Jakarta (Antaranews Babel) - Pada tahun politik, 2018 dan 2019, rakyat akan menggunakan hak pilihnya melalui pemilihan umum untuk menentukan pilihan terbaiknya dalam mendapatkan pemimpin.

Pemimpin daerah yakni kepala daerah dipilih rakyat melalui pemungutan suara dalam pemilihan umum kepala daerah secara serentak yang dijadwalkan berlangsung pada 27 Juni 2018 di 171 daerah. Di 171 daerah itu terdiri tersebar di 17 provinsi untuk memilih gubernur- wakil gubernur, 115 kabupaten untuk memilih bupati-wakil bupati, dan 35 kota untuk memilih wali kota-wakil wali kota.

Sementara pemimpin nasional yakni presiden dan wakil presiden serta para wakil rakyat di parlemen seperti DPR RI, DPD RI, dan DPRD provinsi, serta DPRD kabupaten dan kota juga bakal serentak dipilih rakyat dalam pemilihan umum yang diagendakan berlangsung pada 17 April 2019.

Terdapat sekitar 500 pasangan calon kepala daerah yang harus dipilih salah satu pasangannya oleh seorang rakyat pemilih untuk pemilihan umum kepala daerah tahun ini.

Untuk Pemilu 2019 dalam memilih pasangan presiden dan wakil presiden minimal terdapat dua pasangan calon yang akan muncul sedangkan untuk calon DPR, DPD  dan DPRD provinsi, serta DPRD kabupaten-kota bakal terpampang ribuan nama dan gambar calon yang bakal tampil untuk dipilih oleh rakyat.

Sesuai dengan slogan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), "Pemilih Cerdas Pemilu Berkualitas", rakyat memang perlu cerdas dalam memilih para pemimpinnya.

Rakyat mesti cerdas dalam mempertimbangkan dan menentukan pilihannya agar jangan sampai memberikan suara kepada pemimpin yang diragukan integritas dan kualitasnya.

Setiap pemilih tentu saja berharap bahwa calon pemimpin yang dipilihnya merupakan yang terbaik dan mampu membawa perbaikan kesejahteraan rakyat dengan memberikan pelayanan umum secara maksimal serta dekat dengan rakyatnya dan tidak memiliki cacat hukum.

Dalam kamus politik memang dikenal beberapa kategori pemilih dalam menentukan calonnya, seperti berdasarkan kesamaan ideologi dengan kandidat, kesamaan afiliasi terhadap partai politik pendukungnya, kesamaan latar belakang kedaerahan atau profesi, berdasarkan pragmatisme, dan berdasarkan rasional.

Pemilih yang memilih secara rasional memenuhi kriteria sebagai pemilih yang cerdas berdasarkan akal sehat dan penilaian objektif dengan mempertimbangkan kualitas moral, integritas, dan rekam jejak, serta perilaku sehari-hari dari calon pemimpinnya.

Jangan sampai rakyat merasa menyesal setelah memilih pemimpin yang ternyata di belakang hari tidak bisa menjadi pemimpin yang amanah.

Dengan perkembangan demokrasi yang diharapkan semakin baik dan kedewasaan politik yang matang dari rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, sudah saatnya untuk benar-benar mencermati integritas calon pemimpinnya.

Nah, untuk memilih pemimpin tampaknya perlu juga memahami tentang kepemimpinan.

Banyak literatur tentang seni, model, aspek, dan nilai kepemimpinan.

Salah satunya yang disampaikan oleh Kepala Staf Kepresidenan Jenderal (Purn) Moeldoko saat memberikan pembekalan kepada 278 Perwira Siswa (Pasis) Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung pada Jumat (23/3) lalu.  

Bahan yang diperoleh dari Kantor Staf Presiden (KSP) menyebutkan bahwa kuliah umum mantan panglima TNI di hadapan pasis tersebut bertema tentang perubahan geopolitik-geoekonomi dan transformasi kepemimpinan.

Moeldoko mengenalkan model-model kepemimpinan dan menemukan model kepemimpinan yang paling efektif. Terdapat beberapa model kepemimpinan, di antaranya adalah kepemimpinan otoriter, demokratis, partisipatif, atau bebas. Tidak ada satu model yang menunjukkan paling hebat atau paling efektif. Hari ini, kepemimpinan yang efektif adalah kepemimpinan yang memahami kebutuhan bawahan secara relatif dan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan.

Dalam konsep kepemimpinan, aspek fisik adalah salah satu elemen penting. Namun yang lebih penting adalah aspek intelektualitas, sosiabilitas, emosionalitas, personabilitas, dan morabilitas.

Dalam aspek morabilitas, menyangkut di antaranya integritas, tanggung jawab, dan kemurahan hati. Ini adalah salah satu fondasi kepemimpinan yang paling penting, karena terkait dengan kemampuan seseorang untuk menjaga integritas moral, sehingga pengaruh yang diberikan kepada orang lain dapat berefek jangka panjang.

Dalam konteks transformasi kepemimpinan, harus membangun diri dengan nilai-nilai yang juga bertransformasi, misalnya, dari jujur menuju dipercaya. Kejujuran memang keniscayaan tetapi dipercaya orang lain dan dipercaya masyarakat jauh lebih penting. Juga dari kualitas (quality) ke pilihan (preference). Memiliki kualitas kemampuan memang diwajibkan tetapi menjadi pilihan rakyat untuk berlindung adalah lebih utama.

