Jakarta (Antara Babel) - Penyelidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) untuk ketiga kalinya memeriksa Presiden Direktur (Presdir) PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin untuk dimintai keterangan terkait rekaman kasus Freeport yang menyeret nama Ketua DPR RI Setya Novanto dan pengusaha M Reza Chalid.
Selain itu, penyelidik juga telah meminta keterangan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said selaku pihak yang melaporkan rekaman itu kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Penyelidik Kejagung harus berkerja keras untuk mengungkap rekaman itu hingga nantinya apakah layak ditingkatkan ke penyidikan atau tidak dilanjutkan karena tidak ada bukti.
Memang patut dipuji kesigapan Kejagung yang langsung menanggapi tekanan publik atau "media" atas kasus Setya Novanto itu.
Namun ada yang terasa janggal ketika diperbincangkan adanya pasal permufakatan jahat sesuai Pasal 15 UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kasus tersebut masih dalam tahap penyelidikan yang artinya tengah mengumpulkan bukti-bukti apakah ada unsur pidananya atau tidak.
Faktanya Kejagung sudah terlanjur menyatakan pasal tersebut sehingga dapat dikatakan penanganan kasus tersebut "penyelidikan beraroma penyidikan".
Penyelidikan adalah tindakan mencari tahu apakah suatu peristiwa merupakan tindak pidana atau tidak, sedangkan penyidikan adalah tindakan mencari dan menemukan, mengumpulkan alat bukti serta mencari siapa pelaku tindak pidana.
Lazimnya penyebutan pasal dalam pelanggaran hukum itu jika kasus dugaan tersebut telah ditemukan ada bukti kejahatannya dalam artian kasus itu sudah ditingkatkan ke penyidikan.
Sehingga muncul kembali pro kontra soal penanganan kasus rekaman freeport itu oleh Kejagung, yang tentunya menambah kegaduhan baru di tanah air, setelah sebelumnya mengikuti persidangan etik di MKD.
Mantan Komisioner Komisi Kejaksaan Republik Indonesia (KKRI), Kaspudin Noor, meminta Kejaksaan Agung tidak terburu-buru menyebutkan pasal yang disangkakan terhadap dugaan rekaman Freeport Indonesia.
"Ini kasus masih penyelidikan atau penyidikan ? Kalau masih penyelidikan kenapa sudah disebut pasalnya," katanya yang juga pengajar di Fakultas Hukum Universitas Satyagama Jakarta.
Ia mengkhawatirkan dengan sudah disebutkan pasal itu akan menimbulkan argumentasi baru kembali.
Esensi utama penyelidikan itu adalah mencari tahu sebuah perbuatan itu pidana atau tidak.
Sehingga, di dalam menyelidik tidak boleh terburu-buru dan pekerjaannya rahasia dengan bukan menyampaikan begitu saja ke media hingga akan membingungkan masyarakat.
Dikatakan, seperti pasal yang dikemukakan oleh Kejagung adalah pasal permufakatan jahat sesuai Pasal 15 UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, namun anehnya saat ditanya apa akan menetapkan tersangka. "Kejagung menyatakan lihat dulu!, pernyataan itu menjadi pertanyaan apakah kasus ini penyelidikan atau penyidikan," katanya.
Ia mengkritik sikap Kejagung seolah-olah sudah percaya diri sudah ada unsur pidananya. "Karena itu, kalau belum yakin janganlah menyebut-nyebut pasal," tegasnya.
Karena itu, ia mengingatkan Kejagung untuk bekerja secara profesional karena kalau tidak profesional akan menjadi bumerang.
"Bumerangnya membuat pembuktian semakin berat," katanya.
Kendati demikian, ia tetap memberikan pujian kepada kejaksaan yang bersikap responsif ketika muncul rekaman freeport itu.
"Saya patut berikan acungan jempol kepada kejaksaan," katanya.
Sementara itu, aktivis pemberantasan korupsi, Boyamin Saiman, mengingatkan Kejaksaan Agung (Kejagung) agar jangan "hangat-hangat tahi ayam" dalam penyelidikan dugaan rekaman PT Freeport Indonesia.
