Jakarta (ANTARA) - Habib Husein Ja'far Al-Hadar atau yang kerap lebih dikenal dengan Habib Ja'far mengatakan moderasi yang kuat dan mengakar di tengah masyarakat bisa mencegah dan menangkal doktrin intoleransi.
"Otomatis ini juga tidak akan mampu meracuni persatuan dan perdamaian di Bumi Pertiwi," kata Habib Husein saat memberikan materi dalam Muktamar Pemikiran dan Halaqah Kyai dan Nyai Muda Pesantren di Pesantren Al-Falak, Bogor, Jawa Barat, Selasa.
Oleh karena itu, lanjut Habib Husein, moderasi beragama jangan hanya sebatas dipahami, tetapi harus disebarkan secara luas kepada masyarakat, termasuk kepada para pengguna internet (netizen).
Habib Husein mengatakan bahwa di dunia maya kelompok-kelompok intoleran mendominasi dalam menyebarkan doktrin-doktrinnya. Hal ini dikarenakan propaganda di dunia maya lebih mudah, murah, dan efektif serta manjur dalam mengubah pola pikir seseorang.
"Kita memasuki realitas baru yang dinamakan realitas virtual. Orang sudah tidak lagi membedakan mana realitas nyata dengan realitas virtual," ujarnya, dikutip dari siaran pers.
Bahkan, secara tidak sadar, orang-orang lebih mementingkan realitas virtual daripada realitas nyata.
Berdasarkan riset, kata dia, 60 persen orang Indonesia menjadikan media sosial untuk mencari rujukan ilmu agama. Fenomena tersebut yang kemudian banyak pemuda mencari jati dirinya.
Kepada para muktamirin atau peserta muktamar, Habib Husein juga memaparkan adanya sebuah realitas baru yang muncul saat ini ialah tentang ideologi netizen yang masih abu-abu.
"Saya sering dimention oleh orang yang memiliki dua sisi ideologi berbeda. Inilah salah satu problem yang belum diketahui oleh para gus dan ning," kata Habib Husein.
Pada kesempatan itu, dia mengungkapkan adanya potensi besar pesantren dalam hal menampilkan beragam konten keagamaan. Lebih dari 30.000 pesantren di Indonesia mempunyai kemampuan melakukannya. Akan tetapi, kalangan pesantren (kelompok moderat) kurang militan dalam membuat konten.
"Baru mengunggah dua atau tiga kali, sudah berhenti. Ke depan, kelompok moderat harus lebih giat di medsos untuk kampanye moderasi beragama," ujarnya.
Dalam media sosial, seseorang dapat membangun imajinasi dengan dua dimensi. Pertama, dimensi moderat dan kedua dimensi ekstremis. Sebagai contoh banyak terbitan Alquran dengan memasukkan terjemahan versi kelompok ekstremis.
"Bahkan, Alquran saja sudah bisa di-framing dengan ideologi tertentu," ujarnya dalam acara yang diselenggarakan oleh Puslitbang Bimas Agama Kemenag RI itu.
Baca juga: Habib Milenial: Waspadai penyebaran virus radikalisme di masa pandemi