Jakarta (Antaranews Babel) - Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir mengatakan kendala monopoli pasar yang dihadapi sejumlah komoditas Indonesia saat ini bisa diatasi dengan inovasi disruptif.

"Kita petakan permasalahannya, contoh kasus minyak nilam atau mungkin minyak sawit, digunakan di pasar global tapi masyarakat yang memproduksinya tetap miskin. Ini karena kita tidak bisa tentukan pasar, mestinya kita yang menyetir pasar, karena kalau pasarnya dimonopoli ya jelas hanya mereka yang menentukan harga," kata Nasir dalam Sosialisasi Program Pengembangan Klaster Inovasi Berbasis Produk Unggulan Daerah (PUD) di Jakarta, Senin.

Maka, menurut dia, yang perlu dilakukan adalah pemangkasan pasar, dengan cara menyetir produk inovasinya. Karena itu sangat perlu diciptakan inovasi disruptif agar monopoli pasar akhirnya terhenti.

Inovasi disruptif merupakan inovasi yang membantu menciptakan pasar baru, mengganggu atau merusak pasar yang sudah ada dan pada akhirnya menggantikan teknologi terdahulu tersebut.

"Coba kita cari tahu dulu, pernah atau tidak satu hektare kebun nilam menghasilkan 600 kilogram daun dan ranting? Kalau memang pernah dan bisa, coba buat riset dan kembangkan inovasi supaya produksi bisa balik lagi atau lampaui angka itu," ujar Nasir.

Lalu, ia mengatakan buat inovasi disruptif yang membuat Indonesia tidak perlu lagi bergantung dengan pasar Eropa.

Cara seperti itu, menurut dia, sudah mulai bisa dilakukan untuk komoditas kopi dan kakao. ¿Presiden sangat peduli soal kopi. Kita tidak boleh lagi hanya sekedar menjual bijinya saja tanpa memberikan nilai tambah, sementara negara lain untung besar dengan memberikan nilai tambah biji-biji kopi kota¿.

Ia berharap klaster inovasi kelapa yang sedang dikembangkan di Sulawesi Utara dengan dukungan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristedikti) juga mampu menciptakan produk inovasi yang memiliki nilai tambah tinggi. Dirinya mencontohkan mengembangkan gula kelapa dengan harga jual Rp40 ribu per kg tentu lebih menguntungkan dibanding gula putih yang hanya Rp18 ribu per kg.

"Hanya sekarang bagaimana caranya riset bisa diarahkan untuk bisa menghasilkan pohon kelapa hibrida yang tingginya hanya tiga sampai empat meter saja, biar mereka yang memanen kelapa tidak menghadapi risiko tinggi memanjat pohon-pohon kelapa yang tingginya bisa sampai 15 atau 20 meter," ujar Nasir.

Sebelumnya Direktur Eksekutif Atsiri (Essential Oil) Research Center (ARC) Universitas Syiah Kuala Syaifullah Muhammad mengatakan ada 16 kabupaten/kota di Aceh yang ditumbuhi nilam. Sejak jaman Belanda nilam yang diproses menjadi minyak atsiri diekspor ke Eropa menjadi bahan baku parfum.

Nilam dari Aceh, lanjutnya, sejak jaman Belanda sudah diketahui sebagai yang terbaik di dunia, karenanya perusahaan parfum di Prancis menggunakannya. Persoalannya harga mahal parfum dari Prancis tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan petani nilam di Aceh.

Karenanya ia berharap pembentukan klaster nilam oleh Kemristedikti di Aceh benar-benar bisa menciptakan inovasi inklusif, yang tidak hanya membawa kesejahteraan segelintir pemilik perusahaan tetapi juga masyarakat Aceh.

Dengan dukungan dana Rp3 miliar di 2017, hilirisasi produk inovasi nilam sedang dikembangkan di Aceh, dengan melibatkan perguruan tinggi, kelompok masyarakat, lembaga litbang seperti BPPT dan LIPI, dunia usaha yakni Wardah dan PT Haldin Pasific Semesta. Dan hasilnya, sudah ada pola induk  pengembangan klaster inovasi nilam Aceh Jaya dengan pilot project 2018 yang melibatkan 200 Kepala Keluarga (KK) miskin di Aceh Jaya.

Sudah pula disiapkan 18 langkah program pengembangan Klaster Inovasi Nilam yang didalamnya sudah mencakup tahapan pengembangan kultivasi nilam unggul hingga ¿teaching industry¿. Inovasi pemasaran ditempatkan sejak tahap awal sehingga pemberian nilai tambah sudah dimulai sejak nilam ada di tangan petani.

Pewarta: Virna P Setyorini

Editor : Riza Mulyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2018