Jakarta (Antaranews Babel) - Selama bulan Februari 2018, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap tiga kepala daerah, yaitu Bupati Jombang Nyono Suharli, Bupati Ngada Marianus Sae, dan Bupati Subang Imas Aryuningsih, ketiganya mencalonkan diri kembali dalam kontestasi Pilkada 2018.
Maraknya calon kepala daerah yang terjerat dugaan korupsi itu menimbulkan kritikan untuk dilakukannya evaluasi dalam sistem pelaksanaan pilkada langsung yang sudah berjalan dua kali, yaitu 2015 dan 2017.
Ketua DPR RI Bambang Soesatyo menyoroti maraknya calon kepala daerah yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK yang menandakan hampir semua kepala daerah mencari biaya untuk mempertahankan posisinya dengan berbagai cara.
Menurut dia, politik transaksional dalam pilkada yang nilainya diduga hingga ratusan miliar rupiah menyebabkan para calon melakukan cara-cara yang dilarang sehingga kalau terus dibiarkan maka akan merusak sistem demokrasi yang sedang dibangun di Indonesia.
Bambang menilai kalau fenomena tersebut terus dibiarkan maka suatu ketika kita akan dikuasai pemodal karena demokrasi langsung yang berjalan memerlukan modal besar.
Ke depannya, yang terjadi, menurut dia, akan banyak kompromi yang dilakukan kepala daerah dengan para pengusaha dan hal itu ditandai dengan kebijakan yang properizinan bagi pengusaha, namun merugikan masyarakat.
Untuk itu dia mengusulkan adanya evaluasi apakah pilihan pilkada langsung banyak menimbulkan manfaat atau lebih banyak kerugian yang ditimbulkan bagi masyarakat karena kalau keadaan seperti ini dipertahanan maka kerja KPK tidak akan berhenti karena banyak calon kepala daerah yang tertangkap menerima suap menjelang pilkada.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKS Mardani Ali Sera menilai mengubah pilkada langsung menjadi pilkada melalui DPRD adalah sesat pikir karena permasalahan terkait banyak calon kepala daerah tertangkap KPK bukan pada cara pemilihan secara langsung dalam pilkada.
Dia menilai pilkada langsung sejatinya akan menghasilkan pemimpin yang kuat karena akan bertanggung jawab kepada masyarakat yang memilihnya sementara apabila pemilihan melalui DPRD hanya memunculkan kembali oligarki partai politik.
Karena itu, menurut Mardani, solusi terbaiknya adalah menurunkan ambang batas pencalonan calon dalam pilkada, yang sebelumnya 20 persen dukungan menjadi 5 persen.
Dalam Pasal 5 ayat (2) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) nomor 3 tahun 2017 tentang Pilkada disebutkan bahwa parpol atau gabungan parpol dapat mencalonkan pasangan calon apabila memperoleh suara 20 persen dari jumlah kursi dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu terakhir.
Mardani mengatakan ambang batas 20 persen menimbulkan biaya politik tinggi karena calon harus "membeli kendaraan politik" agar bisa ikut kontestasi pilkada karena jarang ada partai yang memiliki suara mayoritas sebesar 20 persen di daerah sehingga harus berkoalisi.
Mardani yang merupakan Ketua DPP PKS itu menilai ambang batas 20 persen juga menimbulkan "kawin paksa" antarparpol untuk memajukan calon, padahal sebenarnya mereka tidak cocok sehingga menyebabkan sebanyak 67 persen pasangan kepala daerah dan wakilnya berpisah dalam kontestasi pilkada berikutnya.
Dia menyakini apabila ambang batas tersebut diturunkan maka akan banyak calon yang ikut kontestasi pilkada sehingga pengawasannya bisa dilakukan masing-masing pasangan calon karena mereka akan saling mengawasi sehingga diharapkan pelanggaran dapat diminimalisir dan kerja Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) maupun Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) lebih efektif.
Menurut dia, kompetisi dalam pilkada jangan di intervensi oleh ketentuan ambang batas pencalonan sehingga diharapkan ongkos politik bisa turun, namun dirinya tidak sependapat apabila demokrasi langsung disebut menimbulkan biaya politik tinggi kalau para calon tidak melakukan politik uang.
