lingkungan tidak efektif digunakan.

Seorang tokoh nelayan Desa Eretan Kulon, Royani, menyebut harus ada tahapan sebelum cantrang dan sejenisnya dilarang total, seperti menyiapkan proses penggantian alat tangkap dan memberikan alternatif usaha sampingan bagi rumah tangga nelayan.

Royani yang juga Sektetaris KUD Mina Bahari mendirikan SMK Hasanudin yang ada di Eretan Kulon dan mulai mengenalkan keterampilan membuat somay ikan dan budi daya lele biflok yang dipadukan dengan tanaman aquaponik.

Usaha somay ikan dari sekolah itu sudah dipasarkan sampai Bandung, Bogor, dan Jakarta.

Demikian juga  budi daya lele di kolam terpal bundar dan aquaponik itu ditularkan  pada generasi muda dan ibu-ibu nelayan di Eretan Kulon dengan harapan mereka mempunyai pekerjaan sampingan selain mencari ikan di laut.

Nelayan juga berharap ada pekerjaan lain saat musim barat sehingga tidak sepanjang tahun mengejar ikan di laut.

Apa yang sudah dilakukan SMK itu hendaknya berkelanjutan dengan dukungan pemda dan swasta melalui program tanggung jawab sosial perusahaan, sehingga mereka yang sudah diberi pelatihan mampu mencoba dengan bantuan modal usaha.

Pewarta: Budi Santoso

Editor : Riza Mulyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2018