Beijing (ANTARA) - Pemerintah China menyebut kemampuan persenjataan nuklirnya terjaga di tingkat minimum dan tidak terlibat dalam perlombaan senjata.
"China mengikuti strategi nuklir yang berfokus pada pertahanan diri, kami selalu menjaga kemampuan nuklir pada tingkat minimum yang dipersyaratkan oleh keamanan nasional dan tidak pernah terlibat dalam perlombaan senjata," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Guo Jiakun dalam konferensi pers pada Senin (16/6).
Hal itu disampaikan sebagai respons atas data "SIPRI Yearbook 2025" yang dirilis pada Senin (16/6) oleh lembaga riset Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) yang berpusat di Stockholm, Swedia. Laporan tersebut menyebutkan senjata nuklir China tumbuh paling cepat di dunia yaitu sekitar 100 hulu ledak baru per tahun sejak 2023.
SIPRI memperkirakan bahwa Tiongkok kini memiliki sedikitnya 600 hulu ledak nuklir. Perkiraan SIPRI, hulu ledak nuklir China meningkat dari 500 hulu ledak pada Januari 2024 menjadi 600 pada Januari 2025 dan masih akan terus bertambah selama dekade mendatang. Diperkirakan 132 hulu ledak ini ditugaskan ke peluncur yang masih dalam proses pengisian.
"China mengikuti kebijakan 'tidak menggunakan senjata nuklir terlebih dahulu' kapan pun dan dalam keadaan apa pun dan telah berkomitmen tanpa syarat untuk tidak menggunakan atau mengancam akan menggunakan senjata nuklir terhadap negara-negara yang tidak memiliki senjata nuklir dan zona bebas senjata nuklir," ungkap Guo Jiakun.
China, kata Guo Jiakun, adalah satu-satunya negara pemilik senjata nuklir yang telah mengadopsi kebijakan tersebut.
"China akan tetap berkomitmen untuk menjaga kepentingan keamanannya sendiri yang sah dan menjaga perdamaian dan stabilitas dunia," tambah Guo Jiakun.
SIPRI dalam laporannya mengatakan pada Januari 2025, China telah menyelesaikan atau hampir menyelesaikan sekitar 350 silo rudal balistik antarbenua atau ICBM (Intercontinental Ballistic Missile) yang mampu membawa hulu ledak dengan jarak lebih dari 5.500 km.
Silo adalah struktur peluncuran rudal bawah tanah yang digunakan untuk menyimpan dan meluncurkan ICBM. Struktur ini biasanya sangat dalam dan kokoh, berfungsi sebagai tempat perlindungan rudal dan platform peluncuran.
ICBM baru China itu disebut berada di tiga padang gurun besar di utara negara tersebut dan tiga daerah pegunungan di timur dan tengah.
China juga berpotensi memiliki jumlah ICBM yang sama dengan Rusia atau AS pada pergantian dekade. Namun, bahkan jika China mencapai jumlah maksimum yang diproyeksikan yaitu 1500 hulu ledak pada 2035, masih hanya sekitar sepertiga dari masing-masing persediaan nuklir Rusia dan AS saat ini.
Sebagian besar hulu ledak China diperkirakan disimpan terpisah dari peluncurnya.
Selain membangun silo-silo rudal baru, Tiongkok sedang melengkapi kembali "Ship Submersible Ballistic Nuclear" (SSBN) yaitu kapal selam nuklir peluncur rudal nuklir jarak jauh di bawah laut Tipe 094 milik Angkatan Laut China.
China juga disebut sedang mengembangkan kelas baru SSBN dan jenis baru pesawat pembom strategis. Rudal utama berkemampuan ganda milik China adalah rudal balistik jarak menengah (IRBM) DF-26, yang khususnya memiliki kemampuan bagi kru darat untuk bertukar antara hulu ledak nuklir dan konvensional di medan perang.
China mengerahkan "Air-Launched Ballistic Missile" (ALBM) yaitu rudal balistik yang diluncurkan dari pesawat udara berkemampuan ganda (disebut sebagai CH-AS-X-13 oleh AS) dengan pesawat pengebom H-6N.
SIPRI mengungkapkan jika China akhirnya mengisi setiap silo baru yang sedang dibangun dengan rudal berhulu ledak tunggal, maka China akan memiliki kapasitas untuk mengerahkan sekitar 650 hulu ledak pada ICBM-nya dalam satu dekade lagi.
Namun SIPRI mengatakan China telah lama mempertahankan kebijakan untuk tidak menggunakan atau mengancam untuk menggunakan senjata nuklir terhadap negara-negara yang tidak bersenjata nuklir atau zona bebas senjata nuklir dan tidak ada bukti resmi yang tersedia untuk umum bahwa pemerintah China menyimpang dari kebijakan inti nuklirnya yang telah lama berlaku tersebut.
Postur standar China sejak mengembangkan senjata nuklir adalah menjaga hulu ledak, rudal dan peluncur terpisah selama masa damai, dengan prosedur yang berlaku untuk memuat hulu ledak ke peluncur dalam keadaan krisis.
Meski begitu, SIPRI mengungkapkan ada spekulasi yang cukup besar dalam beberapa tahun terakhir, yang berlanjut pada tahun 2024, tentang apakah hal itu masih berlaku.
Misalnya, Departemen Pertahanan AS pada 2024 mengeklaim "Sejumlah kecil unit rudal berbasis darat melaksanakan latihan 'tugas kesiapan tempur' dan 'tugas siaga tinggi', yang memungkinkan
Pasukan Roket Tentara Pembebasan Rakyat China (PLARF) 'untuk mempertahankan sebagian unitnya pada keadaan kesiapan yang lebih tinggi sementara membiarkan sebagian lainnya dalam status masa damai dengan peluncur, rudal, dan hulu ledak yang terpisah".
Dalam laporannya SIPRI mengungkapkan secara global diperkirakan ada 12.241 hulu ledak pada bulan Januari 2025, sekitar 9.614 berada dalam persediaan militer untuk penggunaan potensial.
Diperkirakan 3.912 hulu ledak tersebut dikerahkan dengan rudal dan pesawat terbang dan sisanya berada di penyimpanan pusat. Sekitar 2.100 hulu ledak yang dikerahkan disimpan dalam keadaan siaga operasional tinggi pada rudal balistik.
Hampir semua hulu ledak ini milik Rusia atau AS, tetapi China mungkin sekarang menyimpan beberapa hulu ledak pada rudal selama masa damai. Rusia dan AS bersama-sama memiliki sekitar 90 persen dari semua senjata nuklir.