Jakarta (Antaranews Babel) - Anggota Komisi I DPR RI Sukamta meminta TNI tidak memaksakan kebijakan memasukan prajurit TNI aktif dalam jabatan sipil, karena akan menjadi persoalan serius kalau tetap dilakukan.
"Pertama, ini akan berpotensi mengulang dwi fungsi ABRI yang terbukti justru membuat TNI terlalu sibuk dengan jabatan sipil daripada profesional bekerja di bidang utamanya," kata Sukamta di Jakarta, Jumat.
Kedua menurut dia, berpotensi terjadi gesekan antara sipil dan TNI, itu akan kontra-produktif dengan proses demokratisasi yang sudah berjalan selama ini.
Ketiga, dia menjelaskan akan ada potensi TNI masuk politik dan menabrak berpotensi menabrak Undang-Undang yang ada.
"Rencana kebijakan TNI aktif masuk jabatan sipil berasal dari kondisi banyak perwira tinggi 'non job' seperti dikatakan Panglima TNI," ujarnya.
Sukamta yang merupakan Sekretaris Fraksi PKS DPR RI, menilai kondisi itu berawal dari kondisi anggaran TNI selama lima tahun ini hanya 0,42 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) untuk memenuhi Minimum Essential Forces (MEF).
Akibatnya menurut dia, TNI yang harusnya fokus pada peningkatan profesionalisme dalam tugasnya, utamanya menyiapkan diri dan isntitusi untuk berperang menjadi tidak memadai.
"Kondisi itu membuat program dan kegiatan serta organisasi menjadi minimalis sehingga jenis pekerjaan tentara profesional yang seharusnya banyak menjadi terbatas. Itu sumber dari pengangguran para perwira tinggi di TNI," katanya.
Menurut dia, solusi yang paling tepat bukan memasukkan para perwira tersebut ke jabatan-jabatan sipil kecuali yang masih terkait dengan TNI, karena jabatan sipil kompetisinya sudah demikian hebat di demokrasi saat ini.
Dia menilai solusi paling baik yang berdampak besar bagi TNI dan Indonesia yang besar ini dan berefek jangka panjang adalah menaikkan anggaran TNI sesuai janji Presiden Jokowi saat kampanye lima tahun yg lalu yaitu 1,5 persen dari PDB.
"Anggaran 1,5 persen dari PDB itu selain untuk profesionalisme prajurit, untuk membeli alutsista. Kalau anggarannya besar kebutuhan-kebutuhan dasar bisa dipenuhi, organisasi akan disesuaikan juga sesuai kebutuhan yg pada gilirannya akan menciptakan 'lowongan kerja'," katanya.
Sebelumnya, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dalam Rapat Pimpinan TNI 2019 mengusulkan perubahan struktur TNI sekaligus merevisi UU nomor 34 tahun 2004 tentang TNI.
Dia menginginkan eselon satu, eselon dua di kementerian/lembaga bisa diduduki TNI aktif sehingga pangkat kolonel bisa masuk.
Anggota Ombudsman RI, Ninik Rahayu menilai salah satu arah baru kebijakan TNI yaitu penempatan prajurit TNI aktif di jabatan sipil, berpotensi maladministrasi dalam konteks penyalahgunaan wewenang dan prosedur dalam kebijakan publik.
"Kami sampaikan peringatan dini karena memperhatikan ketentuan UU nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, UU nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), dan PP nomor 11 tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, pintu prajurit masuk ke ranah sipil sudah ditutup rapat," kata Ninik dalam konferensi pers di Gedung Ombudsman, Jakarta, Kamis (21/2).
Dia menjelaskan Pasal 39 UU TNI disebutkan bahwa prajurit TNI dilarang melakukan kegiatan di ruang politik praktis, bisnis, dan kegiatan lain yang berkaitan dengan legislasi dan kepentingan politis.
Selain itu menurut dia, dalam Pasal 47 UU TNI disebutkan apabila prajurit TNI aktif yang ingin masuk dalam jabatan sipil maka harus mundur dari institusinya dan menjalani rekrutmen seperti ASN lainnya.
"Dalam PP no 11 tahun 2017 disebutkan sangat jelas bahwa bagi TNI/Polri yang akan menempati jabatan di sektor sipil maka harus mundur dari jabatannya," ujarnya.
Menurut dia, dalam Pasal 47 ayat 2 UU TNI memungkinkan prajurit TNI aktif menempati jabatan tertentu di beberapa lembaga antara lain Mahkamah Agung, Intelijen Negara, Sandi Negara, dan Dewan Pertahanan Nasional.
Dia mengatakan kalau mau menempatkan TNI di luar ketentuan Pasal 47 ayat 2 itu maka perlu upaya pembuatan keputusan politik yaitu diambil bersama antara pemerintah dan DPR.
"Menteri Pertahanan dan Menteri koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) harus duduk bareng untuk melihat arah baru kebijakan TNI tersebut. Tujuan baik harus melalui proses hukum yang sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku," katanya.
Ninik mengatakan kalau penempatan prajurit TNI di 10 kementerian/lembaga sesuai Pasal 47 ayat (2) UU TNI, pihaknya tidak masalah karena sudah diatur namn informasi yang diperoleh, penempatan sampai jabatan lain di ASN sehingga perlu penyikapan
Kesepuluh kementerian/lembaga tersebut membidangi koordinator Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Negara, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotik Nasional dan Mahkamah Agung.
