Jakarta (ANTARA) -
Sayangnya, anak semata wayang Leto Atreides itu harus berusaha mati-matian berjuang di luasnya gurun pasir demi mendapatkan ilmu bertahan hidup dan diakui oleh bangsa Fremen yang terkenal tertutup dan menjunjung tinggi kepercayaan serta peradaban yang mereka jaga.
Walaupun dirinya selalu mendapatkan bantuan dari Chani (Zendaya), warga Fremen menolak keberadaannya dan sang ibu mentah-mentah bahkan sebelum dirinya menunjukkan kesungguhan niatnya.
Untungnya ada Stilgar (Javier Bardem) yang tanpa mengenal lelah meyakinkan bangsanya untuk menerima keberadaan dan memberi kesempatan pada Paul untuk belajar gaya Fremen bertahan hidup.
Stilgar bahkan berusaha meyakini bangsanya untuk melihat ‘mukzizat’ yang melekat pada Paul yang dinilainya sebagai nabi yang bernama Lisan Al-Gaib yang telah mereka tunggu sekian ribu purnama. Semua tindakan Paul dinilai untuk membuktikan ‘ramalan-ramalan’ yang mereka percayai.
Perjalanan Paul sungguh tak mudah, sambil berusaha mati-matian menguasai teknik Fremen menguasai padang pasir, ia juga harus bersabar menghadapi ibunya, Lady Jessica (Rebecca Ferguson) yang justru berambisi mengendalikan bangsa tersebut melalui doktrin agama yang dapat terbilang cukup ekstrem.
Tidak hanya itu, dalam film yang digarap oleh Sutradara Denis Villeneuve tersebut Paul harus segera menemukan cara untuk melawan Harkonnen yang semakin maruk menguasai sumber daya berpotensi bernama spice.
Sepanjang diajak melihat pemutaran film Dune: Part 2 untuk pertama kalinya, film tersebut cukup tajam dalam menampilkan perubahan sisi tiap karakternya tanpa melupakan tiap detail masa lalu.
Meski harus diakui awal-awal film menjadi tantangan bagi penonton untuk melanjutkan menonton film tersebut karena alurnya yang cenderung lambat.
Namun film yang berdurasi hampir tiga jam tersebut, tetap mampu menghipnotis para penontonnya untuk menikmati konflik naik-turun yang Paul hadapi karena ada beberapa dialog lucu serta penyajian visual yang amat cantik dan mendetail.
Perubahan diri karakter
Kalau pada film pertamanya Paul digambarkan sebagai putra yang masih berada di bawah bayang-bayang ayahnya dan sedikit lemah layaknya anak rumahan, di kesempatan kali ini harus diakui Timothee secara sempurna berhasil menampilkan perubahan besar dalam diri Paul.
Kerasnya keadaan telah menimpa Paul menjadi sosok pemimpin yang tegas, kuat dan mandiri sebagaimana yang menjadi sifat superhero dalam film bergenre action. Aktingnya benar-benar menonjol, terutama ketika kamera mengambil scene yang menyorot tepat ke arah matanya.
Anda akan melihat kobaran semangat membara di mata Paul yang ingin segera mengalahkan Harkonnen. Belum lagi keterampilan berperangnya yang harus diberi acungan jempol karena tahapan ujiannya yang cukup banyak dan sulit.
Sifat Paul yang paling menonjol dan mendapatkan tepuk tangan keras dari penonton ialah ketika dirinya berhasil membuat Bunda Ketua dari Bene Gesserit merasa takut dan tunduk melalui suaranya yang lantang dan tegas.
Perubahan karakter juga nampak pada diri Chani meski tidak terlalu signifikan. Kali ini, sosoknya sebagai wanita yang jatuh cinta ditampilkan dengan begitu lembut tanpa mengurangi sifat wibawanya sebagai pejuang Fermen.
Dalam beberapa adegan Chani dengan intens menemani perjuangan Paul mempelajari situasi di setiap sudut gurun pasir dan tak lupa mewanti-wantinya untuk mewaspadai intrik politik yang licik dari musuh mereka.
Lady Jessica yang pada film pertamanya ditampilkan memiliki rasa takut yang kuat kepada Bene Gesserit, sudah berani melawan bahkan cenderung ingin mendominasi. Aura keberaniannya yang dibalut kecantikan terpancar amat jelas.
Selain adanya perubahan sifat di sejumlah karakter, hal lain yang patut disoroti adalah penampilan beberapa karakter baru seperti Feyd Rautha Harkonnen (Austin Butler) sebagai keponakan dari Baron Vladimir Harkonnen (Stellan Skarsgard) yang digambarkan bengis, memiliki hasrat membunuh yang kuat dan liar.
