Jakarta (Antaranews Babel) - Duka kembali menyelimuti Jawa Tengah.  Ada 16 korban tertimbun longsor di Desa Pasir Panjang, Kabupaten Brebes, pada Rabu (21/2) pagi dimana delapan orang telah ditemukan meninggal dan sisanya masih dalam pencarian.

Sehari kemudian bencana longsor juga menimpa sebuah rumah di Desa Jingkang, Kabupaten Purbalingga, sekitar pukul 21.00 WIB yang menyebabkan empat anak meninggal dunia.

Dua bencana longsor dengan korban jiwa itu menambah deretan kasus longsor di Tanah Air selama musim hujan tahun ini.  

Presiden Joko Widodo juga menyampaikan rasa duka citanya yang mendalam atas musibah longsor di Jawa Tengah itu yang memakan banyak korban tewas.

Berduka cita atas musibah longsor di Brebes. Saya sudah instruksikan instansi terkait bergerak cepat untuk evakuasi korban. Semoga keluarga korban dikuatkan. Al Faatihah-Jkw, cuit Presiden pada hari itu sekitar pukul 17.37 WIB.  

Musim hujan tahun-tahun sebelumnya Jawa Tengah juga didera bencana longsor dengan korban jiwa tidak sedikit. Seperti di tahun 2014, pada 12 Desember pukul 17.00 WIB, sebagian dari Bukit Telagalele di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, longsor menimbun 35 rumah dengan korban sekitar 100 orang lebih tertimbun.

Tahun 2016, juga terjadi longsor di Dusun Caok, Desa Karangrejo, Kecamatan Loano, Kabupaten Purworejo, tepatnya di  18 Juni, sekitar pukul 18.00 WIB. Longsor ini menyapu permukiman dan beberapa pengendara yang melintas di bawah bukit tersebut dengan korban 15 orang meninggal dunia.

Kasus-kasus longsor itu menjadi pelajaran bahwa pengetahuan mitigasi bencana harus benar-benar melekat pada setiap warga di daerah perbukitan. Setiap kasus longsor selalu didahului dengan adanya curah hujan tinggi yang menyebabkan air di lapisan tanah pada momentum tertentu mampu menggeser tanah di atasnya mengikuti gaya gravitasi.

Saat Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika mengeluarkan peringatan hujan di atas normal, selalu diikuti dengan imbauan oleh badan penanggulangan bencana daerah (BPBD) kepada warga untuk meningkatkan kewaspadaan. Sayangnya masih banyak warga yang menganggap sepele setiap peringatan itu, padahal bencana longsor bisa diantisipasi dengan melihat tanda-tanda alam.

Keberadaan bukit yang curam, kondisi tanah labil dan curah hujan tinggi seharusnya menjadi perhatian warga untuk meningkatkan kewaspadaan.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut wilayah rawan longsor berada di sepanjang Bukit Barisan Sumatera, Jawa bagian tengah selatan, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua.  Data BNPB mencatat terdapat 274 kabupaten/kota yang berada di daerah bahaya sedang-tinggi longsor dimana jumlah penduduk yang terpapar mencapai 40,9 juta jiwa.

Sementara pada tahun 2018, hingga 23 Februari 2018 tercatat ada 39 orang meninggal dunia akibat longsor.
      
Semua Bukit          

Peneliti pada Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr Ir Adrin Tohari MM mengungkap bahwa semua bukit di Pulau Jawa menjadi daerah yang rawan longsor, apalagi jika kontur permukaan bukit terdiri dari tanah cembung dan cekungan serta belum ada saluran drainase untuk mengurangi tekanan air.

Kondisi geologi tanah perbuktikan di hutan produksi milik Perhutani BKPH Salem Petak 26 RPH Babakan menjadi penyebab longsor. Tanah di lokasi bencana itu sangat gembur yang mudah dimasuki air sehingga saat terjadi hujan ekstrem dengan intensitas di atas 100 mm maka air tanah menjadi cepat jenuh dan mudah sekali longsor.

Kepala BMKG yang juga pakar pergerakan tanah Prof Ir Dwikorita Karnawati, MSc,Ph menjelaskan banyak karakter bukit di Indonesia yang mempunyai jalur patahan sehingga mudah longsor.

Rektor UGM periode 2014-2017 itu menjelaskan, adanya jalur patahan itu membuat ikatan lapisan batuan penyangga tanah saling terbelah dan rapuh, akibatnya tanah mudah labil pada kondisi tertent,u seperti saat curah hujan yang tinggi.

