Pangkalpinang (ANTARA) - Isra’ Mi’raj—peristiwa monumental dilekatkan kepada Muhammad saw, Khaataman-Nabiyyiin pasca pengorbanan dan kesedihan mendalam yang dialaminya. Peristiwa tersebut sangat metafisik, siapapun tidak mampu menjangkaunya. Isra’ Mi’raj adalah pasti dan mutlak dalam sejarah kehidupan manusia, ditegaskan dalam beberapa sumber syari’ah; al-Qur’an, al-Hadits dan beberapa riwayat serta argumen ulama. Setidaknya dua ayat, yaitu: pertama, terkhusus peristiwa Isra’ adalah QS.al-Isra’ (17):1; kedua, terkhusus peristiwa Mi’raj adalah dalam QS.an-Najm (53):13-18.
Namun demikian, peristiwa tersebut menyisakan pertanyaan bagi golongan tertentu, yaitu: golongan yang menafikannya. Menurut mereka, Isra’ Mi’raj tidaklah masuk akal bila disandangkan pada Muhammad saw., manusia biasa yang secara biologis sama dengan manusia lainnya. Tidak mungkin hal tersebut terjadi pada dirinya sebagai makhluk yang secara fisik sangat terbatas. Berbeda dengan pendapat kebanyakan umat Islam yang mengiyakan peristiwa tersebut, menerima secara iman. Jumhur ulama menegaskan bahwa Allah memperjalankan Muhammad saw. secara fisik, jasmaninya, dan juga non-fisik (jasadan wa ruuhiyan) dalam dua tahapan perjalanan, yaitu Isra’ dan Mi’raj. Jelasnya bahwa dengan akal potensial dan juga kalbu terdalam, kita meyakini peristiwa Isra' Mi’raj.
Sesungguhnya Isra’ Mi’raj bukan sesuatu yang irrasional (tidak masuk akal) melainkan supra-rasional. Penempatan kata, “Subhaanalladziy” di awal Surat al-Isra’ menunjukkan bahwa peristiwa tersebut adalah sesuatu yang berada di luar kebiasaan, hanya untuk penegasan, “lit-Tanziih, Tanziihun Muthlaqun, li dzikril-Asyyaa’ al-‘Ajabiyah al-Mu’jizah”. Pelakunya (al-Fa’aal) adalah Allah, dan objeknya (maf’uul) adalah seorang nabi, Muhammad saw. Diperlukan epistemologi irfani yang bersifat intuitif untuk mencernanya sebagai sesuatu yang bersumber dari Allah Swt., Dzat yang Mahasuci, mengemanasikan Nur Ilahi kepada orang-orang tertentu yang dikehendaki-Nya. “innaka laa tahdiy man Ahbabta, wa laakinnallaha Yahdiy may-Yasyaa” (Sesunnguhnya engkau tidak dapat memberikan petunjuk (hidayah) kepada orang yang cintai sekalipun, akan tetapi Allah memberikan petunjuk (hidayah) kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya).
Historisitas Isra’ Mi’raj
Isra’ adalah perjalanan dari Masjidul Haram (Mekkah) ke Masjidul Aqsha (Yerussalem) Palestina, dua kota tua seusia kebudayaan dan peradaban manusia di bumi. Allah memberkahi disekitarnya dengan dua keberkahan, baik materi keduniayaan (Maadiyah Dunyaawiyah) maupun spiritual keagamaan/keakhiratan (Ruuhiyah Diiniyah/ Ukhrawiyah). Adapun Mi’raj adalah perjalanan vertikal Muhammad saw, dari Masjidul-Aqsha ke Sidratul Muntaha—batas akhir pengetahuan makhluk Allah (Muntahaa ‘Uluumil-Makhluuqaat). Sidratul Muntaha sebagai (al-Manzilah ar-Raafi’ah lir-Rasuul ‘inda Rabbihi fil-Mi’raaj). Dalam peristiwa tersebut, Nabi didampingi oleh Jibril, al-Malak al-Quds) dan Buraq, hayawaan kahrubaa’i. Yajriy kal-Barqi (melesat secepat kilat) melebih kecepatan cahaya, yaitu: 299.792.458 meter/ detik. Buraq juga disebut, “Daabbatul-Baidh, thawiil, fauqal-Himaar wa duunal-Baghal. Lahu ujnihah”. (Hewan berkaki empat, berwarna putih, antara keledai dan kuda, dan memiliki sayap).
