Jakarta (ANTARA) - Dua orang warga negara Indonesia yang tertahan di perusahaan tempat mereka bekerja di kawasan Provinsi Bokeo Laos, meminta bantuan perlindungan dari pemerintah RI karena menerima perlakuan yang melibatkan kekerasan fisik dari pihak perusahaan.
Saat dihubungi ANTARA melalui sambungan telepon dari Jakarta, Jumat, salah satu WNI tersebut dengan inisial RP mengatakan ia bekerja di sebuah perusahaan di kawasan tersebut dan kini tertahan tak bisa meninggalkan tempat ia bekerja karena tak memegang identitas seperti paspor maupun KTP.
Dia bekerja sebagai operator administrasi sebuah perusahaan yang diduga scammer atau penipuan yang melakukan berbagai modus untuk mengajak orang berinvestasi, padahal investasi yang dibuat adalah investasi bodong.
Baca juga: Seorang WNI di Jepang akhiri hidupnya setelah empat bulan bekerja
Menurutnya, dia dan rekan kerjanya berinisial T sebelumnya bekerja di Myanmar. Namun pindah ke Laos usai ditawari pekerjaan sebagai operator administrasi perusahaan gim. Ketika tiba di Laos, pekerjaan yang dia hadapi tak sesuai dengan apa yang ditawarkan.
“Hingga saat ini juga tak ada kontrak kerja yang sudah dijanjikan dari awal. Paspor kami pun disebut hilang di perjalanan dari Myanmar ke Laos sehingga kami tidak memiliki identitas apapun, KTP kami kini juga ditahan,” papar RP.
Selain itu mereka telah menerima ancaman akibat target pekerjaan yang disebut tak memenuhi standar. Namun bukan sekedar teguran atau surat peringatan yang diterimanya, tapi juga tindak kekerasan fisik.
“Saya sangat berharap untuk pertolongannya, hari ini saya disetrum di bagian bahu sebanyak 3-4 kali, dan pada tanggal 5 ini HP pribadi kami akan disita,” ujar dia.
Dia pun mengatakan bahwa jika target tak juga tercapai, keduanya diancam akan dijual ke perusahaan lain.
Oleh karena itu, RP meminta pertolongan kepada pihak pemerintah, khususnya Kementerian Luar Negeri dan KBRI Vientiane untuk memberikan bantuan perlindungan. Dia khususnya berharap agar pihak KBRI dapat menjemput keduanya.
ANTARA telah menghubungi Kementerian Luar Negeri RI, namun belum mendapatkan keterangan tentang hal tersebut hingga berita ini ditayangkan.