Jakarta (Antara Babel) - Memasuki awal tahun 2017, publik yang peduli akan hukum di Tanah Air mendapatkan kado dokumen Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang dianggap "hoax".
Isi hoax itu mengutip dokumen tersebut menyebutkan penanganan kasus tindak pidana korupsi di Tanah Air berada di tangan KPK saja. Hal ini dapat diartikan wewenang Kejaksaan Agung tidak bisa menyidik dan hanya difokuskan pada penuntutan saja, sedangkan kepolisian persoalan keamanan saja.
Dapat diartikan pesan yang disampaikan melalui hoax adalah menguatkan posisi KPK yang tidak menutup kemungkinan berubah, bukan lagi menjadi lembaga ad hoc, melainkan lembaga resmi yang khusus menangani tindak pidana korupsi.
Dari sejumlah ahli komunikasi, menyebutkan hoax merupakan kabar bohong yang sudah direncanakan. Namun, tetap saja menimbulkan pertanyaan, "Kok, bisa sedemikian canggih hoax itu dibuat dengan mengutak-atik UU KPK tersebut melalui sebuah perpu?"
Di sini bukan hendak menuduh adanya keterlibatan orang paham bidang hukum. Namun, tetap saja membuat tanda tanya tidak ada angin tidak ada hujan dikeluarkanlah dokumen rancangan perpu itu yang telah membuat sedikit sinyalemen dari dua institusi penegak hukum di Tanah Air, yakni kejaksaan dan kepolisian. Aroma yang tercium atas beredarnya kabar bohong itu adalah hendak mengamputasi peranan Kejagung dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Yang menjadi pertanyaan, "Mungkinkah dokumen rancangan perpu itu sudah ada, dan hoax itu sebagai tes saja bagaimana tanggapan dari publik sebelum benar-benar disahkan?"
Tidak lama kemudian beredar surat nota dinas dari Kabag Tata Usaha pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) kepada Direktur Penuntutan (Dirtut) pada JAM Pidsus yang ditandatangani Andi Darmawangsa tertanggal 27 Desember 2016 yang isinya meminta dirtut untuk mempelajari serta memberi saran dan pendapat atas draf perpu tersebut.
Kloplah dugaan yang pertama beredarnya dokumen rancangan perpu yang disusul dengan keluarnya nodis tersebut. Secara fakta entah benar atau tidak, kebetulan kasus dugaan korupsi yang ditangani kepolisian dan kejaksaan tidak ada kasus yang menonjol. Berbeda halnya dengan KPK yang terakhir menetapkan tersangka eks Dirut Garuda Emirsyah Satar, bahkan kasus itu terkait dengan dunia internasional.
Sebenarnya, jika melihat kinerja pemberantasan tindak pidana korupsi, Kejagung tidak kalah dengan lembaga ad hoc KPK. Yang dapat terlihat dari hasil pengembalian kerugian negara sepanjang 2016.
Dari data yang diperoleh Antara selama 2016, kinerja Kejaksaan Agung terhitung mengagumkan, khususnya di Bidang Tindak Pidana Khusus (Pidsus) atau bidang yang menangani perkara kasus tindak pidana korupsi dengan hanya berbekalkan dana "cekak" sebesar Rp487.692.862,00, termasuk anggaran operasionalnya bidang tersebut berhasil menyelamatkan keuangan negara Rp1,3 triliun yang dimasukkan dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Perkara yang ditangani seluruh Indonesia untuk penyelidikan sebanyak 1.451 perkara, kemudian penyidikan 1.392 perkara, penuntutan 2.066 perkara, sedangkan eksekusi terhadap perkara yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap sebanyak 1.557 perkara.
Berbeda halnya dengan KPK memiliki anggaran yang besar. Misalnya, pada tahun anggaran 2016 sebesar Rp421,5 miliar, menyelamatkan keuangan negara Rp497,6 miliar yang dimasukkan dalam kas negara dalam bentuk PNBP.
Perkara yang masuk tahap penyelidikan sebanyak 96 perkara, penyidikan 99 perkara, kemudian penuntutan 77 perkara. Untuk eksekusi bagi perkara yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap sebanyak 81 perkara.
Namun, entah bagaimana, citra kejaksaan tetap saja entah "sengaja" dibuat buruk, tidak terdongkrak dibandingkan dengan KPK. Bayangkan saja keuangan negara yang berhasil diselamatkan kejaksaan mencapai Rp1,3 triliun pada tahun 2016.
Kembali lagi pada rancangan perpu yang dianggap hoax itu, menyebutkan ketentuan Pasal 11 Ayat (1) diubah dengan bunyi sebagai berikut: "Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dalam Pasal 6 Huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan semua tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang hasil tindak pidana korupsi."
Ayat (2) Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang hasil tindak pidana korupsi.
Sebelumnya, Pasal 11 berbunyi: "Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dalam Pasal 6 Huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang: a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau c. menyangkut kerugian negara paling sedikitnya Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Beredarnya hoax tersebut membuat gatal Persatuan Jaksa Indonesia (PJI) yang langsung memberikan tanggapan. PJI itu bukan mengatasnamakan Kejagung, melainkan profesi karena semuanya berkaitan dengan profesi mereka.
"Bahwa adanya Perpu KPK itu tidak benar," kata Ketua Umum PJI yang juga Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM Pidum) Noor Rachmad.
Sebenarnya, jika hoax itu sudah disebutkan sebagai kabar bohong, buat apa PJI memberikan klarifikasi dengan mengundang media massa dan elektronik dalam konferensi persnya. Bisa saja diindikasikan ada sesuatu kebenaran dari kabar bohong itu. Wallahualam bissawab.
Indikasi kebenaran informasi kabar bohong itu, Ketua PJI langsung mengecek kebenaran dokumen perpu itu dengan menanyakan saat tengah rapat di Kemenkumham.
"Kebetulan saya tengah rapat di Kemenkumham, saya ketemu KPK dan menanyakan langsung bahwa info itu tidak benar. Tidak ada perpu itu," katanya yang saat ini menjabat sebagai Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM Pidum).
Sementara itu, KPK mengaku belum menerima rancangan resmi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi,sehingga belum bisa banyak berkomentar.
"Kami mendengar ada 'draf' yang beredar. Akan tetapi, secara kelembagaan kami belum pernah menerima itu, tentu kami harus cek dahulu 'draf' itu benar (ada) atau tidak," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah.
Kendati demikian, ia menyebutkan sebagai pelaksana undang-undang porsi KPK adalah melaksanakan aturan hukum yang berlaku dan perpu merupakan kewenangan Presiden. Kalau memang Presiden menginginkan penguatan terhadap pemberantasan korupsi, tentu itu akan baik.
Terlepas dari itu semua, publik mari sama-sama mendukung pemberantasan korupsi yang tidak bisa hanya berada di bahu KPK, tetapi tetap harus bersama-sama dengan kejaksaan dan kepolisian. Terlebih lagi, keberadaan KPK merupakan lembaga ad hoc sehingga lembaga kejaksaan dan kepolisian harus dikuatkan. Kejaksaan dan kepolisian didukung dalam kinerjanya.