"Maksudnya penyelidikannya harus tuntas dengan mengumpulkan barang bukti yang ada," kata yang juga Koordinator LSM Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI).
Ia mengingatkan jangan sampai Kejagung hanya memanfaatkan momentum kasus itu kemudian berhenti di tengah jalan karena dari penyelidikan itu bisa ditentukan apakah naik ke penyidikan atau sebaliknya.
Kekhawatiran memanfaatkan momentum itu, kata dia, tidak terlepas dari Kejaksaan Agung yang beberapa waktu lalu "dihajar" kasus dugaan korupsi dana hibah dan bansos Sumut terutama di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga sejumlah petinggi Partai Nasdem menjadi tersangka.
Di bagian lain, Boyamin Saiman menyebutkan sebenarnya rekaman itu sudah memenuhi adanya unsur percobaan untuk tindak pidana korupsi.
"Niat dan sudah melakukan korupsi itu sama," katanya.
"Memang kesan 'over acting' dari Kejagung dalam kasus itu sulit dihindari. Tapi sebaliknya kejagung harus menunjukkan keseriusannya dan mari kita kawal," katanya.
Dengar rekaman
Jaksa Agung RI HM Prasetyo menyatakan penyelidik sudah mulai mendengar rekaman yang tengah gonjang-ganjing di Republik Indonesia saat ini dan nantinya akan dicermati satu persatu bagian pembicaraan mana yang bisa dimaknai sebagai percobaan.
Menunjukkan adanya percobaan di sana, adanya pemufakatan, karena dalam pasal 15 itu kan diatur di sana bahwa "barang siapa melakukan perbantuan, kemudian percobaan, untuk melakukan korupsi, pemufakatan jahat melakukan korupsi itu dihukum sama halnya dengan yang diatur dalam pasal 2, pasal , pasal 5 sampai dengan pasal 14 Undang-undang nomor 31 tahun 1999 yang diubah dan diperbarui dengan Undang-undang nomor 20 tahun 2001.
"Kita akan cermati di sana, kita akan objektif dan profesional," katanya yang juga eks politisi Partai Nasdem.
Saat ditanya permufakatan jahat itu artinya lebih dari satu orang, mantan Jaksa Agung Muda Pidana Umum (JAM Pidum) itu menyatakan pihaknya akan melihat itu nanti.
"Seperti apa, iya kan, diantara itu siapa yang bermufakat, iya kan, jelas enggak di sana, yang mau cari keuntungan siapa, makanya saya katakan beda ngobrol-ngobrol seperti mau bangun rumah atau makan-makan, ini ngobrol-ngobrol untuk mendapatkan, untuk beli apa private jet yang bagus dan representatif kan, beda dengan membikin rumah itu kan, beda dengan makan di warteg, beda. Ada pembicaraan, itu yang saya katakan kita masih dalami, itu merupakan pemufakatan untuk melakukan korupsi," paparnya.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) Arminsyah menegaskan dugaan rekaman Freeport masih dalam penyelidikan hingga tidak mengenal upaya pemanggilan paksa orang yang akan dimintai keterangan.
"Ya, ini masih penyelidikan, tidak ada upaya paksa," kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) Arminsyah di Jakarta, Selasa, menanggapi pertanyaan wartawan mengenai upaya pemanggilan paksa terhadap Setya Novanto dan M Riza Chalid bila tidak kooperatif.
Ia juga mengaku masih mendalami beberapa alat bukti dan keterangan guna mendapatkan titik terang kasus itu.
Ia enggan menjawab batasan berapa lama penyelidikan kasus tersebut.
Ia menegaskan penyelidikan itu untuk mendalami beberapa bukti dan keterangan.
Arminsyah juga enggan memberikan penjelasan lebih lanjut mengingat kasus itu masih dalam tahap penyelidikan.
Boleh-boleh saja Arminsyah menegaskan kasus ini masih penyelidikan, namun aroma penyidikan sudah terlanjur menyebar seantero negeri melalui media massa.