Jakarta (ANTARA) - Aktivis Gerakan Islam Cinta Habib Husein Ja'far Al Hadar mengatakan aksi teror bom bunuh diri di Polsek Astanaanyar Bandung, Rabu (7/12/) akibat kesalahpahaman dan propaganda atas nama agama yang disalahtafsirkan.
"Aksi teror itu adalah musuh kita bersama, apa pun agamanya," kata Habib Ja'far melalui keterangan tertulis Pusat Media Damai Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang diterima di Jakarta, Senin.
Alasannya, sambung dia, perbuatan pelaku teror sama saja dengan melawan kemanusiaan itu sendiri, bahkan yang paling mendasar melawan kemanusiaan dirinya sendiri.
Di satu sisi, Habib Ja'far mengatakan tatkala pelaku terorisme merupakan korban yang diperdaya kelompok tertentu dengan janji semu, kemuliaan dunia, dan akhirat sebagai hasil pengorbanannya kepada sang Ilahi sehingga perlu kembali meluruskan narasi keliru tentang esensi jihad.
"Kita tidak ingin mereka dibodohi melalui propaganda seperti itu. Kita sayang kepada mereka (kelompok radikal) maka kita ingin merangkul mereka," ujar dia.
Ia menjelaskan cara yang dilakukan kelompok radikal tersebut adalah salah. Untuk mendapatkan kemuliaan di dunia maupun kebahagiaan di akhirat, maka seharusnya semakin seseorang beragama, maka semakin besar cintanya kepada orang lain.
Pria yang meraih gelar magister bidang Tafsir Quran dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut menjelaskan berbagai upaya nyata yang bisa dilakukan dalam meluruskan kembali nilai-nilai kemanusiaan, toleransi, dan kebinekaan yang kerap didistorsi maknanya hingga memicu munculnya bibit radikal dan terorisme.
"Kenapa mereka bisa menjadi teroris? Karena mereka dipapar terus menerus oleh ideologi teror atas nama agama, suku, dan lain sebagainya," ujar dia.
Oleh karena itu, tugas semua pihak ialah bagaimana memapar balik mereka (kelompok radikal) dengan nilai-nilai cinta dan perdamaian.
Mengutip riset Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Tahun 2021, Habib Jafar mengatakan konten yang tidak moderat, kini tiga kali lipat jauh lebih menguasai perbincangan di media sosial daripada konten moderat.
Oleh sebab itu, katanya, menyerang balik narasi radikal kekerasan dengan paparan narasi cinta dan perdamaian harus dilakukan. Ia optimistis Indonesia mampu menang dari radikalisme dan terorisme yang mengancam kedaulatan dan persatuan bangsa.
"Kita melakukan propaganda yang sebaliknya tentang toleransi di antara umat beragama, suku, dan bangsa," katanya.
Menurutnya, paparan konten dan narasi yang dibangun kelompok radikal sejatinya perlu menjadi perhatian, baik dari segi kuantitas konten dan narasi yang didiseminasikan maupun kualitas narasinya yang mampu mengambil hati penerimanya.
Untuk itu, papar dia, perlu perlawanan balik melalui konten dan narasi moderat dengan isi maupun kuantitas yang lebih besar.
Pemerintah dan tokoh masyarakat harus hadir bekerja sama, berperan dalam rangka mencegah, serta membongkar pola pikir maupun pergerakan kelompok radikal di tengah masyarakat karena sekecil apa pun aksi terorisme merupakan masalah besar yang harus menjadi perhatian semua pihak.