Jakarta (ANTARA) - Nama Dukuh Atas dan Jalan Sudirman di Jakarta Pusat akhir-akhir mendadak menjadi pusat perhatian masyarakat, tak hanya di Ibu Kota dan sekitarnya, namun hingga seantero negeri.
Kawasan tersebut terkenal lantaran viral atau tenar di sejumlah kanal media sosial.
Ketenaran kawasan di jantung Kota Jakarta itu berawal saat sejumlah remaja mendatangi destinasi tersebut untuk sekedar berkumpul santai saat libur sekolah dan akhir pekan. Tujuannya menikmati pemandangan gedung-gedung pencakar langit.
Dukuh Atas memang mudah diakses siapa saja. Misalnya dengan menumpangi kereta rel listrik (KRL) dan turun di Stasiun Sudirman atau menumpangi TransJakarta.
Bisa juga menumpangi Moda Raya Terpadu (MRT) dan turun di Stasiun Dukuh Atas, kemudian berjalan kaki beberapa meter sudah menjumpai beberapa objek menarik mata untuk dipandang, antara lain,Terowongan Kendal dengan coretan mural yang berwarna-warni.
Kawasan itu pun kemudian ramai dikunjungi para remaja yang berasal daerah penyangga Jakarta seperti Citayam, Bojonggede hingga Depok di Jalan Sudirman atau kini kawasan itu dikenal "SCBD".
Beberapa di antara anak baru gede (ABG) itu kemudian banyak mengunggah aktivitas mereka di media sosial. Misalnya bergaya seperti seorang wartawan yang mewawancarai remaja.
Dengan gaya busana "nyentrik", gerak-gerik lucu dan kerap melontarkan jargon seperti "slebew" ketika diwawancarai. Itu menjadi daya tarik yang mengalihkan perhatian warganet karena beda dari biasanya.
Biasanya, kawasan itu banyak lalu-lalang para pekerja dengan gaya busana kantor yang serba formal. Atau yang akan berangkat ke Bandara Soekarno-Hatta menumpangi kereta melalui Stasiun BNI City.
Selain aksi reportase layaknya jurnalis, belakangan mereka juga unjuk busana dengan berlenggak-lenggok seperti seorang model menggunakan trotoar dan penyeberangan jalan (zebra cross).
Sejumlah figur remaja bermunculan karena viral di media sosial. Sebut saja Jeje, Bonge, Roy dan Kurma.
Adu busana
Terkenalnya kawasan Dukuh Atas, seperti "virus" yang begitu cepat menular bagi sebagian kalangan.
Awalnya, anak-anak muda tersebut memamerkan gaya busana "nyentrik". Berjalan ala model bergaya di penyeberangan Jalan Tanjung Karang, Dukuh Atas.
Dikatakan "nyentrik" karena gaya busananya memberi kesan beda. Misalnya menggunakan kaos dipadupadankan dengan kemeja flanel berukuran besar dan celana jeans robek model lawas.
Sebagian dari remaja itu juga mewarnai rambut mereka dengan warna pirang sehingga menambah kesan "nyentrik".
Selain itu, ada juga yang menggunakan jaket denim dan celana jeans, lengkap dengan topi dan kacamata berbentuk unik serta sepatu warna-warni, melalui ajang yang mereka kerap sebut "Citayam Fashion Week" (CFW).
Belum jelas asal-usul penamaan unjuk busana itu, namun diperkirakan karena dipelopori remaja dari Citayam, Jawa Barat di lokasi itu.
Tak hanya para remaja berusia tanggung itu. Ajang CFW kini berubah menjadi adu busana yang ikut menarik sejumlah selebritas Ibu Kota untuk mencicipi "panggung" di jalan raya itu.
Sebut saja mantan model papan atas, Paula Verhoeven serta sejumlah artis peran misalnya Baim Wong dan pemain sinetron laga, Afdal Yusman.
Tak hanya artis, para pejabat juga ikut menjajal CFW di antaranya Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang mengajak para petinggi institusi lembaga keuangan Uni Eropa hingga Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil yang tak mau ketinggalan.
Tentu, mereka menampilkan gaya busana tak kalah mentereng dari para remaja.
Pro-kontra
Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mendukung dan mengapresiasi kreativitas anak-anak muda tersebut dalam CFW.
Alasannya, mereka bisa menampilkan kreasi dan ekspresi serta mengenalkan busana yang merupakan produk lokal.
Namun, di tengah hingar-bingar "Citayam Fashion Week", ia mengakui ajang itu melahirkan sisi lain yang tidak bisa dikesampingkan.
Tentu yang terlupakan adalah para pejalan kaki, para pekerja kantoran yang biasa bebas lalu-lalang berjalan di trotoar dari stasiun menuju tempat kerja dan sebaliknya, kini tak mudah bergerak karena semakin ramainya kawasan Dukuh Atas.
Belum lagi jalur penyeberangan jalan yang kini berubah menjadi ajang peragaan busana dan lalu lalang kendaraan yang melintas di kawasan itu terpaksa harus terhenti.
