Pangkalpinang (ANTARA) - Krisis konstitusi sudah mulai ketika Mahkamah Konstitusi (MK) membuat Putusan MK No.135/PUU-XXII/2024. Memisahkan “Pemilu Nasional dengan Pemilu Daerah dan menunda Pemilu Kepala Daerah dan Pemilu Calon Anggota DPRD dua tahun enam bulan paling lama setelah pelantikan anggota DPR/DPD dan Presiden/Wakil Presiden,”
MK telah melampaui kewenangannya sebagaimana diatur dalam Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). MK mengumumkan Putusan No.135/PUU-XXII/2024 dalam sidang terbuka untuk umum pada 26 Juni 2025. MK telah terlalu jauh masuk pada pengaturan teknis Pemilu dengan menetapkan “penyelenggaraan Pemilu Daerah (Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota, dan DPRD) dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden“.
Putusan MK tersebut sebagai rangkaian proses persidangan atas Permohonan Pengujian Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diajukan oleh Yayasan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Putusan MK No.135/PUU-XXII/2024 masuk dalam kategori “Putusan Bertafsir”. MK telah berulang kali membuat Putusan Bertafsir. Putusan MK No.135/PUU-XXII/2024 dibuat dengan mekanisme “Putusan Bertafsir Konstitusional Bersyarat, atau Putusan Bertafsir Inkonstitutional Bersyarat”. Artinya, MK akan memutuskan suatu norma undang-undang yang diuji akan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang menafsirkan norma undang-undang tersebut mengikuti tafsir yang dibuat oleh MK dan dengan demikian tidak bertentangan UUD 1945.
Satu di antara Putusan Bertafsir MK lainnya Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009 berkaitan dengan pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. MK memutuskan “Ketentuan Pasal 28 dan Pasal 111 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden adalah konstitusional sepanjang diartikan mencakup warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT dengan syarat dan cara: (1). menunjukan KTP dilengkapi dengan Kartu Keluarga di TPS domisili, atau (2). Paspor yang masih berlaku bagi Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri di TPS Luar Negeri setempat.
Namun pelaksanaan Putusan MK 102/PUU-VII/2009 diserahkan kepada KPU, karena pengaturan teknis pelaksanan Pemilu adalah wewenang KPU. KPU tetap mengeluarkan Petunjuk Teknis pelaksanaan Putusan MK tersebut.
Kritik atas Putusan MK
Penetapan tengat waktu pelaksanaan “Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah” sebagaimana disebutkan dalam Putusan MK No.135/PUU-XXII/2024 sudah melampaui wewenang MK. Penetapan waktu pelaksanaan “Pemilu” tersebut sudah sangat teknis, yang sesungguhnya menjadi jurisdiksi Komisi Pemilihan Umum (KPU). KPU sangat paham tentang mekanisme dan logistic ke-Pemilu-an”. Kewenangan KPU telah diatur dalam Undang-Undang 7 Nomor 7 Tahun 2017 tentang tentang Pemilihan Umum juncto Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
Dalam kaitan dengan Putusan MK tersebut, MK seharusnya mendengarkan dan menjadikan pertimbangan Keterangan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU-RI) sebagai Pihak Terkait dalam pemeriksaan pengujian undang-undang UU No. 7 Tahun 2017 dan UU No. 8 Tahun 2015.
Kritik yang harus disampaikan adalah bahwa MK tidak memberi porsi perhatian terhadap “Keterangan Pemerintah dan Keterangan DPR-RI agar MK mengkaji lebih mendalam permohonan Pemohon untuk memisahkan penyelenggaraan Pemilu Nasional (DPR, DPD dan Presiden/Wakil Presiden) dengan tenggang waktu dua tahun untuk penyelenggaraan Pemilu Daerah (Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/WakilWalikota, dan DPRD). Sebagai akibatnya adalah Putusan MK ini titik beratnya adalah pada dalil-dalil Permohonan dari Pemohon. Dalam membuat Putusan tersebut, MK telah mengabaikan Keterangan DPR RI yang telah mengingatkan tentang Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 bahwa pemisahaan pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan (DPR, DPD, dan DPRD) adalah bertentangan dengan konstitusi.
