Jakarta (ANTARA) - Presiden Joko Widodo menegaskan pemerintah tetap akan mempertahankan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) berada di bawah 3 persen pada 2023.
"Banyak yang menyarankan 'Presiden Jokowi, untuk tumbuhkan ekonomi kita minta saja ke DPR agar fiskal kita bisa diberi lebih (ruang defisit) dari 3 persen lagi seperti krisis'. Saya diskusi dengan Bu Menkeu, beliau kasih alasan banyak, jadi ya tetap di bawah 3 persen saja, yang penting APBN kita harus sehat, ini kunci," kata Presiden Joko Widodo di Jakarta, Kamis.
Presiden Jokowi menyampaikan hal tersebut dalam acara United Overseas Bank (UOB) Economic Outlook 2023 yang juga dihadiri Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan pejabat terkait lain.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan COVID-19, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diizinkan melebihi 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama tiga tahun atau berakhir pada 2022.
"Sekarang semua negara sedang berkonsentrasi menguatkan dari namanya inflasi. Ini jadi momok semua negara, takut sama barang yang namanya inflasi, ini ketakutan luar biasa," ungkap Presiden.
Menurut Presiden Jokowi, inflasi Indonesia Indonesia (year on year) adalah pada posisi 4,6 persen, lebih rendah dibanding negara lain.
"Kenapa bisa kita jaga seperti ini? Karena menurut saya, antara otoritas pemegang fiskal APBN, yaitu Bu Menteri Keuangan dengan bank sentral yaitu Bank Indonesia berjalannya beriringan, rukun, sinkron," kata Presiden.
Presiden Jokowi lalu menyebut bila dibandingkan dengan negara yang lain yang otoritas moneter dan fiskalnya tidak sinkron, maka berujung pada inflasi.
"Di negara lain, bank sentral naikin bunga, menteri keuangannya naikin defisit, artinya apa? Menggrojokkan uang lebih ke pasar, artinya nambah inflasi, yang satu rem inflasi, yang satu grojokin inflasi. Ini bedanya karena BI dan Kemenkeu kerja rukun sinkron, konsolidatif, APBN-nya konsolidatif, ABPN-nya menyehatkan berani memutuskan," jelas Presiden.
Sedangkan kerja BI sebagai bank sentral dinilai Presiden hati-hati dan menyesuaikan situasi tetapi juga konsisten kepada pelaku-pelaku industri.
"Yang paling penting adalah bisa menjaga stabilitas. Negara kita Indonesia kalau saya lihat pemulihan ekonominya relatif masih kuat," ungkap Presiden.
Presiden Jokowi mengatakan realisasi pendapatan negara pada 2022 adalah Rp 1.764 triliun atau tumbuh 49 persen dibanding tahun 2021.
"Kemudian kepada para pembayar pajak, saya mengucapkan terima kasih karena penerimaan pajak sampai sekarang mencapai Rp1.171 triliun. Tumbuh 58 persen, artinya pembayar pajak masih ada dan justru tumbuh 58 persen," tambah Presiden.
Sedangkan penerimaan bea dan cukai mencapai Rp206 triliun atau tumbuh 30,5 persen. Realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) mencapai Rp386 triliun atau tumbuh 38,9 persen.
"Nanti tolong ditanyakan Bu Menteri Keuangan jelasnya siapa yang bayar pajak? Bea cukai siapa yang bayar? PNBP siapa yang bayar? Artinya masyarakat masih konsisten dan memiliki kemampuan dalam hal yang tadi saya sampaikan," ungkap Presiden.
Namun Presiden juga menyebut bahwa ia selalu menyampaikan ke Menkeu Sri Mulyani agar amunisi anggaran yang dimiliki Indonesia benar-benar dikelola dengan bijak.
"Saya minta betul dijaga hati-hati, bijaksana betul dalam menggunakan setiap rupiah yang kita miliki, tidak jor-joran dan betul-betul harus dijaga, tidak boleh kita berpikir uang hanya untuk hari ini dan tahun ini tahun depan seperti apa karena semua pengamat internasional menyampaikan tahun depan lebih gelap, tapi kalau punya persiapan, amunisi akan berbeda sehingga betul-betul APBN kita berkelanjutan," kata Presiden.