Baru di awal bulan Januari 2018 saja, masyarakat di Tanah Air sudah beberapa kali mengetahui bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi telah menetapkan status tersangka terhadap beberapa pejabat daerah.

Lagi-lagi mereka diduga terlibat kasus makan uang rakyat alias korupsi.

Yang teranayar adalah Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko sebagai tersangka kasus korupsi atas dugaan menerima "setoran" dari Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kesehatan Jombang Inna Soelistyowati yang ingin agar dirinya menjadi pejabat definitif kepala dinas tersebut. Inna diduga menyuap atasannya dengan memberikan "upeti" berupa uang rupiah dan dolar Amerika Serikat.

Nyono Suharli yang juga Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar Jawa Timur ingin menduduki masa jabatan keduanya melalui  pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada tanggal 27 Juni 2018.

Sebelumnya, komisi antirasuah ini juga sudah menetapkan Gubernur Jambi Zumi Zola sebagai tersangka kasus penyuapan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jambi supaya mengesahkan Rancangan Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) menjadi Perda APBD Tahun Anggaran 2018.

Beberapa waktu lalu, KPK juga sudah menahan Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari yang tak lain tak bukan terseret kasus yang sama, korupsi. Bupati Batu Edy Roempoko juga terjerat kasus korupsi.

Pada pilkada serentak mendatang itu, rakyat di 17 provinsi, 39 kota, serta 135 kabupaten yang totalnya 171 daerah akan memilih gubernur/wakil gubernur, wali kota/wakil wali kota, dan  bupati/wakil bupati sehingga bisa dibayangkan akan betapa sibuknya komisi pemilihan umum daerah, Bawaslu Pusat, bawaslu daerah, hingga Polri yang bertugas menjaga keamanan di daerahnya masing-masing.

Wakil Ketua KPK Laode Syarif ketika mengumumkan status tersangka terhadap Bupati Jombang mengungkapkan bahwa Inna "mendapat atau mencari keuntungan" dari permohonan bagi pembangunan sebuah rumah sakit swasta dan memungut uang dari berbagai pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) yang dibawahinya sehingga memiliki "modal" untuk menyogok yang bupati yang berambisi memasuki masa jabatan keduanya.

Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Polisi Tito Karnavian baru-baru ini mengungkapkan bahwa untuk mengikuti pemilihan bupati, seorang calon bisa-bisa harus mengeluarkan uang sedikitnya sekitar Rp30 miliar. Uang itu antara lain harus digunakan agar orang itu bisa menjadi calon dari satu atau beberapa partai poltik yang mendukung pencalonannya dirinya dan biaya kampanye.

Biaya kampanye itu mulai dari biaya mengelilingi daerah pemilihannya serta memberikan "sesuatu" kepada ribuan, puluhan ribu, hingga ratusan ribu calon pemilihannya mulai dari uang makan atau uang minum saat kampanye serta "uang bensin" hingga menebarkan kaus oblong, dan berbagai alat "perayu" lainnya.

Sekalipun angka yang disebutkan Kapolri Jenderal Tito Karnavian itu bisa saja dibantah atau disangkal mulai oleh calon kepala daerah yang bersangkutan hingga pimpinan partai poltik, pernyataan bakal calon Gubernur Jawa Timur La Nyalla Mattalitti bahwa dirinya diminta memberikan uang "upeti"" tidak kurang dari Rp70 miliar kepada pengurus parpol bisa membuktikan bahwa ucapan Kapolri itu  tidaklah "salah-salah amat".

Penetapan status tersangka terhadap Bupati Jombang itu membuktikan bahwa untuk ikut maju dalam pilkada diperlukan uang "berkarung-karung" tidaklah berlebihan karena begitu banyak orang yang harus "disogok" agar upaya masuk ke dalam pilkada bisa sukses.

Di Jakarta saja, seorang calon anggota DPR di Senayan masa bakti 2014 s.d. 2019 sampai harus menyediakan dana tidak kurang dari Rp2 miliar agar bisa sukses meraih posisi sebagai wakil rakyat yang "terhormat", mulai dari memperkenalkan diri kepada pengurus partai dari tingkat paling bawah, seperti dewan pimpinan cabang, dewan pimpinan daerah, hingga yang tertinggi dewan pimpinan pusat  sampai dengan memasuki masa kampanye.

Jika  berhasil menjadi gubernur, bupati, ataupun wali kota, dia harus berusaha mengembalikan modalnya, kemudian memperhitungkan apakah 5 tahun mendatang terdapat peluang untuk menjadi pejabat negara lagi atau tidak sehingga selama menjadi "bos" di daerahnya harus berusaha mencari "untung".

