Jakarta (ANTARA) - Tiga tim berasal dari Italia, yakni Inter Milan, AS Roma dan ACF Fiorentina dipastikan melaju ke babak final untuk tiga edisi kompetisi kasta Eropa yaitu Liga Champions atau UEFA Champions League, Europa League dan Conference League.
Inter Milan bakal menghadapi Manchester City di final Liga Champions (11/6). Lalu AS Roma akan menantang tim langganan juara Europa League Sevilla (1/6). Sementara Fiorentina berambisi merengkuh trofi Conference League dengan menjamu West Ham United (8/6).
Tim-tim Italia ompong di Eropa lebih dari satu dekade sejak Inter Milan juara Liga Champions pada musim 2010 bahkan sukses meraih treble di era kepelatihan Jose Mourinho.
Malah di Europa League, tim asal Italia seolah hanya sekedar berkontestasi dan jauh dari kata garang setelah terakhir kali piala kasta kedua Liga Eropa itu tiba di Italia tahun 2000 yang dibawa oleh Parma.
Meski dibilang seumur jagung, Conference League yang merupakan kompetisi kasta ketiga Eropa diboyong menuju ibukota Italia oleh AS Roma di era Jose Mourinho pada musim lalu.
Klub Italia telah kehilangan pamor seusai menjadi liga teratas dunia pada dekade 1980 hingga 1990-an. Ketika itu, tim-tim Italia seperti AC Milan, Napoli, Juventus, Inter Milan hingga Parma hilir mudik mengangkat trofi Eropa.
Persoalan pelik
Namun memasuki masa milenium, lambat laun klub Italia tak seseksi dulu lagi. Selain ditinggal bintang-bintang dunia seperti Michael Platini, Ruud Gullit, Marco Van Basten, Frank Rijkard, Ronaldo da Lima dan Zinedine Zidane, Liga Italia menuai sejumlah persoalan yang pelik.
Krisis finansial yang menerpa negara Italia pada tahun 2000 menjadi pemantik dari ompongnya kompetisi Liga Italia. Salah satu imbasnya melanda Fiorentina yang pada tahun 2002 mengalami krisis finansial dan harus turun ke Serie B dan berganti nama klub.
Imbas dari krisis finansial juga menyebabkan klub-klub Italia mengubah kebijakan transfer mereka dengan mendatangkan pemain-pemain berusia lanjut atau melakukan peminjaman pemain.
Puncaknya terjadi di tahun 2006, meski tim nasional Italia mampu menjadi juara Piala Dunia, prestasi tersebut tak dapat menutupi salah satu skandal terbesar dalam sejarah sepak bola, yaitu kasus Calciopoli yang menyeret dua nama klub besar Juventus dan AC Milan.
Skandal itu menyebabkan Juventus terdegradasi ke Serie B dan dicopot gelar juara Serie A musim 2005/2006. Hingga beberapa tahun, efek domino dari sejumlah kasus itu masih belum terasa dari segi prestasi klub di kancah Eropa. Terbukti AC Milan masih mampu menjuarai Liga Champions di musim 2006/2007 dan Inter Milan di musim 2009/2010.
Namun, kegarangan klub Italia terasa hilang di kompetisi Eropa seusai musim 2009/2010 setelah klub-klub tak menampakkan geliat mendatangkan pemain bintang meski ditinggal nama-nama sekaliber Paolo Maldini, Javier Zanetti dan Alessandro Del Piero yang memutuskan pensiun.
Tak hadirnya bintang besar tu disebabkan klub-klub Italia tak mampu memberikan standar gaji tinggi yang diinginkan oleh pemain maupun pelatih yang dalam era itu bisa mereka peroleh dari tim-tim top Premier League maupun LaLiga.
Praktis hanya Juventus yang memang mendominasi di liga selama sembilan tahun sejak 2011 hingga 2019. Si Nyonya Tua juga mampu mencapai panggung final Liga Champions pada musim 2015 dan 2017.
Tapi Si Nyonya Tua begitu ompong untuk melawan dua klub raksasa Spanyol Barcelona dan Real Madrid yang berada dalam performa terbaik dengan dua mega bintang mereka Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo.
Mulai menggigit
Tim-tim Italia memang kalah dalam segi finansial, manajemen dan kedalaman skuad jika dibandingkan dengan kompetitor-kompetitor mereka dari Premier League, LaLiga maupun Bundesliga.
Akan tetapi, tim-tim Italia setidaknya sudah melakukan kebijakan transfer yang mulai menuai hasil di kompetisi Eropa saat ini. Kebanyakan klub Italia kini meramu kedalaman tim dengan mengkombinasikan pemain muda dan pemain berpengalaman.
Sebut saja AS Roma yang musim ini mendatangkan pemain pengalaman seperti Paulo Dybala, Nemanja Matic dan Giorgino Wijnaldum yang dipadukan dengan pemain muda semacam Nicola Zalewski dan Edoardo Bove.
Juga Inter Milan yang telah lebih dulu menuai hasil dari kebijakan transfer itu dengan menjuarai Serie A musim 2021. Inter memiliki komposisi pemain pengalaman macam Milan Skriniar, Romelu Lukaku yang disandingkan dengan Nicola Barella dan Andrea Bastoni.
Berbeda dengan klub Premier League dan LaLiga yang berani membayar triliunan Rupiah untuk menebus satu pemain, klub Italia justru menerapkan pola peminjaman pemain yang dicoba untuk satu atau dua musim lalu diberi kontrak permanen apabila dalam masa itu sang pemain dapat nyetel dengan tim.
Dari segi taktikal di dalam lapangan, tim-tim besar Eropa lebih bermain dengan gaya modern dengan menerapkan permainan pressing tinggi dan penguasaan bola, tim Italia justru menjadi "kryptonite" dari sepak bola modern.
Seperti kisah Superman yang tak berdaya dengan Kryptonitenya, klub-klub super yang memiliki para pemain bintang dan sistem permainan modern, seakan selalu mati kutu di hadapan gaya tua klub-klub dari Liga Italia.
Tim Italia masih mempertahankan filosofi catenacio mereka, formulasi bertahan dan memanfaatkan momentum transisi pemain untuk melakukan serangan balik.
Bukan sekedar itu saja catenacio juga mempunyai pola pendekatan yang variatif dan fleksibel dalam setiap pertandingan, tergantung lawan yang dihadapi mereka. Tak ada satu strategi yang di atas kertas sama dalam setiap pertandingan.
Setidaknya filosofi itu terbukti belum usang. Hal itu dibuktikan oleh tim nasional Italia yang menorehkan Piala Eropa pada tahun 2020 dan klub Real Madrid yang notabene dilatih oleh taktikal asal Italia Carlo Ancelotti yang menerapkan pendekatan catenacio dan sukses menjadi juara Liga Champions musim lalu.
Meski terlihat membosankan, tim Italia seperti memberikan tamparan pada sepak bola modern bahwa dalam sepak bola tidak melulu mengenai skema menyerang dan penguasaan bola.
Dengan bermainnya Inter Milan, AS Roma dan Fiorentina di final tiga kompetisi Eropa mungkin akan menjadi bukti bahwa tim Italia dengan kebersahajaan taktiknya dapat tampil menggigit di Eropa atau hanya sekedar memberi kesan bahwa sepak bola di Liga Italia masih ada. Jawabannya akan datang seusai partai final pada Juni mendatang.