Glasgow (ANTARA) - China, India, Amerika Serikat, Australia dan negara-negara lain pemakai batu bara dengan jumlah besar tak menandatangani ikrar dalam KTT Iklim COP26 PBB di Glasgow untuk berhenti memakai batubara.
Indonesia, Polandia, Vietnam, dan negara-negara lain pada Kamis (4/11) berjanji untuk menghentikan penggunaan pembangkit listrik tenaga batubara dan menghentikan pembangunan pembangkit.
Tetapi, kesepakatan mereka pada KTT iklim COP26 gagal mendapatkan dukungan dari China, India, dan para konsumen batubara teratas lainnya.
Inggris mengatakan salah satu tujuan utamanya untuk KTT Perserikatan Bangsa-Bangsa itu adalah "mengubur batubara ke dalam sejarah". Kesepakatan itu diteken 23 negara yang membuat komitmen baru.
Presiden KTT COP26 Alok Sharma mengatakan kesepakatan itu merupakan langkah mengakhiri batubara "di depan mata".
"Hari ini saya pikir kita dapat mengatakan bahwa akhir dari batubara sudah di depan mata," kata Sharma dalam pertemuan di Glasgow.
Sharma mengatakan pada konferensi pers bahwa telah menjadi prioritas pribadi baginya sebagai presiden COP26 untuk mengubur batu bara ke dalam sejarah dan "Saya pikir Anda dapat mengatakan dengan yakin bahwa batu bara bukan lagi raja".
Namun, beberapa negara besar yang bergantung pada batu bara menjadi perhatian karena mereka tidak meneken ikrar untuk mengubur niat menggunakan bahan bakar fosil yang paling berpolusi ke dalam sejarah.
China bertanggung jawab atas sekitar 54,3 persen konsumsi batubara global pada 2020, sementara India menggunakan 11,6 persen, menurut tinjauan statistik energi dunia British Petroleum (BP) 2021. Amerika Serikat, yang juga tidak bergabung dengan janji tersebut, mengonsumsi 6,1 persen, tinjauan BP tersebut menunjukkan.
Emisi gas rumah kaca dari pembakaran batubara adalah satu-satunya penyumbang terbesar terhadap perubahan iklim. Menghentikan penggunaan batubara di dunia dianggap penting untuk mencapai target iklim global.
Penandatangan perjanjian COP26 setuju untuk menghentikan pembangkit listrik berbahan bakar batubara secara bertahap pada tahun 2030-an di negara-negara kaya, dan tahun 2040-an untuk negara-negara miskin.
Mayoritas penandatangan juga berkomitmen untuk menghindari investasi di pembangkit batubara baru di dalam dan luar negeri.
Susunan dan janji negara terus berubah sampai kesepakatan diumumkan. Absennya China, India, dan Australia menghambat upaya untuk mendapatkan dukungan global.
Seorang pejabat AS mengatakan rencana Presiden Joe Biden untuk mendekarbonisasi jaringan listrik pada 2035 akan mengurangi ketergantungan batubara, seperti juga undang-undang tentang infrastruktur dan pengeluaran sosial yang sedang dibahas oleh Kongres.
"Saya pikir kita akan segera membayar sejumlah tagihan yang akan mencapai 800 miliar dolar AS (Rp11 kuadriliun) dalam program energi bersih dan iklim yang benar-benar akan mendorong transformasi di Amerika Serikat, dan itulah yang menjadi fokus kami," kata seorang pejabat tinggi Departemen Energi AS kepada wartawan.
Senator AS Joe Manchin, seorang Demokrat dari negara bagian penghasil batubara di West Virginia dan pendiri dan pemilik sebagian perusahaan pialang batubara, telah menentang beberapa tindakan penyelamatan iklim dalam undang-undang.
Transisi tak merata
Beberapa ahli mengatakan kesepakatan itu merupakan langkah maju. Kesepakatan itu datang bersamaan dengan pengumuman oleh Powering Past Coal Alliance, sebuah persekutuan internasional, yang mengatakan telah mendapatkan 28 anggota baru, termasuk Ukraina, untuk berjanji berhenti menggunakan batubara.
Antony Froggatt, wakil direktur untuk program lingkungan dan masyarakat di lembaga kajian Chatham House London, mengatakan pengumuman itu "terkenal karena apa yang tak ada (negara-negara besar seperti AS, China) dan juga apa yang baru (negara-negara penanda tangan)".
"Ini memperlihatkan betapa tidak meratanya transisi menuju energi yang lebih bersih di seluruh dunia," katanya.
Komitmen tersebut tidak mengikat, dan beberapa penandatangan mengatakan bahwa mereka tidak akan dapat menghentikan penggunaan batubara secara bertahap tanpa bantuan keuangan dari negara lain.
"Kita perlu memiliki dana untuk menghentikan penggunaan batubara lebih awal dan untuk membangun kapasitas baru energi terbarukan," kata Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani Indrawati kepada Reuters, Rabu.
KTT COP26 sejauh ini telah memberikan dana sekitar 20 miliar dolar AS (Rp 290 triliun) untuk membantu negara-negara menghapus batubara, kata Inggris.
Inggris berharap KTT di Glasgow akan menghasilkan komitmen yang cukup untuk tetap mencapai target membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri.
Untuk mencapai target itu, dunia harus dapat mencapai emisi karbon nol bersih pada 2050.
Inggris sebagian besar telah menghilangkan batubara dari pembangkit listrik, tetapi belum memutuskan proposal untuk tambang batubara baru di Cumbria, Inggris barat laut, yang dimaksudkan untuk mengekstrak kokas yang digunakan untuk produksi baja.
Kesepakatan COP26 mencakup pembangkit listrik berbahan bakar batubara, tetapi tidak penggunaannya dalam industri manufaktur.
KTT COP26 sejauh ini telah menghasilkan kesepakatan tentang batubara, deforestasi, dan metana, tetapi gambaran yang jelas belum muncul tentang apa yang akan ditambahkan oleh inisiatif sukarela ini dalam hal menurunkan kenaikan suhu.
Seorang juru bicara pemerintah Polandia mengatakan komitmen negara itu akan mengakhiri penggunaan batubara pada tahun 2040-an. Polandia sebelumnya telah setuju untuk menghentikan penambangan batubara pada 2049.
Para juru kampanye menyerukan tanggal akhir yang lebih awal dan kebijakan yang tegas untuk memastikan Polandia sepakat.
"Polandia harus menetapkan rencana yang jelas dan konkret untuk tak memakai batubara paling lambat 2030," kata Joanna Flisowska dari Greenpeace Polandia.
Inggris mengatakan pihaknya berharap kesepakatan batubara, dengan penandatangan awalnya, akan mendorong negara lain seperti China dan India untuk bergabung.