Tembakau merupakan salah satu komoditas perkebunan di Indonesia, meskipun bukan tanaman asli dari Nusantara, yang menjadi bahan dasar rokok.

Kata "rokok" diadopsi dari bahasa Belanda "roken" yang berarti mengisap asap tembakau. Merokok juga bukan kebiasaan asli rakyat Nusantara, melainkan diperkenalkan oleh penjajah Belanda.

Tembakau diperkirakan masuk ke Nusantara pada abad XVI dibawa oleh bangsa Portugis dan Spanyol. Tanaman tersebut berasal dari Amerika Selatan dan Hindia Barat.

Tembakau ditanam dan berkembang di Hindia Timur setelah kolonialis Belanda menjadikannya tanaman komersial melalui sistem tanam paksa yang diberlakukan kepada rakyat pribumi.

Kolonialisme bangsa Belanda, sejak dari Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) hingga pemerintah kolonial Hindia Belanda, berjalan selama 3,5 abad di Nusantara.

Selama itu pula, tembakau ditanam di Nusantara dan hingga kini produknya diinovasi dengan berbagai rasa, misalnya rokok kretek yang dipadukan dengan cengkeh yang merupakan tanaman asli Nusantara.

Karena itu, tembakau memiliki sejarah yang cukup kelam di Indonesia. Tembakau merupakan salah satu komoditas yang dipaksakan untuk ditanam di tanah Nusantara untuk kepentingan bangsa kolonialis.

Tentu tembakau memiliki nilai yang berbeda dengan cengkeh atau lada, yang meskipun juga merupakan salah satu komoditas tanam paksa, tetapi merupakan tanaman asli Indonesia.

Sebagai produk berupa rokok, dan sejauh ini tembakau memang lebih banyak digunakan untuk dibakar dan dihisap asapnya sebagai rokok, tembakau belakangan menimbulkan berbagai permasalahan.

Rokok dituduh, yang telah dibuktikan oleh berbagai penelitian yang sahih, mengakibatkan berbagai dampak buruk bagi kesehatan. Dampak buruk rokok bahkan bukan hanya dialami oleh para perokok, tetapi juga orang-orang di sekitarnya sebagai perokok pasif.

Karena itu, lebih dari 180 negara di dunia telah mengaksesi dan meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Indonesia, sebagai salah satu negara yang ikut merumuskan FCTC, ternyata malah belum mengaksesi konvensi tersebut.

Sebagai anggota tetap PBB, Indonesia saat itu ikut menyuarakan arti penting pengendalian tembakau. Namun, ternyata di dalam negeri, upaya pengendalian tembakau tidak semudah bersuara di forum internasional.
   
Hilang

Pembuatan peraturan yang mengatur tembakau di Indonesia diwarnai dengan "kecelakaan" ayat atau pasal yang "hilang".

Kejadian pertama adalah saat pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Kesehatan menjadi Undang-Undang pada 1992. Saat itu, ayat yang menyebutkan nikotin sebagai zat adiktif tiba-tiba "menghilang".

Pada 2005, ketika berbagai negara sedang merumuskan FCTC dan Indonesia terlibat di dalamnya, muncul usulan Rancangan Undang-Undang Pengendalian Dampak Produk Tembakau Terhadap Kesehatan (PDPTTK) yang diusung sejumlah anggota DPR.

"RUU PDPTTK itu menggunakan rezim kesehatan sehingga berupaya mengendalikan tembakau," kata Koordinator Program Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani.

RUU PDPTTK itu tidak kunjung dibahas oleh DPR. Hingga pada 2006, ketika FCTC sudah disahkan, muncul desakan agar Indonesia segera mengaksesinya meskipun tidak juga ditanggapi.

Kejadian peraturan yang hilang berulang pada 2009, ketika DPR dan pemerintah membuat Undang-Undang Kesehatan yang baru. Saat itu, pasal yang menyebutkan tembakau sebagai zat adiktif tiba-tiba "hilang".

"Kejadian itu diketahui saat Undang-Undang Kesehatan sudah disetujui dan diperiksa oleh Kementerian Sekretariat Negara. Di bagian tubuh Undang-Undang hilang, tetapi di bagian penjelasan masih tetap ada," tutur Julius.

Kejadian itu sempat membuat heboh karena diduga dilakukan oleh seorang anggota DPR. Kabarnya, anggota DPR itu sempat "disidang" oleh Badan Kehormatan DPR dan dijatuhi sanksi tidak boleh memimpin alat kelengkapan DPR.

Pada 2009 hingga 2011, upaya pengendalian tembakau sempat mendapat angin segar karena RUU PDPTTK dibahas oleh DPR. Namun, angin segar itu menjadi angin lalu ketika RUU PDPTTK akhirnya diendapkan.

