Paris Saint-Germain tumbang dengan skor 1-3  oleh tuan rumah Real Madrid di Stadion Santiago Bernabeu, Madrid,  dalam laga pertama di pertarungan  16 Besar Liga Champions.

Apa yang salah sehingga klub yang mendatangkan mega bintang Neymar dan Kylian Mbappe dengan harga senilai Rp6,7 triliun itu tak sanggup menumbangkan klub yang dipoles Zidane Zidane?

Sejuta kata bisa dilontarkan untuk menjawab pertanyaan itu. Dari kata-kata yang ditulis analis sepak bola kaliber dunia, pengamat bola domestik sampai penikmat bola di jalanan bisa menjawab pertanyaan itu. Di samping itu, jawaban atas pertanyaan di atas bisa digali dari sisi teknik permainan, segi mentalitas pemain, aspek kepiawaian Zidane merespons setiap detik laga bergulir, peran Dewi Keberuntungan, netralitas wasit hingga analisis metafisik.

Menyaksikan 15 menit pertama pertandingan yang seru itu, penonton yang percaya bahwa semua yang berlangsung di lapangan sesungguhnya tak lebih dari refleksi hasil kerja otak sang manajer akan berkesimpulan: Zidane lebih unggul ketimbang Unai Emery, pelatih PSG.

Bahkan sampai menit ke-33 ketika PSG lewat tendangan Adrien Rabiot  menjebol gawang Madrid yang dijaga Navas, Zidane tampak kian berambisi menggugah pemain-pemain asuhannya.

Sejak detik pertama laga bergulir, agresivitas El Real luar biasa, bola-bola cepat dari kaki ke kaki pemain Madrid seakan membuat lapangan tengah dan area pertahanan PSG menjadi milik Madrid. Hanya soal ketakberuntungan yang membuat para penyerang El Real gagal menyarangkan bola ke gawang PSG yang dijaga Alphonse Areola yang kegemilangannya akhirnya tiga kali terkoyak, satu di antaranya lewat tendangan  finalti, hingga akhir laga. 

Taktik Zidane untuk mengawali laga secara agresif bahkan sangat keras sehingga di menit-menit awal membuat Neymar terjatuh mengaduh adalah bagian dari strategi yang memenangkannya melawan taktik Emery.

Ekplorasi bintang-bintang Madrid seperti Toni Kross dan Luka Modric, dalam menjelajahi  lapangan tengah  hingga ke wilayah pertahanan lawan harus diakui lebih impresif dibanding pemain tengah PSG.

Secara keseluruhan, pemain-pemain Madrid lebih bertenaga, mantap dalam teknik mengalirkan bola dari kaki ke kaki dan sangat garang merebut bola yang sedang dikuasai lawan. Ini semua yang membuat Zidane harus diacungi jempol. Tampaknya, Zidane sadar sepenuhnya bahwa di Liga Champions inilah takdirnya sebagai pelatih bola kaki ditentukan. Kariernya yang cemerlang di musim kompetisi tahun lalu tak tertolong. Peluang mempertahankan gelar di liga domestik Spanyol sudah terkunci.

Di luar faktor pelatih dalam kemenangan El Real atas PSG, faktor wasit sedikit banyak juga ikut berbicara. Ketika di menit-menit awal Neymar dijatuhkan hingga menjerit kesakitan, wasit tak mengeluarkan kartu kuning. Memberikan kartu kuning di menit-menit awal ketika laga baru berjalan  adalah cara efektif menghindarkan permainan keras untuk melindungi pemain bintang. Itu dilakukan beberapa wasit di liga domestik Spanyol untuk melindungi Leonel Messi di masa-masa keemasan pemain terbaik dunia lima kali itu.
  
Wasit tak dominan

Namun dalam laga yang dinilai sebagai final dini Liga Champions 2018 ini, faktor wasit tak dominan. Secara keseluruhan permainan, wasit dari Italia, Gianluca Rochhi, bekerja cukup adil.

Rekor mengesankan PSG di laga-laga sebelumnya, baik di liga domestik maupun Liga Champions musim ini ternyata tak terjaga saat menghadapi Madrid. Para analis sempat menggadang-gadang bahwa PSG dengan trio penyerang maut Neymar-Cavani- Mbappe akan mengantar klub kaya raya itu menyabet piala bergengsi Liga Champions.

Namun, pertemuannya dengan Madrid di tarung pertama sudah memperlihatkan kekurangan PSG. Bahkan Cavani harus diganti di tengah laga sehingga penonton tak melihat dahsyatnya trio maut itu. Lagi-lagi Zidane pantas diacungi jempol karena sanggup menghentikan sang trio maut itu. Hanya Neymar yang memperlihatkan keunggulannya dalam mengola bola pada pertandingan itu. Mbappe tampak tak bermain optimal.

Pemain belakang El Real yang dikomandoi Sergio Ramos sukses meredam kegarangan trio maut PSG. Pertanyaan yang harus dijawab Emery di laga kedua melawan Madrid yang menentukan kemenangan adalah: sanggupkah trio maut itu efektif menghasilkan lebih dari dua gol, atau cukup dua gol dengan catatan gol tandang Madrid tak melebihi gol tandang PSG?

Kekalahan PSG bisa juga ditelusuri dari kualitas liga domestik antara kedua negara tempat kedua klub itu beroleh tempaan dari pekan ke pekan. Di La Liga Spanyol, klub-klub tangguh seperti Barcelona, Atletico Madrid adalah sparring partner Madrid yang tak dimiliki PSG. Boleh jadi cuma  AS Monaco di liga domestik Perancis yang bisa disetarakan dengan klub tangguh di Eropa.

Sejarah panjang, pengalaman juga sangat menentukan untuk bisa menjadi penguasa persepakbolaan di Eropa. Kesanggupan membeli pemain bintang masih perlu dilengkapi dengan variabel pengalaman itu. Baru mendapat ujian di leg pertama di laga 16 Besar Liga Champions, PSG terkalahkan oleh klub yang juga kaya-raya namun punya sejarah panjang menjuarai sepak bola kaliber internasional.

Sekali lagi, yang paling bertanggung jawab atas kekalahan PSG melawan Madrid di pertarungan 16 Besar Liga Champions adalah Unai Emery. Itu sebabnya, dialah yang paling pantas disanjung setinggi langit bila sanggup membalikkan kemenangan di leg kedua yang semoga saja menjadi pertarungan indah yang dikenang sepanjang masa, meskipun bukan laga final yang  bisa diperkirakan lebih seru.

Pewarta: M Sunyoto

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2018