Karena itu dia menilai permasalahan utamanya ada pada perilaku politik uang yang dilakukan calon sehingga salah satu langkah mengatasinya adalah membebaskan pasangan calon mengajukan diri dalam pilkada sehingga sesama pasangan calon bisa saling mengawasi satu dengan lainnya.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Hetifah Sjaifudian menilai peraturan pelaksanaan Pilkada 2018 diperkuat dibandingkan sebelumnya, misalnya mengenai dana kampanye yang dibatasi agar biaya yang dikeluarkan pasangan calon tidak terlampau banyak yang dikhawatirkan berdampak pada upaya pelanggaran hukum.
Hetifah mengatakan saat ini pengaturan mengenai alat peraga kampanye dibiayai KPU dan juga tim sukses, yaitu jumlah yang dibuat timses dibatasi 1,5 kali dari yang dikeluarkan KPU. Dia mencontohkan kalau KPU membuat 10 baliho maka timses hanya diperbolehkan membuat 15 baliho untuk kampanye.
Lalu mengenai politik uang, menurut dia, saat ini aturannya sudah tegas dan diperketat yaitu apabila pasangan calon ataupun timses pasangan calon terbukti melakukan politik uang maka pasangan calon tersebut langsung didiskualifikasi.
Selain itu pihak penerima maupun pemberi politik uang akan terkena tindak pidana sehingga gagasan "terima uangnya dan jangan pilih orangnya" sudah tidak berlaku lagi.
Sementara itu terkait pengawasan pilkada saat ini sudah semakin diperketat yaitu dengan menambah kewenangan Panwaslu menyidangkan apabila ada dugaan penyimpangan pelaksanaan pilkada yang dilakukan secara masif dan kontinyu serta berhak mengambil keputusan.
Ketua DPP PDI Perjuangan Hendrawan Supratikno menilai apabila ada calon terjerat OTT harus ditindak tegas tanpa kompromi karena tindakan tidak terpuji yang telah dilakukan.
Dia menyoroti biaya politik yang tinggi saat ini, korupsi seolah-olah sudah menjadi "keharusan" dalam sistem politik yang sedang berjalan dan telah menjadi "anak kandung" reformasi politik.
Dia menilai butuh transformasi struktural untuk mengobati semua ini, yaitu kesadaran masyarakat harus meningkat sehingga tidak bisa didikte dengan iming-iming jangka pendek seperti politik uang sehingga diharapkan demokrasi Indonesia menjadi matang.
Minta Ditunda
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto memberikan imbauan yang kontroversial, yaitu meminta KPK menunda pengumuman mengenai calon kepala daerah dalam Pilkada 2018 yang menjadi tersangka kasus korupsi.
Dia menjelaskan imbauan penundaan itu dimaksudkan agar tahapan pilkada serentak serta pencalonan kandidat tidak terganggu dengan adanya proses hukum yang harus dipenuhi calon kepala daerah.
Menurut dia, risiko dengan calon kepala daerah dipanggil sebagai saksi atau tersangka itu akan bolak-balik KPK dan berpengaruh pada perolehan suara dan terhadap pencalonannya. Wiranto mengatakan penetapan calon kepala daerah sebagai tersangka oleh KPK itu juga dapat berimbas ke ranah politik.
Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon mempertanyakan dasar hukum pernyataan Menkopolhukam tersebut meskipun sebenarnya maksudnya baik untuk menghindari kegaduhan, namun tidak ada dasar hukumnya.
Fadli mengungkapkan bahwa dirinya pernah memimpin rapat konsultasi yang dihadiri oleh Kapolri, Kejaksaan, KPK dan sejumlah pihak yang terkait dengan pelaksanaan pilkada, termasuk ada pembahasan mengenai usulan menunda eksekusi terhadap tersangka sampai pilkada selesai.
Saat itu, menurut dia, usulan tersebut ditolak KPK dan juga oleh beberapa fraksi sehingga akhirnya tidak terjadi kesepakatan yang dapat dicapai.
Fadli yang merupakan Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra itu menilai apabila KPK menemukan bukti yang kuat maka proses hukum harus terus berjalan karena dalam hukum asas kesetaraan harus dijunjung tinggi.
Ketua Umum DPP PPP M. Romahurmuziy menilai proses penegakkan hukum tidak boleh terganggu oleh apapun dan juga tidak boleh tersandera oleh agenda politik manapun.
Dia mengkhawatirkan apa yang disampaikan Menkopolhukam itu justru akan menjadikan proses penegakkan hukum di Indonesia terganggu karena sebelumnya Ketua KPK Agus Rahardjo mengungkapkan akan ada calon kepala daerah yang ikut pilkada di salah satu daerah di Pulau Jawa yang menjadi tersangka.