Hanya berselang setahun setelah RUU PDPTTK diendapkan oleh DPR, tiba-tiba muncul Rancangan Undang-Undang Pertembakauan dalam sidang paripurna DPR pada 2012.

"Kemunculan RUU Pertembakauan jelas menyalahi aturan DPR sendiri. Menurut tata tertib DPR, RUU yang sudah diendapkan tidak bisa diusulkan kembali esensinya selama dua tahun. RUU PDPTTK diendapkan muncul RUU Pertembakauan yang objeknya sama," kata Julius.

Pembahasan RUU Pertembakauan masih belum memasuki tahapan selanjutnya pada tahun-tahun berikutnya. Penyebabnya jelas, ada yang mendukung dan ada yang menolak.

Kelompok yang menolak RUU Pertembakauan menggunakan dasar pemikiran kesehatan masyarakat dan menilai RUU tersebut mengabaikan fakta-fakta dampak negatif rokok.

Sedangkan kelompok yang mendukung menggunakan dasar pemikiran kesejahteraan petani dan pekerja di sektor pertembakauan, yang oleh kelompok penolak dianggap sebagai kamuflase untuk menutupi fakta bahwa RUU tersebut kental dengan kepentingan industri rokok.

Tidak cukup sampai di situ, kelompok pengusung RUU Pertembakauan kemudian berusaha memasukkan kepentingan tembakau di RUU lain. Sasaran mereka adalah RUU Kebudayaan yang naskahnya disusun pada 2015 hingga 2016.

Mereka mengajukan dasar pemikiran bahwa rokok kretek, yang berbahan dasar tembakau dan cengkeh, adalah warisan budaya Indonesia. Usulan tersebut ditolak sehingga akhirnya tembakau dan rokok kretek gagal masuk dalam naskah RUU Kebudayaan.

Menanggapi tarik ulur RUU Pertembakauan, Julius mengatakan RUU tersebut sangat sarat dengan kepentingan industri rokok, sehingga seharusnya lebih tepat bila dinamakan RUU Rokok.

"Kalau menyebut RUU Rokok tentu sangat vulgar. Padahal jelas yang dibahas hanya produk tembakau sebagai rokok, tidak ada pembahasan tentang produk lain," tuturnya.

Menurut Julius, bila RUU Pertembakauan disahkan menjadi Undang-Undang, maka akan mengancam banyak aturan hukum lain karena substansinya disharmoni dengan aturan yang melindungi hak-hak dasar, yaitu kesehatan, lingkungan hidup, serta perlindungan anak dan perempuan.

Naskah RUU Pertembakauan bertentangan dengan 21 undang-undang, Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Anak serta 255 peraturan daerah tentang pengendalian tembakau.

RUU Pertembakauan akan mengancam peraturan-peraturan tersebut karena dalam naskahnya disebutkan bahwa seluruh peraturan yang bertentangan harus dihapuskan atau disesuaikan.

"Peraturan sebanyak itu harus dikorbankan hanya untuk satu RUU Pertembakauan," ujarnya.

Kesulitan untuk mengatur tembakau dan rokok juga disampaikan Peneliti Studi Masyarakat dan Sosiologi Perkotaan Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR Rohani Budi Prihatin.

Budi, yang kerap membuat kajian untuk dasar DPR membuat undang-undang, mengatakan sulit sekali mencantumkan kata "rokok" dalam undang-undang. Biasanya, yang digunakan adalah frasa "zat adiktif lainnya" bila disandingkan dengan narkotika dan psikotropika.

Terdapat beberapa undang-undang yang sebenarnya menyasar pada pengendalian tembakau dan rokok. Misalnya pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Pasal 65 Undang-Undang Hak Asasi Manusia menyebutkan "Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya".

Yang dimaksud "zat adiktif lainnya" itu adalah rokok. Namun, pembuat undang-undang tidak mau mencantumkan kata "rokok".

Begitu pula dengan undang-undang lain, misalnya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang selalu menggunakan frasa "zat adiktif lainnya" alih-alih kata "rokok".

Awal 2018, DPR mengumumkan daftar RUU yang masuk dalam Program Legislasi Nasional. Daftar itu kembali memncantumkan RUU Pertembakauan.

Pemerintah sendiri belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait RUU Pertembakauan yang kembali masuk dalam Program Legislasi Nasional 2018.

Surat Presiden Joko Widodo kepada DPR pada Maret 2017 secara tersirat menunjukkan pemerintah tidak ingin membahas dan menganggap RUU Pertembakauan tidak diperlukan.

Sebelum RUU Pertembakauan masuk dalam Program Legislasi Nasional 2018, Sekretaris Kabinet Pramono Anung menyatakan sikap pemerintah tidak akan berubah.

"Pemerintah menganggap RUU pertembakauan belum diperlukan karena ada peraturan pemerintah dan peraturan lain yang sudah lengkap," kata Pramono.

Pewarta: Dewanto Samodro

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2018