Keterangan DPR-RI mengutip Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 yang menyatakan: Penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan (DPR, DPD, dan DPRD) secara terpisah adalah bertentangan dengan konstitusi dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, sehingga setiap ada upaya politik hukum terkait dengan sistem pemilu dan model pemilu haruslah berdasarkan kaidah konstitusi dan Putusan MK a quo sebagai tafsir konstitusionalitas norma yang mengatur. Dengan demikian, pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilu Anggota DPR, DPD dan Anggota DPRD tidak boleh diselenggerakan secara terpisah sebagaimana Putusan MK a quo.
Sebaliknya, Putusan MK tersebut memberi porsi berlebihan atas “Dalil-dalil Permohonan a quo”, yang antara lain menyatakan:
14. Bahwa harapan dan perintah Mahkamah untuk menyerahkan pembahasan terhadap format keserentakkan pemilu kepada pembentuk undang-undang, agar memilih format keserentakkan pemilu yang betul-betul memudahkan pemilih, menjaga prinsip kedaulatan rakyat, memastikan pelembagaan partai politik bisa terwujud, serta memperkuat sistem presidensil, akan sangat sulit bisa diwujudkan, karena tingginya konflik kepentingan yang terjadi pada diri pembentuk undang-undang, khususnya berkaitan dengan format keserentakkan pemilu;
15. Bahwa pembentuk undang-undang, secara nalariah, akan berpikir bagaimana membuat regulasi pemilu, khususnya ketentuan yang berkaitan dengan sistem pemilu, adalah ketentuan yang paling menguntugkan masing-masing partai politik yang nanti juga akan berlaga sebagai peserta pemilu”.
Dengan menetapkan “penyelenggaraan Pemilu Daerah (Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota, dan DPRD) dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden” sebagaimana dinyatakan dalam Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013,” MK telah mengubah materi Pasal 22E UUD 1945.
Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 menyatakan: “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”.
Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 menyatakan: “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.
Dengan menunda pelaksanaan Pemilu Calon Anggota DPRD, maka akan terjadi kekosongan Anggota DPRD dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden. Konstitusi tidak menyiapkan “aturan transisi atas pengisian jabatan anggota DPRD”. Dan tidak mungkin dikosongkan DPRD sampai pelantikan DPR, DPD dan Presiden-Wakil Presiden.
Pembuatan Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 tidak mempertimbangkan materi muatan konstitusi dan praktek ketatanegaraan yang selama ini terjadi di Indonesia. Secara esensial secara tegas dikatakan bahwa Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 dengan UUD 1945, lebih khusus melawan ketentuan Pasal 22E UUD 1945.
UU MK HARUS DIREVISI
Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 memberi pelajaran kepada kita semua, terutama DPR-RI dan Presiden untuk menata ulang kewenangan Mahkamah Konstitusi. Catatan paling utama adalah Mahkamah Konstitusi harus dilarang secara tegas menguji undang-undang yang mengatur kekuasaan kehakiman secara umum dan UU MK secara khusus.
Revisi UU MK ke depan juga harus mengatur lembaga pengusul hakim MK diberikan wewenang untuk menarik Hakim MK bilamana tidak dapat menjalankan fungsi sebagai hakim MK yang harus dijabarkan lebih lanjut dalam UU MK. Kita berharap ke depan Hakim MK betul penjelmaan seorang negarawan, yang membuat sebuah Putusan untuk kepentingan bangsa dan negara.
)* Prof Dr Andi Muhammad Asrun SH MH adalah Guru Besar Hukum Konstitusi Universitas Pakuan-Bogor