Banyak nilai lain yang juga perlu ditransformasi, seperti dari kemasyhuran menuju aspirasi. Memiliki kemasyuran karena memiliki prestasi memang utama tetapi mampu menjadi aspirasi bagi rakyat untuk membantu bela negara jauh lebih bermanfaat.

Kemudian transformasi dari komunikasi ke dialog. Komunikasi menggunakan panca indera, dialog menggunakan hati. Lalu dari pelayanan ke hubungan baik. Melayani rakyat adalah kewajiban, menjalin hubungan baik dengan rakyat adalah hak. Kemudian transformasi dari pengenalan diri ke kepribadian.

Untuk menjadi negara maju, Indonesia memerlukan orang yang memiliki kebutuhan berprestasi yang kuat, yang dicirikan oleh adanya standar tinggi dalam bekerja, menyukai tantangan, mengambil tanggung jawab pribadi, disipin, dan berani mengambil risiko.
    
Kebajikan

Negara maju memang memiliki ciri-ciri diisi oleh orang-orang yang memiliki "need of achievement", kebutuhan akan prestasi yang sangat kuat. bukan "need of affiliation", berdasar kolusi dan nepotisme. Mereka yang ada di negara maju memiliki standar keunggulan dalam bekerja, menyukai tantangan, mengambil tanggung jawab pribadi, disiplin dan berani ambil risiko.

Ada lima hal mengapa seseorang mau mengikuti orang lain. Pertama karena otoritas/ kekuasaan. Dasarnya perintah, misalnya, seorang jenderal kepada orang di tingkat kepangkatan di bawahnya. Kedua, seseorang mau mengikuti orang lain karena rasa takut, biasanya ini oleh mafia. Ketiga karena ada karisma, misalnya, dimiliki oleh para pemimpin agama dan tokoh masyarakat.

Keempat, seseorang mau mengikuti orang lain karena memiliki hal atau aspirasi yang sama, seperti terjadi pada partai politik.

Kelima, seseorang mau ikut atau dipimpin orang lain, adalah karena kagum dan percaya kepada sang pemimpin. Inilah tingkatan tertinggi seseorang jadi pemimpin, kata Moeldoko.

Seorang pemimpin harus memberikan kebajikan kepada bawahan sehingga bawahannya akan berkata, tidak ada hal yang bisa saya berikan kepada Anda, kecuali kesetiaan.

Kepemimpinan setidaknya memiliki aspek. Aspek pertama terkait hal-hal fisik, seperti aspek penglihatan (visual aspect), aspek pendengaran (audio aspect), dan aspek penciuman (smell aspect), terkait hal-hal fisik yang akan mempengaruhi persepsi orang lain tentang kemampuan kepemimpinan seseorang.

Meskipun di bagian permukaan, aspek tersebut tak boleh diabaikan. Kalau kita tak rapi, orang akan dengan mudah mengartikan siapa diri kita. Aspek fisik jadi ukuran awal orang lain menilai kita.

Selanjutnya, aspek intelektual, mencakup logika berpikir (logical thinking), berpikir kreatif (creative thinking), dan berpikir praktis (practical thinking). Aspek ini lebih dari sekadar masalah nilai IQ, karena terkait kemampuan seseorang dalam mengelola cara berpikir sehingga mampu memberi pengaruh efektif kepada orang lain.

Berikutnya adalah aspek kemampuan sosial, meliputi kepedulian sosial (social awareness), kemampuan mengelola hubungan sosial (social relationship management), dan keterampilan memecahkan masalah sosial (social problem solving skill). Aspek ini lebih dari sekadar kecerdasan emosial karena terkait kemampuan membangun jaringan sosial sebagai modal untuk melebarkan pengaruh.

Terkait aspek kemampuan sosial, Moeldoko mengingatkan, penting agar sebagai pemimpin jangan menciptakan hambatan psikologis bagi bawahan. Pemimpin itu harus banyak  mendengar.

Lalu aspek emosional, termasuk di antaranya memahami atas pemahaman emosi, ekspresi emosi, dan manajemen emosi. Terkait mengelola emosi orang lain sehingga mampu memberikan pengaruh lebih optimal.

Ada pun aspek personal, menyangkut kepedulian, kepercayaan, dan motivasi diri. Inilah salah satu aspek yang menjadi fondasi kepemimpinan karena terkait dengan kesadaran tentang hakikat diri serta visi-misi pribadi yang akan disebar dan disebarluaskan kepada orang lain.

Ada pula aspek moral, terkait integritas, tanggung jawab, dan kemurahan hati. Aspek moral menjadi salah satu fondasi penting kepemimpinan terkait kemampuan seseorang menjaga integritas moral sehingga pengaruh yang diberikan kepada orang lain menjadi berlanjut terus dan memiliki efek jangka panjang.

Nah, dalam tahun politik untuk mencari figur pemimpin yang diinginkan ini, tentu saja tak bisa mengabaikan kepemimpinan yang ada pada para calon pemimpin.

Pewarta: Budi Setiawanto

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2018