Keributan di Partai Hati Nurani Rakyat atau Hanura yang melibatkan Ketua Umum Oesman Sapta Odang dengan beberapa pengurus inti lagi-lagi menyangkut soal duit karena Oesman atau OSO dituduh mendapat uang "setoran" atau "mahar poltik" dari para bakal calon kepala daerah tidak kurang dari Rp150 miliar. Hal ini menunjukkan atau memperlihatkan betapa tingginya biaya untuk menjadi pejabat negara.

Walaupun keributan antara OSO dan para pengurus DPP Partai Hanura berhasil "diredakan" oleh Ketua Dewan Pembina Jenderal Purnawirawan TNI Wiranto yang memegang jabatan sangat startegis di pemerintahan sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Kabinet Kerja, tetap saja bisa muncul "perang" internal dalam berbagai bentuknya hanya karena urusan duit.


Peringatan Presiden

Penetapan tersangka terhadap Bupati Jombang itu akhirnya diketahui juga oleh Presiden Joko Widodo, yang tentu bisa mendapat laporan dari berbagai jalur, misalnya Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo ataupun berbagai sumber lainnya.

Oleh karena itu, Presiden Jokowi mengingatkan seluruh pejabat untuk tidak terlibat dalam kegiatan terlarang, terutama korupsi yang akan merugikan rakyat dan negara.

Akan tetapi, yang menjadi persoalan atau pertanyaan adalah sekalipun KPK sudah puluhan kali menangkap gubernur, bupati, dan wali kota serta bawahan pejabat itu, kenapa tetap saja hingga detik ini terus terjadi begitu banyak pejabat yang terkena status tersangka?

Sekalipun masyarakat diminta untuk menghormasti asas praduga tidak bersalah, yakni seseorang tetap tidak boleh dianggap bersalah sampai adanya keputusan hukum yang berkekuatan hukum tetap, tetap saja kejadian korupsi, gratifikasi, atau apa pun istilahnya terus saja terjadi.

   
Rakyat Harus Berbuat Apa?

Pada tanggal 27 Juni 2018, akan berlangsung pilkada di 171 daerah sehingga masyarakat sudah mulai harus bersiap-siap menjatuhkan pilihannya. Hampir di semua daerah, calon kepala daerah minimal dua, tiga, hingga empat pasangan sehingga rakyat dapat secara leluasa atau bebas menjatuhkan pilihannya.

Setiap calon boleh berkoar atau berkampanye "semaunya" sendiri untuk memperlihatkan kehebatan ataupun kemampuannya. Akan tetapi, karena makin banyak calon pemilih yang pendidikannya makin tinggi ataupun pengetahuan politiknya mulai atau makin mendalam, tentu sangat diharapkan masyarakat tidak menerima begitu saja kampanye politik itu.

Rasanya tidak mungkin ada calon kepala daerah yang sama sekali tidak mempunyai basis kekuatan di daerahnya masing-masing sehingga pada dasarnya warga setempat sudah bisa mengetahui sedikit banyaknya kinerja, wawasan, atau kemampuan calon pemimpinnya itu. Dengan begitu, omongan, ucapan, atau bualan kampanye itu jangan ditelan bulat-bulat begitu saja.

Rakyat harus betul-betul menyadari bahwa suara mereka akan sangat menentukan bagi terpilih atau tidaknya seorang pemimpin mereka. Jika diibaratkan sebatang lidi tidak akan mampu membersihkan  halaman sebuah rumah. Akan tetapi, jika seikat lidi yang terdiri atas 50 lidi, akan dengan cepat sanggup membersihkan atau menyapu sebuah halaman betapa pun luasnya.

Karena pilkada serentak itu masih relatif lama, sekitar 5 bulan lagi, mulai sekaranglah ditengok, dipelajari tingkah laku, ucapan, janji seorang bakal calon kepala daerah sehingga pada saat memasuki tempat pemungutan suara (TPS) tidak ada lagi warga yang masih ragu-ragu untuk menjatuhkan pilihannya.

Janganlah menjadi warga yang tak memanfaatkan hak pilihya. Begitu menjadi warga yang tak memanfaatkan hak pilihnya atau golput alias golongan putih, bisa dianggap bahwa dia tak berhak mengkritik, mengecam pemimpinnya karena tak mencoblos.

Oleh karena itu, tentu diharapkan Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden Jusuf Kalla, Mendagri Tjahjo Kumolo, KPU, dan Bawaslu untuk tidak bosan-bosannya mengajak, mendesak seluruh calon pemilih untuk memanfaatkan hak pilih mereka sebaik mungkin agar bisa melahirkan para pemimpin yang tidak korupsi sedikit pun.

Kalau tidak sekarang, kapan lagi seluruh bangsa Indonesia melakukan perbaikan secara menyeluruh.

Pewarta: Arnaz Firman

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2018