Jakarta (ANTARA) - Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta K.H. Nasaruddin Umar mengatakan praktik penyebaran radikalisme, intoleransi, dan kebencian di mimbar keagamaan nyata terjadi dan harus diakui guna memunculkan kewaspadaan dini.
"Pertama, saya ingin berikan pernyataan bahwa itu ada, susah untuk mengatakan bahwa itu tidak ada. Persoalannya adalah bagaimana mengatasi agar ini tidak terus menerus terjadi," kata Nasaruddin dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin.
Untuk mengatasi hal tersebut, lanjutnya, perlu upaya maksimal dan tepat, karena maraknya generasi muda penerus bangsa yang jatuh dalam jeratan narasi ideologi radikal dan terorisme sangat berbahaya bagi keberlangsungan bangsa dan eksistensi Pancasila sebagai pedoman bangsa.
"Kita perlu dekati, sebagai seorang bapak dan mereka adalah anak kita, rangkul mereka beri perhatian supaya energi mereka yang besar tersalurkan, agar tidak digunakan untuk memecah belah bangsa. Energi mereka itu jangan digunakan untuk menyerang orang, tapi untuk merangkul orang," jelasnya dalam keterangan dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Dia menilai penanganan korban dan pelaku narasi radikal dan intoleran di ruang agama harus dilihat sebagai faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi kerentanan. Mungkin mereka melakukan hal itu karena faktor pengetahuan keagamaannya dan faktor historis lainnya, sebutnya.
Kedua, dia menambahkan perlu upaya pembatasan ruang gerak terhadap kelompok radikal yang memanfaatkan mimbar keagamaan untuk menyebarkan paham radikal, ekstem, dan intoleran. Menurutnya, hal itu penting agar tidak menyebarkan virus yang membawa bencana bagi keberlangsungan dan persatuan bangsa.
"Pendekatan berikutnya yaitu kita batasi pergerakan mereka agar nanti tidak seperti virus, yang justru membawa bencana kemana-mana. Jadi harus dilokalisir, aparat keamanan kita sudah harus memberi warning, kalau sudah menyerang ya harus dilawan," tegasnya.
Dia mengungkapkan kelompok radikal kerap memutarbalikkan narasi yang menggiring opini masyarakat, seakan-akan Pemerintah telah melakukan praktik Islamofobia.
"Islamofobia kan itu kelompok yang tidak mau islam dan muslim berkembang, tidak ada itu di Indonesia. Bahkan kita punya Kementerian Agama dan lembaga lainnya yang mengatur dan mendukung jalannya kehidupan beragama di Indonesia. Masa ini Islamofobia, saya kira tidak tepat," kata mantan wakil menteri agama itu.
Dia juga menilai hal itu terkait cara pandang individu terhadap suatu permasalahan, sehingga Pemerintah wajib melaksanakan tugas-tugas kenegaraannya untuk mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Imbauan serta temuan aparat terkait radikalisme dan upaya penanganan yang tidak tepat dikatakan sebagai Islamofobia.
"Oleh karenanya, saya kira penting bagi seseorang untuk memiliki pemahaman agama yang komprehensif, memperkuat akidah agar tidak mudah terpancing dan terprovokasi," katanya.
Dia menilai upaya Pemerintah selama ini patut diapresiasi, apalagi belakangan ini masyarakat dapat menikmati kehidupan yang aman dan damai dari tindak pidana terorisme.
"Selama ini kita bertahun-tahun menikmati kehidupan yang aman damai, itu kan karena ada sistem yang bekerja, bukan hal yang terjadi begitu saja," tuturnya.
Dia berharap seluruh tokoh agama dan masyarakat dapat membekali umat dan pengikutnya agar tidak mudah terpengaruh paham radikal dan terorisme serta mengedepankan ilmu agama yang komprehensif.
"Jangan sampai karena persoalan subjektif kita lantas marah-marah, membenci. Jadi harus kedepankan objektivitas, itu kan cara Nabi," ujarnya.