Jakarta (ANTARA) - Indonesia kehilangan cendikiawan Muslim terkemuka Prof. Azyumardi Azra pada Minggu, 18 September 2022. Ketokohan guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta itu mengikuti jejak seniornya Prof. Nurcholis Madjid yang juga dari kampus yang sama. Berikutnya ada pula Prof. Komarudin Hidayat, juniornya, yang ketokohannya juga tak kalah.
Ketiganya punya kemiripan. Sama-sama besar di UIN Jakarta serta lahir dari organisasi kemahasiswaan yang sama: Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) serta pernah berkarir sebagai rektor.
Nurcholis Madjid menjadi Rektor Universitas Paramadina, Azyumardi Azra dan Komaruddin Hidayat pernah menjabat Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Bahkan kini Komarudin Hidayat menjadi rektor Universitas Islam Internasional Indonesia.
Ketiganya juga pengusung ide Islam yang terbuka sebagai modal untuk kebangkitan Islam dan hidup berdampingan dengan masyarakat dunia yang majemuk. Ketiganya ibarat lentera bangsa tertinggi dari bagian selatan Jakarta karena selain menjadi tokoh Muslim di masyarakat juga tokoh Muslim terkemuka di lembaga formal universitas.
Ide-ide ketiganya menguasai wacana di kancah nasional melalui media massa nasional maupun buku-buku keislaman modern. Ketiganya memang piawai menulis dengan gaya bahasanya masing-masing yang khas.
Mereka juga menjadi narasumber di berbagai panggung. Para junior di HMI dari barat sampai timur kerap menjuluki ketiganya sebagai peletak "Mazhab Ciputat".
Nama ketiganya menjadi yang teratas pada buku berjudul "Dekonstruksi Islam Mazhab Ciputat" yang ditulis penulis lainnya, seperti Fachry Ali, Kautsar Azhari Noer, Budhi Munawar Rahman, Sayful Muzani, Hendro Prasetyo, Ihsan Ali Fauzi dan Ahmad Sahal.
Buku tersebut diberi kata pengantar oleh M. Dawam Raharjo dengan editor Edy A. Effendy. Buku itu menjadi sangat populer bagi para aktivis pergerakan Islam di akhir 1999-an dan awal 2000-an.
Ide ketiga tokoh itu, selain menguasai kancah nasional juga seringkali memantik kontroversi, sehingga menarik perhatian banyak pihak yang pro dan kontra.
Tak jarang saking kontroversi ketiganya, mereka yang tak pernah belajar Islam atau berkuliah di pendidikan umum berani menghujat ketiganya yang jelas-jelas menempuh jalur pendidikan Islam sejak kecil.
Sejarawan Islam
Azyumardi Azra pada akhirnya lebih dikenal sebagai sejarawan Islam yang menekuni kajian di wilayah Asia Tenggara. Ia bahkan dikenal sebagai ilmuwan sosial produktif di Indonesia dengan sitasi di Google Scholar sebanyak 16.853 dan h-index 51.
Sebagai dosen, Azyumardi juga berjasa besar pada transformasi kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) yang akhirnya diikuti oleh hampir seluruh IAIN di Indonesia. Berkat jasanya pula kini di kampus Islam terdapat fakultas ilmu umum, seperti kedokteran, pertanian, dan biologi.
Penulis pernah menjadi moderator saat Azyumardi menjadi pembicara pada Rakernas II GEMA Mathla'ul Anwar di BSD pada penghujung 2018. Masih terngiang tiga pesan Azyumardi kepada para kaum pemuda. Pertama, Azra berpesan untuk selalu yakin bahwa Islam wasathiyah atau Islam pertengahan adalah pilihan terbaik untuk hidup percaya diri di tengah bangsa yang majemuk.
Kedua, kaum muda hendaknya tak lagi mempertentangkan Islam dengan kebangsaan karena sudah jelas cinta Tanah Air merupakan ekspresi dari keimanan.
Ketiga, kaum muda harus meyakini bahwa kemajuan Indonesia adalah juga kemajuan umat Islam. Kemajuan sebuah perusahaan di Indonesia yang dimiliki non muslim misalnya, juga adalah kemajuan umat Islam karena mayoritas pegawainya merupakan umat Islam.
Kini di tengah dukacita karena kepergiannya, ternyata Azyumardi Azra masih meninggalkan wasiat berharga bagi umat Islam di Nusantara.
Di Malaysia, Azyumardi berencana membawakan makalahnya yang berjudul "Nusantara untuk Kebangkitan Peradaban: Memperkuat Optimisme dan Peran Ukat Muslim Asia Tenggara" di Persidangan Antarbangsa Kosmopolitan Islam Mengilhami Kebangkitan, Meneroka Masa Depan, pada 17 September 2022.
Penulis mendapatkan makalah tersebut yang dibagikan oleh Viva Yoga Mauladi di grup Presidium KAHMI Viva Yoga. Di makalah tersebut jelas sekali di usianya yang tak lagi muda, Azyumardi masih optimistis akan datangnya kebangkitan Islam dari Asia Tenggara (baca: Indonesia dan Malaysia) sepanjang prasyaratnya terpenuhi, yakni stabilitas politik, akses pendidikan tinggi berbasis riset yang setara dan pemberdayaan kembali masyarakat madani.
Terakhir Azyumardi menutup makalah tersebut dengan dua paragraf yang memikat. Dua paragraf itu ibarat wasiat terakhir Azyumardi bagi umat Islam kelak bila berhasil bangkit memimpin peradaban dunia.
Ia menulis, "Kebangkitan peradaban juga memerlukan pemanfaatan sumber daya alam secara lebih bertanggung jawab. Sejauh ini, kekayaan alam di Indonesia dan agaknya juga di Malaysia cenderung dieksploitasi secara semena-mena dan tidak bertanggung jawab. Akibatnya muncullah berbagai bencana sejak dari banjir bandang, banjir besar, kebakaran hutan, bencana asap dan seterusnya.
Dalam konteks terakhir ini, kaum Muslimin di Asia Tenggara perlu memberi contoh tentang penerapan Islamisitas atau nilai-nilai Islam secara aktual dalam penyelamatan alam lingkungan dan sumber daya alam.
Di sini kaum Muslim harus memperkuat integritas diri pribadi dan komunitas, sehingga dapat mengaktualkan Islam rahmatan lil alamin dengan peradaban yang juga "menjadi blessing bagi alam semesta."
Selamat jalan Prof. Azyumardi Azra. Kembalilah jiwa yang tenang berjumpa dengan Allah SWT dan selamat bertemu kembali dengan seniormu Prof. Nurcholis Madjid.
Indonesia telah kehilangan salah seorang peletak Madzhab Ciputat, sang pemberi lentera zaman.