Meski Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di Jakarta adalah level satu dan pandemi COVID-19 masih belum dinyatakan berakhir, namun kerumunan di Dukuh Atas terbilang tinggi.
Apalagi saat malam dan akhir pekan suasana padat orang yang sebagian di antaranya tidak menggunakan masker untuk melindungi diri dari penularan COVID-19.
Petugas gabungan pun diturunkan di kawasan itu setiap hari untuk memastikan ketertiban, meski jumlahnya masih kalah dari para pengunjung.
Potensi pelanggaran
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tidak melarang aksi remaja melakukan peragaan busana di "SCBD".
Menurut dia, aktivitas para remaja itu baru bisa dilarang ketika ada surat atau berupa ketetapan sehingga komentar atau tanggapan tidak bisa melarang kegiatan para ABG di Dukuh Atas itu.
"Selama belum ada surat maka tidak ada larangan," kata Anies di Balai Kota Jakarta, Jumat (22/7).
Sementara itu, lembaga swadaya masyarakat, Jakarta Watch menyoroti mengapa ajang itu tetap berjalan meski tidak sesuai peruntukan padahal sudah diatur Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Ketua Jakarta Watch, Andy William Sinaga mengatakan, peragaan busana yang menggunakan trotoar dan penyeberangan jalan di Dukuh Atas itu terindikasi melanggar undang-undang tersebut.
Dalam Pasal 131 UU Nomor 22 Tahun 2009 mengatur secara jelas hak pejalan kaki untuk disediakan tempat penyeberangan, trotoar dan fasilitas lainnya.
Sedangkan pada Pasal 132 disebutkan para pejalan kaki apabila menyeberang wajib menggunakan tempat yang telah ditentukan.
Adapun tempat yang sudah ditentukan itu adalah "zebra cross" atau tempat penyeberangan.
Intinya sarana penyeberangan jalan merupakan sarana lalu lintas untuk penyeberangan yang digunakan pejalan kaki, bukan untuk kegiatan peragaan busana.
Dalam Pasal 274 dan 275 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 itu mengatur sanksi berupa ancaman pidana satu sampai dua tahun tahun penjara dan denda maksimal Rp24 juta sampai Rp50 juta.
Sebelumnya, Wakil Wali Kota Jakarta Pusat Irwandi menegaskan trotoar dan "zebra cross" di Jalan Tanjung Karang, Kawasan Stasiun MRT Dukuh Atas, Jakarta Pusat, bukan berfungsi sebagai peragaan busana, melainkan fasilitas umum.
Ia meminta agar kelompok remaja "SCBD" itu memperhatikan pengguna kendaraan mobil dan motor yang melintasi kawasan itu serta pejalan kaki di trotoar dan penyeberangan jalan.
Masalah sosial
Sisi lain dari CFW adalah banyaknya remaja atau anak baru gede pria yang merokok bahkan sampah puntung rokok berserakan di sejumlah titik dan juga sampah plastik.
Selain itu, banyak remaja yang ditemukan sampai tertidur di jalur pejalan kaki.
Wakil Gubernur DKI Ahmad Riza Patria mengungkapkan, mereka tidur di trotoar karena berada di Dukuh Atas sampai larut malam sehingga mereka tertinggal kereta api untuk pulang.
Politisi Partai Gerindra itu kemudian meminta para ABG itu sudah harus pulang sebelum pukul 22.00 WIB.
"Jadi tolong jangan tiap malam 'fashion week'. Kalau tiap malam, nanti belajarnya kapan? Juga jangan sampai tengah malam, sampai ada yang tidak sempat pulang, ketinggalan kereta," kata Riza.
Gelaran CFW pun mulai dibubarkan petugas Satpol PP DKI sebelum pukul 22.00 WIB.
Petugas Satpol PP kemudian meningkatkan patroli untuk menertibkan aktivitas remaja tersebut agar tidak terulang kejadian serupa dan menghindari potensi kekerasan terhadap anak.
Selain itu, kemunculan parkir liar memanfaatkan jalur pejalan kaki atau trotoar di Jalan Sudirman, tepatnya di dekat jalur sepeda yang berada di atas "SCBD" juga menjadi masalah lain yang memerlukan penertiban dari petugas.
Banyaknya pengunjung yang hilir-mudik memarkirkan motornya dan kendaraan yang mengarah Jalan Kota Bumi dan Jalan Tanjung Karang, membuat kepadatan arus lalu lintas dari arah Bundaran Senayan menuju Bundaran Hotel Indonesia (HI).
Aksi anak anak muda dalam "Citayam Fashion Week" memang merupakan kreativitas. Namun jangan sampai kreasi itu justru mengorbankan atau mengganggu fasilitas yang dibutuhkan publik.
Perlu wadah yang dapat menampung kreativitas mereka untuk berkarya lebih positif dan bermakna. Misalnya, tempat alternatif yang tidak mengganggu fasilitas publik.
Beberapa opsi bisa dijadikan alternatif lokasi. Misalnya selasar Balai Kota Jakarta, pusat perbelanjaan atau Taman Ismail Marzuki (TIM).