Pangkalpinang (ANTARA) - Pedagang kaki lima (PKL) adalah bagian penting dari kehidupan ekonomi masyarakat Kota Pangkalpinang. Mereka menyediakan kebutuhan sehari-hari dengan harga terjangkau dan menjadi sumber penghidupan bagi banyak keluarga. Namun, keberadaan PKL yang berjualan di atas trotoar telah menimbulkan masalah serius, terutama bagi pejalan kaki tunanetra dan penyandang disabilitas lainnya yang sangat bergantung pada trotoar sebagai ruang aman dan bebas hambatan untuk bergerak.
Trotoar secara hukum dan fungsi adalah ruang publik yang diperuntukkan bagi pejalan kaki. Undang-Undang No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan secara tegas menyatakan bahwa trotoar merupakan bagian dari ruang manfaat jalan yang harus bebas dari gangguan agar fungsi jalan tetap optimal bagi pejalan kaki.
Penggunaan trotoar oleh PKL tanpa izin merupakan pelanggaran terhadap ketentuan ini dan berpotensi mengganggu keselamatan dan kenyamanan pejalan kaki, terutama penyandang disabilitas yang sangat bergantung pada ruang yang bebas hambatan untuk mobilitas mereka.
Trotoar adalah fasilitas umum yang secara hukum dan fungsi diperuntukkan bagi pejalan kaki, termasuk kelompok rentan seperti tunanetra. Sayangnya, di Kota Pangkalpinang, fenomena PKL yang mendirikan lapak permanen atau berjualan di trotoar bukan hanya mengurangi ruang gerak pejalan kaki, tetapi juga menghilangkan akses aman bagi tunanetra yang mengandalkan jalur khusus dan ruang bebas hambatan untuk mobilitas mereka.
Kondisi ini memaksa mereka turun ke badan jalan yang berbahaya, meningkatkan risiko kecelakaan dan mengurangi kemandirian mereka. Fasilitas berupa trotoar yang dipasang Guiding Block atau Ubin Tak Til yang disediakan oleh Pemerintah Kota Pangkalpinang, kini habis dilahap oleh PKL yang kerap melapak atau berjualan angkringan, disepanjang jalan Kota Pangkalpinang terutamanya didaerah Tamansari hingga sampai di trotoar Museum Timah. Ini bukan hal yang baru namun sudah hidup bertahun-tahun.
Peraturan Daerah Kota Pangkalpinang Nomor 7 Tahun 2019 secara tegas melarang usaha di jalan, trotoar, taman, jalur hijau, dan sarana umum lainnya untuk menjaga ketertiban dan kenyamanan publik. Peraturan Daerah (Perda) Kota Pangkalpinang Nomor 7 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat, Dalam Perda ini secara tegas diatur bahwa, Setiap orang atau badan dilarang melakukan usaha di jalan, trotoar, taman, jalur hijau, di atas saluran air, bantaran sungai, waduk, dan sarana umum lainnya, baik menggunakan sarana bergerak maupun tidak bergerak, Pedagang kaki lima yang berjualan di trotoar dianggap mengganggu ketertiban umum, keamanan, kebersihan, kenyamanan, dan kelancaran lalu lintas, Larangan ini bertujuan menjaga fungsi trotoar sebagai ruang publik yang aman dan nyaman bagi pejalan kaki, termasuk penyandang disabilitas yang sangat membutuhkan akses bebas hambatan.
Dalam Bab XIII mengenai Pengawasan dan Penegakan Hukum, Pasal 32 Perda tersebut menyatakan bahwa Walikota Pangkalpinang berwenang melakukan pembinaan, pengendalian, pengawasan, penertiban, dan penegakan hukum terhadap penyelenggaraan ketertiban umum, termasuk penertiban PKL yang melanggar
aturan ini. Pelaksanaan kewenangan ini dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) bersama Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan Organisasi Perangkat Daerah terkait lainnya.
Pemerintah Kota Pangkalpinang harus mengambil langkah tegas dan terintegrasi dengan menegakkan Perda No. 7 Tahun 2019 secara konsisten, menyediakan alternatif lokasi usaha bagi PKL, serta melibatkan masyarakat dan organisasi disabilitas dalam pengambilan kebijakan.
Dengan demikian, hak pejalan kaki tunanetra dan kelompok rentan lainnya dapat terlindungi, sementara PKL tetap diberdayakan secara berkeadilan. Penataan ruang publik yang inklusif dan penegakan hukum yang adil akan menciptakan Kota Pangkalpinang yang lebih ramah, aman, dan berkeadaban bagi semua warganya.
Pemerintah daerah memiliki tanggung jawab besar untuk menyeimbangkan dua kepentingan ini. Penataan PKL bukan hanya soal penertiban semata, melainkan juga soal memberikan solusi yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Penyediaan tempat khusus bagi PKL yang layak dan strategis harus menjadi prioritas. Dengan demikian, PKL tetap bisa berjualan tanpa harus mengorbankan aksesibilitas pejalan kaki. Selain itu, regulasi yang jelas dan tegas perlu ditegakkan, disertai dengan sosialisasi dan edukasi kepada PKL mengenai pentingnya menjaga fungsi trotoar dan jalur pejalan tunanetra. Pendekatan yang humanis dan kolaboratif akan lebih efektif daripada tindakan represif semata, karena PKL juga bagian dari masyarakat yang harus diberdayakan.
Menurut opini penulis, penertiban pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan di trotoar harus didukung oleh kebijakan yang tegas dan konsisten. Tanpa aturan yang jelas dan penegakan hukum yang disiplin, penertiban hanya akan bersifat sementara dan tidak efektif. Namun, penegakan aturan saja tidak cukup.
Edukasi yang berkelanjutan kepada para PKL juga sangat penting agar mereka memahami alasan di balik penertiban, terutama terkait hak pejalan kaki, termasuk penyandang tunanetra yang sangat membutuhkan akses trotoar yang aman dan bebas hambatan.
Dengan pendekatan edukatif, PKL dapat diajak berpartisipasi dalam mencari solusi bersama, sehingga mereka tidak merasa terpinggirkan. Kombinasi antara kebijakan tegas dan edukasi berkelanjutan akan menciptakan lingkungan yang tertib sekaligus humanis, di mana ruang publik bisa dinikmati semua pihak tanpa mengorbankan hak satu sama lain.
*) Laura Enggiyani adalah Mahasiswa Universitas Bangka Belitung (UBB)