Karena itu Romy menyarankan agar pemerintah duduk bersama dan melakukan rapat koordinasi dengan semua pihak, termasuk KPK, bukan melempar pernyataan di media massa.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2018
Maraknya calon kepala daerah yang terjerat dugaan korupsi itu menimbulkan kritikan untuk dilakukannya evaluasi dalam sistem pelaksanaan pilkada langsung yang sudah berjalan dua kali, yaitu 2015 dan 2017.
Ketua DPR RI Bambang Soesatyo menyoroti maraknya calon kepala daerah yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK yang menandakan hampir semua kepala daerah mencari biaya untuk mempertahankan posisinya dengan berbagai cara.
Menurut dia, politik transaksional dalam pilkada yang nilainya diduga hingga ratusan miliar rupiah menyebabkan para calon melakukan cara-cara yang dilarang sehingga kalau terus dibiarkan maka akan merusak sistem demokrasi yang sedang dibangun di Indonesia.
Bambang menilai kalau fenomena tersebut terus dibiarkan maka suatu ketika kita akan dikuasai pemodal karena demokrasi langsung yang berjalan memerlukan modal besar.
Ke depannya, yang terjadi, menurut dia, akan banyak kompromi yang dilakukan kepala daerah dengan para pengusaha dan hal itu ditandai dengan kebijakan yang properizinan bagi pengusaha, namun merugikan masyarakat.
Untuk itu dia mengusulkan adanya evaluasi apakah pilihan pilkada langsung banyak menimbulkan manfaat atau lebih banyak kerugian yang ditimbulkan bagi masyarakat karena kalau keadaan seperti ini dipertahanan maka kerja KPK tidak akan berhenti karena banyak calon kepala daerah yang tertangkap menerima suap menjelang pilkada.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKS Mardani Ali Sera menilai mengubah pilkada langsung menjadi pilkada melalui DPRD adalah sesat pikir karena permasalahan terkait banyak calon kepala daerah tertangkap KPK bukan pada cara pemilihan secara langsung dalam pilkada.
Dia menilai pilkada langsung sejatinya akan menghasilkan pemimpin yang kuat karena akan bertanggung jawab kepada masyarakat yang memilihnya sementara apabila pemilihan melalui DPRD hanya memunculkan kembali oligarki partai politik.
Karena itu, menurut Mardani, solusi terbaiknya adalah menurunkan ambang batas pencalonan calon dalam pilkada, yang sebelumnya 20 persen dukungan menjadi 5 persen.
Dalam Pasal 5 ayat (2) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) nomor 3 tahun 2017 tentang Pilkada disebutkan bahwa parpol atau gabungan parpol dapat mencalonkan pasangan calon apabila memperoleh suara 20 persen dari jumlah kursi dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu terakhir.
Mardani mengatakan ambang batas 20 persen menimbulkan biaya politik tinggi karena calon harus "membeli kendaraan politik" agar bisa ikut kontestasi pilkada karena jarang ada partai yang memiliki suara mayoritas sebesar 20 persen di daerah sehingga harus berkoalisi.
Mardani yang merupakan Ketua DPP PKS itu menilai ambang batas 20 persen juga menimbulkan "kawin paksa" antarparpol untuk memajukan calon, padahal sebenarnya mereka tidak cocok sehingga menyebabkan sebanyak 67 persen pasangan kepala daerah dan wakilnya berpisah dalam kontestasi pilkada berikutnya.
Dia menyakini apabila ambang batas tersebut diturunkan maka akan banyak calon yang ikut kontestasi pilkada sehingga pengawasannya bisa dilakukan masing-masing pasangan calon karena mereka akan saling mengawasi sehingga diharapkan pelanggaran dapat diminimalisir dan kerja Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) maupun Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) lebih efektif.
Menurut dia, kompetisi dalam pilkada jangan di intervensi oleh ketentuan ambang batas pencalonan sehingga diharapkan ongkos politik bisa turun, namun dirinya tidak sependapat apabila demokrasi langsung disebut menimbulkan biaya politik tinggi kalau para calon tidak melakukan politik uang.
Karena itu dia menilai permasalahan utamanya ada pada perilaku politik uang yang dilakukan calon sehingga salah satu langkah mengatasinya adalah membebaskan pasangan calon mengajukan diri dalam pilkada sehingga sesama pasangan calon bisa saling mengawasi satu dengan lainnya.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Hetifah Sjaifudian menilai peraturan pelaksanaan Pilkada 2018 diperkuat dibandingkan sebelumnya, misalnya mengenai dana kampanye yang dibatasi agar biaya yang dikeluarkan pasangan calon tidak terlampau banyak yang dikhawatirkan berdampak pada upaya pelanggaran hukum.