Sejarah sudah memberikan pelajaran bahwa longsor yang terjadi di Indonesia selalu terjadi saat curah hujan tinggi sehingga setiap desa sudah mempunyai prosedur tetap untuk mengecek setiap bukit dan segera melakukan evakuasi jika sebuah pemukiman berada di jalur limpasan bukit.

BMKG masih meramalkan adanya curah hujan tinggi sampai pertengahan Maret 2018 sehingga semua pihak diharapkan saling mengingatkan bahaya banjir dan longsor. Terus digemakan sampai ke warga yang tinggal di perbutikan dan di pinggiran sungai.  Jangan sampai ada lagi saudara kita yang menjadi korban karena lalai untuk segera mengevakuasi diri.

Teknologi Antisipasi Longsor

Selain soal pengetahuan mitigasi bencana, pemda bersama masyarakat juga perlu diperkenalkan dengan teknologi untuk mengurangi bahaya longsor areal perbuktikan yang sudah dikembangkan oleh berbagai lembaga penelitian, termasuk Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Para geolog paham bahwa pergerakan tanah di lereng akan terjadi bila muka air tanah di daerah itu naik melampaui bidang gelincirnya sehingga diperlukan teknologi mengendalikan muka air tanah.

Adrin dan sejumlah peneliti lain dari Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Bandung, sejak tahun 2014 terus mengembangkan inovasi yang dinamakan Teknologi Gravitasi Ekstraksi Air Tanah untuk Kestabilan Lereng atau disingkat The Greatest dan LIPI Wireless Sensor Network for Landslide Monitoring (LIPI Wiseland).

Dua metode pendeteksi dan pencegah tanah longsor itu, menurut Adrin, adalah kombinasi yang baik untuk meminimalisir kerugian dan korban jiwa akibat bencana longsor.

Adrin menjelaskan, The Greatest menggunakan cara kerja metode siphon (pipa pindah) yang biasa digunakan untuk memindahkan bensin dari tangki motor ke jerigen. Prinsip kerja siphon adalah menghisap air tanah berdasarkan perbedaan ketinggian muka air tanah atau tekanan air tanah. Komponen drainase siphon terdiri dari sumur siphon, selang siphon dan flushing unit.

Pada dasarnya motode itu berupaya menjaga kestabilan lereng yang merupakan faktor penting agar bencana tanah longsor bisa dihindari. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan prototipe yang menunjukan bahwa semakin banyak jumlah sumur siphon, semakin rendah muka air tanah dan semakin kecil luas zona rembesan, maka semakin tinggi kestabilan lereng.

Mulai tahun 2015 hingga saat ini, kegiatan pengembangan teknologi The Greatest telah menghasilkan prototipe double chamber flushing unit. Pada tahun 2017, flushing unit versi 1.1 tersebut telah diuji coba di lereng rentan longsor yang berlokasi di Kampung Cibitung Desa Margamukti, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung.

Sementara LIPI Wiseland merupakan suatu sistem pemantauan gerakan tanah berbasis jejaring sensor nirkabel. Teknologi ini mampu pemantauan gerakan tanah untuk memberikan peringatan dini dari ancaman gerakan tanah, baik pada lereng alami, potongan maupun timbunan.

LIPI Wiseland mempunyai beberapa keunggulan, antara lain dapat menjangkau daerah pemantauan yang luas berdasarkan jejaring sensor, menyajikan data dalam waktu nyata dengan akurasi tinggi, serta memiliki catu daya mandiri menggunakan tenaga panel surya dan baterai kering atau lithium.

Sebuah teknologi harus sering dilakukan kajian dan uji coba sehingga sudah selayaknya setiap pemda yang mempunyai wilayah zona merah untuk longsor berani menganggarkan biaya untuk uji coba teknologi tersebut. Bahkan bisa jadi dengan musyawarah dana desa bisa disisihkan untuk mencegah bencana longsor, apalagi jika dampaknya bisa merusak infratsruktur dan permukiman yang ada.

Kalau perlu dalam setiap materi pembentukan Kampung Siaga Bencana juga diajarkan materi teknologi itu sekaligus dipraktekkan sehingga masyarakat juga mengenal baik bagaimana memperlakukan bukit agar tidak longsor saat terjadi hujan ekstrem.

Keberadaan teknologi itu paling tidak memberikan sinyal apakah sebuah bukit sudah dikatakan tidak stabil atau sudah sangat berpotensi longsor sehingga ada waktu yang lebih lama bagi warga untuk mengevakuasi diri.

Pewarta: Budi Santoso

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2018