Bila kejatuhan manusia pertama identik dengan kehadiran Adam as., maka beberapa manusia bijak se-kelas nabi dan rasul kemudian menyertainya, yaitu Sys as., Idris as., Nuh as. dan seterusnya hingga Muhammad saw.,melekat pada mereka persitiwa sejarah bermakna. Isra’ Mi’raj adalah peristiwa tertentu dipilihkan kepada nabi akhir zaman tersebut sebagai Nabi Utama, afdhalul-Anbiyaa’ bahkan afdhalu Uulil-‘Azhmi. Ditegaskan oleh malaikat Jibril dalam sebuah riwayat, seraya berkata: “Aku sudah mengelilingi timur dan barat bumi, namun belum menemukan seorang pun yang lebih mulia dar Muhammad SAW”. lalu berkata Ibnu Abbas: “Sesungguhnya Allah memuliakan Muhammad atas penghuni langit dan semua nabi” (Al-Butoniy, 2009:79, juga dalam QS. Saba’ (34):28) Muhammad saw. adalah sosok yang memperoleh derajat tertinggi, disebut “Manzilah Khushuushiyah”—“‘a’laa maraatibisy-Syarafi”.
Bila dibandingkan dengan nabi-nabi sebelumnya, intensitas pertemuan Muhammad saw. dengan Jibril sangatlah tinggi, yaitu 24.000 kali (dalam usia 63 tahun. Sedangkan Nuh as. yang berusia jauh lebih tua, yaitu 1.450 tahun, hanya 50 kali. Begitu juga yang lainnya, tidak melampaui Rasulullah (Al-Butoniy, 2009:72-73). Sangat argumentatif bila peristiwa tersebut dilekatkan kepadanya.
Isra’ dan Mi’raj adalah fakta autentik dalam sejarah manusia. Sebagai bentuk apresiasi atas otoritas (qudrah) Allah Swt. dan apresiasi kepada keutamaan Muhammad saw. maka diperingatilah peristiwa tersebut di setiap tanggal 27 Rajab tahun hijriyah. Secara numerik al-Qur’an, kata Rajab terdiri dari 3 huruf, yaitu: “ra”, huruf ke-10, “jim”, huruf ke-5, dan “ba’”, huruf ke-2, berjumlah 17, mengindikasikan jumlah raka’at Shalat Lima waktu, dan angka 17 juga bertepatan dengan Surat al-Isra’ dalam al-Qur’an. Angka 17 ditambah 70 (al-Ma’arij), menjadi 87 (al-A’laa), tempat yang sangat tinggi—disitulah nabi Muhammad menerima wahyu shalat. Tentu, sebagai orang-orang yang beriman, kita pun melestarika tradisi tersebut.
Normatifitas Shalat
Ketika Isra’ Mi’raj diperingati di setiap Bulan Rajab, hakikatnya adalah Shalat Lima Waktu yang ditaklifkan kepada setiap muslim. Bila tidak, maka status penghambaannya sebagai makhluk tidaklah sempurna. Shalat menunjukkan keislaman dan keimanan seseoraang. Bila (ia) baik, maka amal-amal lain akan baik, dan sebaliknya bila (ia) rusak, maka amal-amal lain akan rusak. Shalat adalah rukun yang pertama kali dihisab di akhirat kelak.
