Jakarta (ANTARA) - Setelah menduduki urutan kedua dalam angkatan snatch di bawah Li Fabin dari China, tapi gagal dalam semua dari tiga angkatan clean & jerk yang baru kali ini dia alami, Olimpian terbesar Indonesia, Eko Yuli Irawan, untuk pertama kali mengakhiri kompetisi tanpa medali.
Selalu meraih medali dalam empat Olimpiade sebelumnya, Eko gagal pada Olimpiade kelimanya, dalam Olimpiade Paris 2024.
Dia adalah peraih medali perunggu kelas 56kg pada Olimpiade Beijing 2008, kemudian medali perunggu 62kg pada Olimpiade London 2012, lalu berturut-turut medali perak dalam kelas 62kg dan 61kg masing-masing dalam Olimpiade Rio de Janeiro 2016 serta Olimpiade Tokyo 2020 yang diadakan mundur setahun lebih lama akibat pandemi Covid-19.
Membuat angkatan snatch pada 135 kg pada kesempatan kedua atau 8 kg di bawah Li Fabin yang mencatat angkatan 143 kg, Eko tak berhasil pada tiga kesempatan clean & jerk. Pertama, pada angkatan 162kg, lalu kembali 162kg, dan terakhir 165kg.
Padahal, banyak kalangan, termasuk komentator cabang angkat besi Olimpiade Paris 2024 yang mengulas final kelas 61kg putra pada Rabu malam WIB itu, yakin Eko bakal memperoleh medali perak seperti dia lakukan tiga tahun silam di Tokyo. Itu karena dia menduduki urutan kedua dalam angkatan snatch, di bawah juara bertahan Li Fabin.
Akhirnya, angkat besi kelas 61kg putra kembali dimenangkan oleh Li Fabin yang tiga tahun silam bertarung seru dengan Eko dalam Olimpiade Tokyo 2022.
Li Fabin tak saja menciptakan rekor Olimpiade snatch kelas 61kg putra, tapi juga menghasilkan total angkatan 310 kg, yang merupakan total angkatan terbesar dibandingkan dengan lifter-lifter lain dalam final itu.
Medali perak disabet oleh lifter Thailand Theerapong Silachai setelah membuat total angkatan 303 kg, sedangkan atlet Amerika Serikat Hampton Morris yang memecahkan rekor dunia dan Olimpiade clean & jerk kelas ini, memperoleh medali perunggu setelah berakhir dengan total angkatan 298 kg.
Seharusnya ini juga menjadi pertarungan seru yang kedua antara Eko dan Li, tapi mungkin usia mempengaruhi penampilan Eko. Dalam usia 35 tahun, Eko adalah peserta tertua dalam angkat besi Olimpiade Paris 2024.
Sumbangsih besar Eko
Walaupun mengakhiri Olimpiade kelimanya tanpa medali yang baru dia alami dalam 16 tahun terakhir, Eko tetap pahlawan dan teladan hebat untuk siapa pun setelahnya, tak hanya angkat besi, tapi juga cabang-cabang olah raga lainnya.
Dia konstan di puncak kompetisi sejak mendapatkan medali emas Kejuaraan Dunia Junior 2007 di Praha, Republik Ceko.
Empat medali yang dia peroleh dari empat Olimpiade sebelumnya, ditambah delapan medali kejuaraan dunia termasuk medali emas edisi 2018, telah mengukuhkan kehebatannya.
Pencapaian-pencapaian itu juga memesankan adanya relasi yang kuat antara daya tahan, kualitas fisik dan mentalnya yang luar biasa besar.
Di luar medali yang dia raih di dalam negeri, Eko sudah mengoleksi total 36 medali ajang internasional yang 17 di antaranya medali emas.
Jumlah itu sudah termasuk 8 medali SEA Games yang 7 di antaranya emas, dan 3 medali Asian Games yang satu di antaranya medali emas.
Dengan begitu banyak medali dan trofi yang sudah dia dapatkan, kegagalan Eko di Paris tak akan pernah memupus sumbangsih besarnya untuk tanah airnya.
Eko telah turut mendekorasi wajah kuat olahraga Indonesia di berbagai panggung krida dunia, termasuk Olimpiade.
Yang juga patut dipetik dari Eko adalah tekad dan ambisi besar yang disertai komitmen kuat untuk tetap mengikuti kompetisi-kompetisi level atas, termasuk Olimpiade Paris 2024.
Bagian ini adalah bahan ajar yang sangat penting karena pentingnya untuk rekan-rekannya sesama atlet, khususnya dari generasi setelah dia.
Penuh perjuangan
Simak saja perjalanan Eko untuk sampai bisa berkompetisi di Paris. Perjuangannya sangat berat karena harus dibarengi dengan upaya memulihkan diri akibat cedera lutut yang dia derita pada Juni 2023 ketika mengikuti Grand Prix II di Havana, Kuba, untuk kualifikasi Olimpiade Paris.
Rasa sakit akibat cedera lutut itu memuncak setelah Grand Prix di Doha pada Desember 2023.
Dia pun dipaksa fokus kepada pemulihan dan mesti cermat mengelola kemampuannya dalam mengangkat barbel, sampai kemudian dia mendapatkan lampu hijau untuk mengikuti Olimpiade Paris, semua terlihat baik-baik saja, hingga dalam final 61kg putra Rabu malam WIB.
Dia merasakan cedera lutut itu kumat, setelah gagal pada kesempatan pertama angkatan clean & jerk, yang seharusnya menjadi fase terakhirnya guna menuntaskan lomba yang jika bukan karena cedera bisa berakhir dengan medali perak.
Bahkan setelah dirawat singkat sebelum menjajal kesempatan kedua angkatan clean & jerk seberat 162 kg, Eko berusaha tegar, mengesampingkan sakit akibat cedera yang dialaminya.
Ketika dia gagal pada angkatan kedua, Eko tak menyerah. Tahu lawan-lawannya, termasuk Hampton Morris dan Theerapong Silachai bisa menyalipnya melalui angkatan clean & jerk, Eko menaikkan berat barbel menjadi 165 kg.
Kendati penonton terkagum-kagum oleh semangatnya untuk terus mencoba ketika cedera justru tengah menyerangnya, sampai penonton menyemangati lifter kebanggaan Indonesia ini, Eko juga gagal pada angkatan ketiga. Setelah itu dia meringis kesakitan dan dipapah meninggalkan arena.
Tapi justru caranya menyelesaikan lomba yang disertai tekad besar melawan hambatan yang mungkin sudah terlalu berat sehingga mengurangi kemampuan fisiknya sendiri, adalah bahan ajar penting mengenai perjuangan dan pengorbanan.
Untuk itu pula, tanpa medali sekalipun, Eko Yuli tetap panutan dan contoh hebat, tentang pantang menyerah, heroisme, dan kepercayaan diri yang penting dalam ajang-ajang besar seperti Olimpiade.
Dia meminta maaf kepada rakyat Indonesia karena gagal mempersembahkan medali, walau semua orang melihat dia telah berjuang keras, bukan saja untuk berhasil mengangkat barbel dengan beban yang lebih besar dari lawan-lawannya tapi juga karena perjuangannya dalam mengatasi masalah pada lutut dan pahanya yang semakin akut di tengah babak penentuan sebuah kompetisi.
Eko boleh tak mendapatkan medali, tapi itu tak menanggalkan statusnya sebagai salah satu Olimpian terbesar yang dimiliki Indonesia. Eko tetap pahlawan, bukan saja karena medali-medalinya yang terdahulu, tapi juga karena perjuangannya yang keras nan pantang menyerah.