Dia menegaskan dalam UU TNI, landasan kebijakan yang digunakan bagi prajurit TNI adalah pasal 5 bahwa TNI merupakan alat negara dalam bidang pertahanan tergantung kebijakan politik negara, dan wewenangnya ada pada keputusan politik negara, bukan keputusan TNI.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2019
"Pertama, ini akan berpotensi mengulang dwi fungsi ABRI yang terbukti justru membuat TNI terlalu sibuk dengan jabatan sipil daripada profesional bekerja di bidang utamanya," kata Sukamta di Jakarta, Jumat.
Kedua menurut dia, berpotensi terjadi gesekan antara sipil dan TNI, itu akan kontra-produktif dengan proses demokratisasi yang sudah berjalan selama ini.
Ketiga, dia menjelaskan akan ada potensi TNI masuk politik dan menabrak berpotensi menabrak Undang-Undang yang ada.
"Rencana kebijakan TNI aktif masuk jabatan sipil berasal dari kondisi banyak perwira tinggi 'non job' seperti dikatakan Panglima TNI," ujarnya.
Sukamta yang merupakan Sekretaris Fraksi PKS DPR RI, menilai kondisi itu berawal dari kondisi anggaran TNI selama lima tahun ini hanya 0,42 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) untuk memenuhi Minimum Essential Forces (MEF).
Akibatnya menurut dia, TNI yang harusnya fokus pada peningkatan profesionalisme dalam tugasnya, utamanya menyiapkan diri dan isntitusi untuk berperang menjadi tidak memadai.
"Kondisi itu membuat program dan kegiatan serta organisasi menjadi minimalis sehingga jenis pekerjaan tentara profesional yang seharusnya banyak menjadi terbatas. Itu sumber dari pengangguran para perwira tinggi di TNI," katanya.
Menurut dia, solusi yang paling tepat bukan memasukkan para perwira tersebut ke jabatan-jabatan sipil kecuali yang masih terkait dengan TNI, karena jabatan sipil kompetisinya sudah demikian hebat di demokrasi saat ini.
Dia menilai solusi paling baik yang berdampak besar bagi TNI dan Indonesia yang besar ini dan berefek jangka panjang adalah menaikkan anggaran TNI sesuai janji Presiden Jokowi saat kampanye lima tahun yg lalu yaitu 1,5 persen dari PDB.
"Anggaran 1,5 persen dari PDB itu selain untuk profesionalisme prajurit, untuk membeli alutsista. Kalau anggarannya besar kebutuhan-kebutuhan dasar bisa dipenuhi, organisasi akan disesuaikan juga sesuai kebutuhan yg pada gilirannya akan menciptakan 'lowongan kerja'," katanya.
Sebelumnya, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dalam Rapat Pimpinan TNI 2019 mengusulkan perubahan struktur TNI sekaligus merevisi UU nomor 34 tahun 2004 tentang TNI.
Dia menginginkan eselon satu, eselon dua di kementerian/lembaga bisa diduduki TNI aktif sehingga pangkat kolonel bisa masuk.
Anggota Ombudsman RI, Ninik Rahayu menilai salah satu arah baru kebijakan TNI yaitu penempatan prajurit TNI aktif di jabatan sipil, berpotensi maladministrasi dalam konteks penyalahgunaan wewenang dan prosedur dalam kebijakan publik.
"Kami sampaikan peringatan dini karena memperhatikan ketentuan UU nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, UU nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), dan PP nomor 11 tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, pintu prajurit masuk ke ranah sipil sudah ditutup rapat," kata Ninik dalam konferensi pers di Gedung Ombudsman, Jakarta, Kamis (21/2).
Dia menjelaskan Pasal 39 UU TNI disebutkan bahwa prajurit TNI dilarang melakukan kegiatan di ruang politik praktis, bisnis, dan kegiatan lain yang berkaitan dengan legislasi dan kepentingan politis.
Selain itu menurut dia, dalam Pasal 47 UU TNI disebutkan apabila prajurit TNI aktif yang ingin masuk dalam jabatan sipil maka harus mundur dari institusinya dan menjalani rekrutmen seperti ASN lainnya.
"Dalam PP no 11 tahun 2017 disebutkan sangat jelas bahwa bagi TNI/Polri yang akan menempati jabatan di sektor sipil maka harus mundur dari jabatannya," ujarnya.
Menurut dia, dalam Pasal 47 ayat 2 UU TNI memungkinkan prajurit TNI aktif menempati jabatan tertentu di beberapa lembaga antara lain Mahkamah Agung, Intelijen Negara, Sandi Negara, dan Dewan Pertahanan Nasional.
Dia mengatakan kalau mau menempatkan TNI di luar ketentuan Pasal 47 ayat 2 itu maka perlu upaya pembuatan keputusan politik yaitu diambil bersama antara pemerintah dan DPR.
"Menteri Pertahanan dan Menteri koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) harus duduk bareng untuk melihat arah baru kebijakan TNI tersebut. Tujuan baik harus melalui proses hukum yang sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku," katanya.
Ninik mengatakan kalau penempatan prajurit TNI di 10 kementerian/lembaga sesuai Pasal 47 ayat (2) UU TNI, pihaknya tidak masalah karena sudah diatur namn informasi yang diperoleh, penempatan sampai jabatan lain di ASN sehingga perlu penyikapan
Kesepuluh kementerian/lembaga tersebut membidangi koordinator Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Negara, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotik Nasional dan Mahkamah Agung.
Dia menegaskan dalam UU TNI, landasan kebijakan yang digunakan bagi prajurit TNI adalah pasal 5 bahwa TNI merupakan alat negara dalam bidang pertahanan tergantung kebijakan politik negara, dan wewenangnya ada pada keputusan politik negara, bukan keputusan TNI.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2019