Pangkalpinang (ANTARA) - Komisi XIII DPR Republik Indonesia melalui revisi Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban akan memperkuat kelembagaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), guna memberikan perlindungan korban dan saksi tindak pidana.
"LPSK perlu memiliki kewenangan lebih dalam mengelola dana bantuan korban dan memfasilitasi Victim Impact Statement dalam persidangan," kata Anggota DPR RI Dapil Provinsi Kepulauan Babel Melati saat uji publik Perundang-undangan Perlindungan Korban dan Saksi di Pangkalpinang, Rabu.
Ia mengatakan dalam hal implementasi di lapangan, masih terdapat berbagai tantangan yang sangat perlu untuk direspons secara komprehensif, baik dari segi pelaksanaan teknis, mekanisme koordinasi antarlembaga, sampai pada keterbatasan kewenangan LPSK yang menjadi dasar perlunya revisi menyeluruh terhadap undang-undang ini.
"Penguatan kelembagaan LPSK ini agar dapat menjawab kebutuhan di lapangan secara lebih adaptif dan responsif," ujarnya.
Ia menyatakan LPSK ini harus diberikan wewenang lebih besar dalam mengelola rumah tahanan khusus bagi saksi dan korban untuk memastikan keamanan mereka. Minsalnya, kasus Brigadir J, menunjukkan betapa pentingnya mekanisme perlindungan yang lebih kuat bagi saksi dan korban yang berada dalam tahanan," ujarnya
"Salah satu poin penting dalam revisi Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban ini adalah penguatan perlindungan terhadap kelompok rentan seperti saksi pelaku (Justice Collaborator), anak, perempuan, serta penyintas kekerasan seksual," katanya.
Selain itu, Komisi XIII DPR RI juga menaruh perhatian besar terhadap pentingnya pengaturan mengenai pembentukan Victim Trust Fund sebagai salah satu mekanisme pembiayaan pemulihan bagi korban.
"Skema ini diharapkan bisa menjadi Solusi berkelanjutan dalam mendukung proses rehabilitasi dan reintegrasi korban ke dalam masyarakat," katanya.
