Jakarta (Antaranews Babel) - Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso mengatakan beras yang digelontorkan untuk operasi pasar (OP) dan Beras Sejahtera (Rastra) diprioritaskan memakai beras hasil serapan dalam negeri.
Dalam konferensi pers di Kantor Perum Bulog Jakarta, Rabu, Budi Waseso, menyebutkan bahwa beras impor sebanyak 1,4 juta ton yang sudah masuk, ternyata tidak sesuai dengan tipe beras yang disukai masyarakat Indonesia, sehingga beras tersebut belum didistribusikan.
"OP dan Rastra serta bencana alam selama kita punya dalam negeri, kenapa pakai luar negeri. Saya evaluasi hasil impor yang lalu, ternyata jenis rasa atau 'taste'-nya tidak sesuai dengan Indonesia," kata Budi Waseso atau akrab disapa Buwas.
Buwas mengungkapkan dari hasil evaluasinya, beras impor ternyata memiliki jenis beras yang keras atau pera, berbeda dengan kualitas beras pulen yang rasanya lebih disukai masyarakat Indonesia.
Menurut dia, jika beras impor tersebut didistribusikan sebagai beras OP atau Rastra, tentu masyarakat akan mengeluhkan dan persepsi Bulog yang menjual beras berkualitas rendah akan terus diingat.
"Kalau lihat Bulog ingatnya itu beras raskin, padahal sudah berubah. Kualitasnya bahkan dengan impor, kita lebih baik," kata dia.
Oleh karena itu, Bulog hingga akhir Desember 2018 akan terus melakukan serap gabah petani sebanyak 4.000-5.000 ton per hari pada musim kering, sementara pada masa panen raya bisa 10.000-15.000 ton serapan per hari.
Sejauh ini, Bulog telah menyerap beras dalam negeri sebanyak 1,4 juta ton atau 52,2 persen dari target sebesar 2,72 ton pada akhir 2018.
Buwas menambahkan stok cadangan beras Bulog sampai akhir tahun bisa mencapai 3 juta ton dengan perhitungan serap gabah 4.000 ton per hari. Dengan tambahan serap gabah masa panen pada Januari-Juni 2019, Buwas memperkirakan bahwa Indonesia tidak perlu melakukan impor beras sampai Juni 2019.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2018
Dalam konferensi pers di Kantor Perum Bulog Jakarta, Rabu, Budi Waseso, menyebutkan bahwa beras impor sebanyak 1,4 juta ton yang sudah masuk, ternyata tidak sesuai dengan tipe beras yang disukai masyarakat Indonesia, sehingga beras tersebut belum didistribusikan.
"OP dan Rastra serta bencana alam selama kita punya dalam negeri, kenapa pakai luar negeri. Saya evaluasi hasil impor yang lalu, ternyata jenis rasa atau 'taste'-nya tidak sesuai dengan Indonesia," kata Budi Waseso atau akrab disapa Buwas.
Buwas mengungkapkan dari hasil evaluasinya, beras impor ternyata memiliki jenis beras yang keras atau pera, berbeda dengan kualitas beras pulen yang rasanya lebih disukai masyarakat Indonesia.
Menurut dia, jika beras impor tersebut didistribusikan sebagai beras OP atau Rastra, tentu masyarakat akan mengeluhkan dan persepsi Bulog yang menjual beras berkualitas rendah akan terus diingat.
"Kalau lihat Bulog ingatnya itu beras raskin, padahal sudah berubah. Kualitasnya bahkan dengan impor, kita lebih baik," kata dia.
Oleh karena itu, Bulog hingga akhir Desember 2018 akan terus melakukan serap gabah petani sebanyak 4.000-5.000 ton per hari pada musim kering, sementara pada masa panen raya bisa 10.000-15.000 ton serapan per hari.
Sejauh ini, Bulog telah menyerap beras dalam negeri sebanyak 1,4 juta ton atau 52,2 persen dari target sebesar 2,72 ton pada akhir 2018.
Buwas menambahkan stok cadangan beras Bulog sampai akhir tahun bisa mencapai 3 juta ton dengan perhitungan serap gabah 4.000 ton per hari. Dengan tambahan serap gabah masa panen pada Januari-Juni 2019, Buwas memperkirakan bahwa Indonesia tidak perlu melakukan impor beras sampai Juni 2019.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2018