Jakarta (ANTARA) -
Sebagai anggota PBB sekaligus negara kepulauan dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, Indonesia tentu tidak pernah absen menggelorakan semangat gerakan pelestarian lingkungan global yang telah berusia 52 tahun ini. Beragam kegiatan dilakukan Indonesia untuk memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia itu baik di dalam maupun luar negeri.
Umumnya mulai seperti kampanye dengan seminar wawasan lingkungan, penanaman pohon, mangrove dan pelepasan bibit ikan ke sungai, danau, hingga laut lepas atau membentangkan spanduk berukuran besar di tebing batuan karst atau pegunungan tinggi.
Bahkan lebih dari itu, beberapa peraturan pun ditetapkan pemerintah dan terus disempurnakan untuk melindungi alam Indonesia dari ancaman kerusakan yang kian parah.
Di antaranya peraturan terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, kehutanan, analisis dampak lingkungan (Amdal), perikanan, satwa langka dilindungi hingga dilakukan pembentukan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) sejak tahun 2016, yang hingga tahun ini ditargetkan untuk merestorasi seluas 1,4 juta hektare lahan gambut rusak di tujuh daerah prioritas yakni Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Riau, Sumatera Selatan dan Papua Selatan.
Terdengar sederhana tapi sejumlah upaya tersebut merupakan ikhtisar dari 26 prinsip penting dalam gerakan lingkungan yang dirayakan masyarakat dunia setiap tahun pada tanggal 5 Juni.
Dikutip dari laman UNEP PBB (UN), ke-26 prinsip tersebut adalah pedoman yang mendesak dunia untuk pengelolaan lingkungan hidup yang isinya antara lain; Prinsip 1 - 7 menekankan pentingnya hak asasi manusia dan perdamaian untuk lingkungan yang sehat.
Prinsip 8-11 mengakui tanggung jawab negara untuk melindungi lingkungan dan memastikan pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan.
Prinsip 12-14 menekankan pentingnya perencanaan dan pengelolaan lingkungan yang rasional.
Prinsip 15-18 membahas tentang pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan.
Prinsip 19-21 menekankan tentang pentingnya penelitian ilmiah dan pertukaran informasi tentang lingkungan.
Prinsip 22 membahas pendidikan dan pelatihan lingkungan, prinsip 23-25 mengakui peran organisasi internasional dalam pengelolaan lingkungan. Dan Prinsip 26 mengimbau negara untuk bekerja sama dalam mencapai tujuan bersama melindungi lingkungan.
Meskipun prinsip-prinsip tersebut diadopsi puluhan tahun lalu, tapi masih relevan dan penting untuk pengelolaan lingkungan hidup saat ini.
Dalam perjalanannya, hasil Konferensi Stockholm 1972 pun telah diikuti oleh konferensi internasional tentang lingkungan hidup lainnya; Konferensi Rio de Janeiro di Brasil pada 1992, KTT Bumi Johannesburg (2002), Kesepakatan Paris atau Paris Agreement (2015) tentang perubahan iklim, dan World Water Forum yang baru saja diselenggarakan di Indonesia (Mei 2024) seputar pemanfaatan air dan mitigasi bencana.
Semua ini menandakan Hari Lingkungan Hidup Sedunia merupakan juga tonggak penting dalam sejarah gerakan lingkungan. Maka dengan memahami sejarahnya, diharapkan masyarakat dapat lebih terinspirasi untuk terus berkontribusi dalam menjaga kelestarian lingkungan untuk masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan.
Di sisi lain, ikhtisar yang melekat dari Hari Lingkungan Hidup tersebut patut pula menjadi landasan untuk mengatasi potensi ancaman bencana alam seperti hujan dan kekeringan ekstrem.
Bukan tanpa sebab, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengungkapkan setidaknya satu tahun terakhir ada sebanyak 5.400 kejadian bencana alam yang melanda Bumi Pertiwi mayoritas berupa bencana hidrometeorologi berupa banjir, tanah longsor, puting beliung.
Dua di antara ribuan bencana tersebut menimbulkan dampak kerusakan dan korban jiwa yang besar, yakni bencana banjir bandang disertai lahar dingin Gunung Marapi di Sumatera Barat 11 Mei 2024 dan banjir disertai tanah longsor di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan 3 Mei 2024.
Pusdalops BNPB mencatat sebanyak 62 warga meninggal dunia, sembilan dinyatakan hilang dan ribuan rumah, fasilitas publik jalan dan jembatan rusak berat tersebar di tiga dari lima daerah terdampak; Kabupaten Tanah Datar, Agam, Padang Panjang Sumatera Barat.
Kemudian, bencana banjir setinggi tiga meter yang disertai tanah longsor di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan mengakibatkan 13 orang meninggal dunia yang mayoritas lansia dan balita di Kecamatan Latimojong dan Suli Barat.
Lalu dampak kerusakan ribuan unit rumah dan fasilitas publik dengan klasifikasi ringan hingga berat melanda 56 desa di 12 kecamatan yakni, Latimojong, Suli, Suli Barat, Ponrang Selatan, Ponrang, Bupon, Larompong, Larompong Selatan, Bajo, Bajo Barat, Kamanre, Belopa, dan Kecamatan Belopa Utara, Kabupaten Luwu.
Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari mengungkapkan selain perubahan iklim global, sebagian besar bencana alam itu juga semakin diperparah oleh kerusakan lingkungan akibat alih fungsi hutan dan tata pembangunan daerah yang kurang berwawasan ekologis, hal ini harus segera diatasi bersama.
Pun demikian potensi bencana yang masih akan berlangsung hingga awal tahun 2025. Analisa tim ahli iklim dan cuaca memprakirakan Indonesia masih berpotensi dilanda dua potensi bencana sekaligus yakni berupa hidrometeorologi, dan kekeringan.
Potensi bencana itu telah dimulai sejak akhir bulan Mei 2024 dengan tanda alam terus bertambahnya daerah dilanda hari tanpa hujan (HTH) sebagian besar zona musim; Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jawa Barat, Bali, Nusa Tenggara. Dan di saat bersamaan masih terjadi banjir di antaranya seperti Sulawesi Selatan, Kalimantan Tengah, dan Sumatera Selatan.
Rentetan peristiwa kebencanaan itu direfleksikan untuk supaya gelora Hari Lingkungan Hidup Sedunia ini tidaklah sebagai seremonial belaka namun menjadi pijakan konkret dalam melestarikan bumi beserta isinya.
BNPB menilai untuk melaksanakannya membutuhkan kerja kolektif secara nyata antara pemerintah kementerian/lembaga sebagai pengampu kebijakan dengan masyarakat; melalui serangkaian aksi dan program utuh yang berfokus pada mitigasi atau pencegahan, dan pelestarian.