Hetifah mengatakan saat ini pengaturan mengenai alat peraga kampanye dibiayai KPU dan juga tim sukses, yaitu jumlah yang dibuat timses dibatasi 1,5 kali dari yang dikeluarkan KPU. Dia mencontohkan kalau KPU membuat 10 baliho maka timses hanya diperbolehkan membuat 15 baliho untuk kampanye.
Lalu mengenai politik uang, menurut dia, saat ini aturannya sudah tegas dan diperketat yaitu apabila pasangan calon ataupun timses pasangan calon terbukti melakukan politik uang maka pasangan calon tersebut langsung didiskualifikasi.
Selain itu pihak penerima maupun pemberi politik uang akan terkena tindak pidana sehingga gagasan "terima uangnya dan jangan pilih orangnya" sudah tidak berlaku lagi.
Sementara itu terkait pengawasan pilkada saat ini sudah semakin diperketat yaitu dengan menambah kewenangan Panwaslu menyidangkan apabila ada dugaan penyimpangan pelaksanaan pilkada yang dilakukan secara masif dan kontinyu serta berhak mengambil keputusan.
Ketua DPP PDI Perjuangan Hendrawan Supratikno menilai apabila ada calon terjerat OTT harus ditindak tegas tanpa kompromi karena tindakan tidak terpuji yang telah dilakukan.
Dia menyoroti biaya politik yang tinggi saat ini, korupsi seolah-olah sudah menjadi "keharusan" dalam sistem politik yang sedang berjalan dan telah menjadi "anak kandung" reformasi politik.
Dia menilai butuh transformasi struktural untuk mengobati semua ini, yaitu kesadaran masyarakat harus meningkat sehingga tidak bisa didikte dengan iming-iming jangka pendek seperti politik uang sehingga diharapkan demokrasi Indonesia menjadi matang.
Minta Ditunda
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto memberikan imbauan yang kontroversial, yaitu meminta KPK menunda pengumuman mengenai calon kepala daerah dalam Pilkada 2018 yang menjadi tersangka kasus korupsi.
Dia menjelaskan imbauan penundaan itu dimaksudkan agar tahapan pilkada serentak serta pencalonan kandidat tidak terganggu dengan adanya proses hukum yang harus dipenuhi calon kepala daerah.
Menurut dia, risiko dengan calon kepala daerah dipanggil sebagai saksi atau tersangka itu akan bolak-balik KPK dan berpengaruh pada perolehan suara dan terhadap pencalonannya. Wiranto mengatakan penetapan calon kepala daerah sebagai tersangka oleh KPK itu juga dapat berimbas ke ranah politik.
Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon mempertanyakan dasar hukum pernyataan Menkopolhukam tersebut meskipun sebenarnya maksudnya baik untuk menghindari kegaduhan, namun tidak ada dasar hukumnya.
Fadli mengungkapkan bahwa dirinya pernah memimpin rapat konsultasi yang dihadiri oleh Kapolri, Kejaksaan, KPK dan sejumlah pihak yang terkait dengan pelaksanaan pilkada, termasuk ada pembahasan mengenai usulan menunda eksekusi terhadap tersangka sampai pilkada selesai.
Saat itu, menurut dia, usulan tersebut ditolak KPK dan juga oleh beberapa fraksi sehingga akhirnya tidak terjadi kesepakatan yang dapat dicapai.
Fadli yang merupakan Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra itu menilai apabila KPK menemukan bukti yang kuat maka proses hukum harus terus berjalan karena dalam hukum asas kesetaraan harus dijunjung tinggi.
Ketua Umum DPP PPP M. Romahurmuziy menilai proses penegakkan hukum tidak boleh terganggu oleh apapun dan juga tidak boleh tersandera oleh agenda politik manapun.
Dia mengkhawatirkan apa yang disampaikan Menkopolhukam itu justru akan menjadikan proses penegakkan hukum di Indonesia terganggu karena sebelumnya Ketua KPK Agus Rahardjo mengungkapkan akan ada calon kepala daerah yang ikut pilkada di salah satu daerah di Pulau Jawa yang menjadi tersangka.
Karena itu Romy menyarankan agar pemerintah duduk bersama dan melakukan rapat koordinasi dengan semua pihak, termasuk KPK, bukan melempar pernyataan di media massa.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2018