Gaza City, Palestina (ANTARA) -
Sinwar menggantikan Ismail Haniyeh, yang dibunuh di ibu kota Iran, Teheran, setelah menghadiri upacara pelantikan presiden baru Iran pada 31 Juli, kata kelompok itu dalam sebuah pernyataan di saluran Telegram.
Hamas dan Iran segera menuduh Israel membunuh Haniyeh, tetapi Tel Aviv hingga kini belum mengonfirmasi atau menyangkal tanggung jawabnya.
Namun, laporan Washington Post (WP) pada Rabu (7/8) mengungkapkan bahwa Israel telah mengabari pemerintah Amerika Serikat (AS) bahwa rezim Zionis itu berada di balik pembunuhan Ismail Haniyeh pada 31 Juli di ibu kota Iran, Teheran.
Surat kabar tersebut menambahkan pejabat Gedung Putih menanggapi pemberitahuan tersebut dengan terkejut dan marah atas terjadinya pembunuhan Haniyeh.
AS menilai kejadian tersebut sebagai kemunduran bagi upaya mereka selama berbulan-bulan untuk mengamankan gencatan senjata di Gaza.
Sementara itu, pemilihan Sinwar (61), mencerminkan sejarahnya dengan Hamas. Ia telah menjabat sebagai pejabat tertinggi kelompok perlawanan di Gaza selama dua periode berturut-turut, yang pertama dimulai pada 2017 dan yang kedua pada empat tahun setelahnya.
Mengomentari signifikansi pemilihan Sinwar sebagai kepala biro politik Hamas, penulis dan analis politik Palestina Ibrahim Al-Madhoun mengatakan kepada Anadolu “tidak diragukan lagi bahwa memilih Sinwar untuk posisi ini adalah tantangan bagi pendudukan Israel dan menunjukkan bahwa dia tetap efektif, kuat, dan mengendalikan lapangan” di Gaza, meskipun perang Israel telah berlangsung hampir 10 bulan.
“Penunjukan Sinwar secara internal adalah hal yang wajar, karena dia secara efektif adalah wakil Haniyeh, sebagai kepala Hamas di Gaza,” tambahnya.
Al-Madhoun mengatakan bahwa diharapkan Sinwar segera mengeluarkan pernyataan, kemungkinan tertulis, mengumumkan pengangkatannya sebagai kepala biro politik Hamas.
Kehidupan Awal
Yahya Ibrahim Hassan Sinwar lahir pada 1962 di kamp pengungsi Khan Younis di Gaza selatan.
Keluarganya berasal dari kota al-Majdal di Israel selatan, dari mana mereka dipaksa pindah pada 1948.
Sinwar bergabung dengan Ikhwanul Muslimin pada usia muda dan belajar di Universitas Islam Gaza, di mana ia memperoleh gelar sarjana dalam Bahasa Arab.
Selama tahun-tahun kuliahnya, ia memimpin “Blok Islam,” sayap mahasiswa Ikhwanul Muslimin.
Pada 1985, Sinwar mendirikan aparatur keamanan untuk Ikhwanul Muslimin, yang dikenal saat itu sebagai “Al-Majd.”
Organisasi ini fokus pada perlawanan terhadap pendudukan Israel di Gaza dan melawan kolaborator Palestina.
Aktivitas mahasiswa Sinwar membantunya mendapatkan pengalaman yang kemudian memungkinkannya mengambil peran kepemimpinan di Hamas setelah pendiriannya pada 1987.
Pemenjaraan
Pada 1982, tentara Israel pertama kali menangkap Sinwar dan membebaskannya setelah beberapa hari, hanya untuk menangkapnya lagi pada tahun yang sama, dan menjatuhkan hukuman enam bulan penjara karena “berpartisipasi dalam aktivitas keamanan melawan Israel.”
Pada 20 Januari 1988, Israel menangkapnya kembali dan menjatuhkan hukuman empat kali seumur hidup plus 30 tahun penjara karena “mendirikan aparatur keamanan Al-Majd dan berpartisipasi dalam pendirian sayap militer pertama Hamas, yang dikenal sebagai Mujahidin Palestina.”
Sinwar menghabiskan 23 tahun di penjara Israel sebelum dibebaskan sebagai bagian dari kesepakatan pertukaran tahanan antara Hamas dan Israel pada 2011 yang dikenal sebagai “Kesepakatan Shalit.”
Di bawah kesepakatan yang dilaksanakan pada 11 Oktober 2011, Israel membebaskan 1.027 tahanan Palestina sebagai imbalan atas pembebasan tentara Israel Gilad Shalit oleh Hamas.
Memimpin di Gaza
Setelah dibebaskan pada 2011, Sinwar berpartisipasi dalam pemilihan internal Hamas pada tahun berikutnya.
Sinwar memenangkan kursi di biro politik dan bertanggung jawab mengawasi sayap militer kelompok tersebut, Brigade Al-Qassam.
Pada September 2015, AS menambahkan Sinwar ke dalam daftar “teroris internasional.” Layanan keamanan Israel juga telah mencantumkan Sinwar sebagai target utama untuk pembunuhan di Gaza, menurut media Israel.
Israel, dengan mengabaikan resolusi Dewan Keamanan PBB yang menuntut gencatan senjata segera, menghadapi kecaman internasional di tengah serangan brutal yang berlanjut di Gaza sejak serangan oleh kelompok perlawanan Palestina Hamas pada Oktober tahun lalu.
Lebih dari 39.600 warga Palestina telah tewas sejak serangan 7 Oktober itu, sebagian besar wanita dan anak-anak, dan lebih dari 91.600 terluka, demikian catatan otoritas kesehatan setempat.
Hampir 10 bulan setelah perang Israel, sebagian besar wilayah Gaza porak-poranda di tengah blokade ketat terhadap makanan, air bersih, dan obat-obatan yang melumpuhkan.
Israel dituduh melakukan genosida di Pengadilan Internasional, yang memerintahkan agar segera menghentikan operasi militer di Rafah, di mana lebih dari 1 juta warga Palestina telah mencari perlindungan dari perang sebelum wilayah tersebut diinvasi pada 6 Mei.
Sumber: Anadolu-OANA