Pewahyuan shalat turun pada tahun ke-10 kenabian, berawal dari peristiwa Isra’ —diperjalankannya Muhammad saw. di malam hari (asraa bi’abdihi) oleh Allah Swt. dari masjidul Haram ke Masjidul-Aqsha (horizontal) dan dari Masjidul-aqsha ke Sidratul Muntaha (vertikal) ke Sidratul Muntaha. Dalam peristiwa Mi’raj, Nabi Muhammad berjumpa dengan beberapa nabi di langit-langit tertentu; Adam as. di langit pertama; Yahya as. dan Isa as. di langit kedua; Yusuf as. di langit ketiga; Idris as. di langit keempat; Harun as. di langit kelima; Musa as. di langit keenam; Ibrahim as. di langit ketujuh. Beberapa peristiwa penting juga meliputinya hingga tersampai ke posisi tertinggi, yaitu Sidratul Muntaha (ditegaskan dalam Qs.an-Najm (53): 13-18)—posisi tertentu yang tidak digapai oleh Malaikat Jibril dan Hewan Buraq yang mendampinginya sebelumnya. Rasulullah bersabda: “lau Taqaddamta Khutwah, lahtaraqta” (jika engkau maju selangkah, maka engkau akan terbakar). Wa idzaa Anaa Taqoddamtu ihtaraqtu (begitu juga saya akan terbakar bila mendekat) (al-Tsa’labi, dalam Kitab al-Israa’ wal-Mi’raaj, Imam ibnu Abbas).. Akhirnya, dengan kekuatan mukasyafah nya (bashar—bashiirah), Nabi menghadap Tuhan, Allah, Dzat yang Mahasuci. Turunlah perintah shalat secara bertahap, dari 50 waktu menjadi 5 waktu sehari semalam setelah anjuran Nabi Musa, seraya berkata: “is’alhut-Takhfiif” (mintalah keringanan kepada Allah Swt.), Sejumlah 50 waktu diasumsi saat itu sangat memberatkan bagi umat pasca Muhammad saw. Pastinya demikian apalagi kesempurnaan penunaian shalat didasarkan pada keharusan khusyu’ dan khudhu’ di hadapan Allah.
Shalat Lima Waktu yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad dan kemudian secara normatif teologis diberlakukan kepada setiap muslim diharapkan menjadi bentuk penghambaan diri—optimalisasi iman menuju ketakwaan kepada Allah. Shalat sebagai ibadah tidak sebatas pemenuhan normatifitas—Shuuratush-Shalaah, melainkan Haqiiqatush-Shalaah. Shalat dengan keterpenuhan sikap beribadah; istiqamah, tuma’ninah dan ihthiyat—menjadikan seorang hamba ke derajat yang tinggi. Shalat pada posisi ini disebut, “Mi’raajul-Mu’miniin”.
Menjadi Insan Kamil
Ketika predikat al-Insan al-Kamil dilekatkan kepada Nabi Muhammad karena kelebihan berupa mukjizat kepadanya, maka hal tersebut sangat didambakan setiap muslim. Tiada lain yang menjadi nilai seseorang kecuali kekuatan kepribadian, melekat kepada dirinya. Pastinya diperkuat melalui intensitas Shalat Lima Waktu dan Shalat Sunnah lainnya. Kedekatan seorang hamba kepada Tuhannya melalui ibadah semacam shalat memberikan energi tersendiri. Allah senantiasa melindungi hamba yang banyak mengingat—berdzikir kepada-Nya.
Muhammad saw. dan juga nabi-nabi lain disebut sebagai manusia biasa karena secara biologis dan alamiah memiliki fisik dan unsur-unsur jasmaniah sama. Namun dianggap berbeda karena memang mereka memiliki kelebihan, seperti tenaga dan usia; Begitu juga tokoh-tokoh tertentu di zamannya, secara fisik dan usia melebih orang-orang disekitarnya. ”al-‘Aqlus-Saliim fil-Jismis-Saliim” (akal sehat tergantung pada fisik sehat), keduanya sangat berkaitan. Selanjutnya penguatan akal/ logika dan kalbu sebagai nilai tambah menuju sosok ideal. Mi’raajul- Mu’miniin identik dengan capaian tertinggi orang yang shalat, dengan kekuatan fisik, logika dan kalbu-disebut Insan Kamil. Kualitas kepribadian tersebut dicontohkan para nabi dan orang-orang bijak sehingga kita termotivasi untuk menjadi lebih intens beribadah—setidaknya Shalat Lima Waktu—diwahyukan secara khusus melalui peristiwa Isra’ Mi’raj.
Isra’ Mi’raj diharapkan memberi sentuhan tersendiri terhadap nuansa keagamaan kita—lebih agamis dan berkepribadian tinggi. Agama tidak hanya berkenaan dengan hal-hal yang bersifat fisik (inderawi) dan terjangkau oleh logika manusia, melainkan berada diatas itu, brsifat metafisik dan supra-rasional, hanya epistemologi irfani yang mampu menyentuhnya. Mudah-mudahan kita dapat mengambil kedalaman hikmah dari peristiwa tersebut.Wassalam.
Rusydi Sulaiman *) adalah Direktur Madania Center Bangka Belitung juga menjabat Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik (SAS) Bangka Belitung