Jakarta (ANTARA) - Dewan Pengawas KPK menilai Ketua KPK Firli Bahuri dan Deputi Penindakan KPK Karyoto tidak melakukan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku dalam penanganan perkara OTT Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
"Pada tanggal 9 November 2020, Dewan Pengawas mengirimkan surat kepada Indonesia Corruption Watch (ICW) yang pada intinya menyebutkan bahwa Firli Bahuri dan Karyoto tidak terbukti melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku dalam penanganan perkara OTT UNJ. Dalam surat tersebut Dewan Pengawas mendasari kesimpulannya pada empat hal," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana di Jakarta, Jumat (13/11).
ICW pada 26 Oktober 2020 melaporkan Firli Bahuri dan Karyto telah melakukan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku berkaitan dengan kasus OTT UNJ.
"Alasan Dewas KPK pertama adalah penanganan kasus tangkap tangan atas dugaan tindak pidana korupsi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang dilakukan oleh KPK atas perintah ketua KPK akibat dari laporan yang kurang lengkap dari Plt Direktur Pengaduan Masyarakat yang menyebutkan telah membantu OTT di Kemendikbud," ungkap dia.
Alasan kedua Dewas KPK adalah penerbitan surat perintah penyelidikan telah dikoordinasikan antarkedeputian dan telah sesuai dengan prosedur yang berlaku di KPK.
Alasan ketiga, keputusan ketua KPK agar penanganan kasus tangkap tangan atas dugaan tindak pidana korupsi di Kemendikbud dilakukan oleh KPK telah dikoordinasikan dengan pimpinan KPK lainnya melalui media komunikasi daring sehingga keputusan tersebut bukan inisiatif pribadi Firli Bahuri.
"Alasan terakhir, kasus yang ditangani dalam penyelidikan KPK, belum ditemukan bukti permulaan yang cukup serta belum terpenuhi ketentuan Pasal 11 ayat (1) UU No 19 Tahun 2019 tentang KPK maka sesuai dengan ketentuan yang berlaku maka KPK wajib menyerahkan penyelidikan ke penegak hukum lain. Mekanisme pelimpahan dalam keadaan tertentu dimungkinkan tidak melalui gelar perkara berdasarkan kebijakan pimpinan KPK," ungkap Kurnia.
Dalam surat tersebut, Dewas KPK juga mengakui terdapat kelemahan-kelemahan dalam penanganan kasus tangkap tangan atas dugaan tindak pidana korupsi di Kemendikbud.
Menanggapi hal tersebut, ICW memiliki beberapa catatan, yakni argumentasi dewas melenceng dari substansi putusan yang sebelumnya dijatuhkan terhadap Plt Direktur Pengaduan Masyarakat Aprizal yang mengungkapkan percakapan antara Aprizal dengan Firli Bahuri.
Dalam percakapan tersebut, menurut Kurnia, terlihat bahwa adanya pemaksaan dari Firli Bahuri untuk menangani perkara yang sedari awal dilakukan oleh Inspektorat Kemendikbud. Padahal, saat itu Aprizal sudah menyebutkan bahwa perkara itu tidak melibatkan penyelenggara negara, namun Firli mengabaikan informasi tersebut.
Tanggapan kedua, tidak lazim untuk pimpinan KPK membuat keputusan khususnya di kedeputian penindakan KPK hanya dengan percakapan daring tanpa adanya forum gelar perkara yang mempertemukan pimpinan dengan jajaran kedeputian penindakan, disertai tim pengaduan masyarakat.
Tanggapan ketiga, Dewas KPK mengingkari prosedur pelimpahan perkara ke penegak hukum lain karena dewas tidak merincikan situasi apa yang membuat adanya pengecualian prosedur pelimpahan perkara dan dewas tidak menjelaskan perihal "berdasarkan kebijakan Pimpinan KPK".
"Pimpinan KPK yang dimaksud oleh Dewan Pengawas merujuk kepada lima orang atau hanya beberapa orang saja? Jika hanya disepakati satu atau beberapa orang saja maka hal itu tidak dapat dibenarkan. Sebab, Pasal 21 ayat (4) UU KPK menyebutkan bahwa pimpinan KPK bersifat kolektif dan kolegial," katanya.
Tanggapan ICW keempat, dewas kerap tidak profesional dalam menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK. Contohnya, saat pimpinan KPK memulangkan paksa penyidik Kompol Rossa Purbo Bekti, simpang siur informasi izin penggeledahan kantor DPP PDIP, sampai pada putusan yang semestinya masuk pada kategori berat namun hanya diberikan teguran terhadap Firli Bahuri.
"Ini membuktikan bahwa sebenarnya keberadaan Dewan Pengawas gagal memberikan kontribusi bagi penguatan kelembagaan KPK," tegas Kurnia.