Feyd ditampilkan secara bar-bar dan tidak pandang bulu ketika akan menghabisi lawan. Hanya saja mungkin Warner Bros. dan tim produksi bisa lebih banyak memberi penonton scene kebengisan Feyd agar suasana makin mencekam dan menjadi salah satu tantangan terberat yang harus dilewati oleh Paul.
Ada juga Putri Irulan (Florence Pugh) yang digambarkan sebagai wanita intelektual yang cerdas, gemar merekam berbagai kejadian yang sedang terjadi dan menyukai tantangan. Sayangnya seperti Feyd, penampilan karakter ini juga bisa dikatakan kurang.
Kemudian lebih banyak adegan di mana wajah Putri Irulan ditutupi oleh hiasan. Hal serupa juga bisa dirasakan saat penonton melihat Rabban (Dave Bautista), karena penampilannya yang sangat terbatas.
Rabban pun ditampilkan sebagai karakter yang banyak panik, ketakutan dan sering mempertanyakan apakah jalan yang ditempuh Harkonnen betul-betul bisa membawa mereka menuju kemenangan.
Menampilkan visual yang megah
Hal menarik selanjutnya yang patut dibahas selain perubahan diri tiap karakter adalah penampilan visual Dune yang sangat megah. Nampak sekali jika Villeneuve bersama Sinematografer Greig Freser ingin menampilkan peradaban manusia di masa depan yang makin kompleks dan luar biasa berbeda.
Scene di gurun pasir misalnya, beberapa kali diambil menggunakan long shoot yang membuat penonton seakan ikut berjalan di atas luasnya daratan tersebut. Belum lagi fatamorgananya selalu ditampilkan tepat waktu untuk menunjukkan betapa panasnya tempat tinggal Fremen.
Tim produksi pun sukses menampilkan cacing raksasa, si monster gurun yang ditakuti oleh seluruh pemain. Tubuhnya yang mengkerut, besar dan pucat namun mematikan amat memukau dan menyempurnakan kehidupan gurun pasir yang kering dan mematikan.
Suasana di gurun berbanding terbalik dengan tempat tinggal Harkonnen yang divisualisasikan berwarna hitam putih. Mendorong aura mengerikan dan kegilaan mereka semakin terpancar yang sanggup membuat penonton menggelengkan kepalanya.
Kekontrasan warna tersebut benar-benar apik, setiap sentuhan warna dimainkan dengan harmonis tanpa memberikan kejanggalan yang berarti. Walaupun demikian, karena gurun menjadi lokasi yang paling sering disorot, maka sinar matahari yang berulang kali ditampilkan akan sedikit membuat mata penonton tidak nyaman.
Belum lagi pengambilan gambar dari kendaraan-kendaraan yang mereka gunakan. Dengung suaranya, bahan utama seperti metal atau baja yang digunakan pada pesawat atau helikopter macam capung.
Untuk busana setiap keluarga memiliki ciri khasnya sendiri. Sebut saja Harkonnen yang identik dengan pakaian serba hitam seakan ingin mempertegas kekejaman mereka dan gelapnya kehidupan di dalam bangsa itu.
Sedangkan Fremen, pakaiannya cenderung tertutup dan beberapa nampak seperti dibalut kain lainnya. Keseharian mereka juga dilengkapi dengan tudung kepala yang melindungi mereka dari angin berpasir, dan di dalamnya mereka memakai baju yang terbuat dari bahan yang sedikit keras bersama dengan pelindung siku dan lutut.
Bene Gesserit seperti biasa tertutup tudung kepala yang sedikit tinggi dan berpakaian gelap. Mendukung penggambaran karakter mereka yang mistis dengan kultur agama yang mereka anut. Belum ada perubahan pada pakaian mereka sejauh ini.
Kalau soal peperangan, tidak usah ditanya. Penonton dapat dipastikan hanya terpaku dan berpikir sedang ikut berpartisipasi dalam peperangan besar yang tidak bisa dilerai tersebut. Pengambilan gambarnya intens, cukup dekat untuk ukuran adegan peperangan yang biasanya diambil dari sudut pandang prajurit datang beramai-ramai.
Tapi Dune: Part 2 berbeda. Adegan peperangan diambil dari sudut padang pemain, contohnya ketika Fremen menyerap air dari tubuh musuh yang mereka bunuh untuk bertahan hidup sampai senjata yang dipegang Chani untuk menghabisi kapal musuh. Benar-benar ciamik dan mendebarkan.
Audio yang digunakan juga tidak kalah megah. Banyak backsound dalam film dimainkan dalam alunan yang khidmat, sementara yang lainnya mempertegas adanya harapan untuk mengembalikan kejayaan Atreides yang dirampas.
Semua komponen yang ada di Dune: Part 2 sungguh menakjubkan. Semuanya saling melengkapi dengan indah, sehingga kita tidak akan menyesal menghabiskan waktu untuk mengikuti kalutnya peradaban yang sedang dihadapi Paul dan kawan-kawan.