London (Antara Babel) - Usianya tidak muda lagi karena November 2017 akan berusia 73, tapi semangat wanita yang di masa kecil menderita epilepsi itu tetap penuh semangat. Bahkan, ia dalam aktivitas sehari-hari mengunakan transportasi umum, seperti kereta api bawah tanah yang di Inggris dikenal dengan sebutan underground atau tube.
Dalam berbicara pun ia cukup tegas dan menyampaikan dengan bahasa yang lugas serta tidak ingin dipotong karena berkeinginan orang mengerti apa yang akan disampaikannya. Itulah Karen Amstrong.
"Saya senang bisa berjumpa beliau, Sudah lama saya tidak punya lawan berdiskusi yang tangguh," ujar aktivitis dan feminis Hana S. Satryo kepada ANTARA News di London, usai acara makan siang sambil berdiskusi dengan penulis kawakan Karen Amstrong, yang di Indonesia banyak bukunya diterjemahkan oleh Penerbit Mizan.
Dalam rangkaian keikutsertaan Indonesia dalam Pameran Buku di London (London Book Fair), Penerbit Mizan secara khusus mengundang Karen Amstrong untuk berdiskusi mengenai bukunya Fields of Blood bersama penulis dari Indonesia Haidar Bagir, yang bukunya mengenai Islam The Faith of Love and Happiness dalam bahasa Inggris, juga baru diluncurkan di London.
Karen Amstrong tetap produktif menulis. Ia menghasilkan beberapa buku, seperti kisah tentang Nabi Muhammad SAW berjudul Muhammad a Prophet for Our Time, yang juga telah diterjemahkan dan dicetak ke dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Mizan.
Sepertinya Karen Amstrong merasa cemas melihat betapa besar kebencian terhadap Nabi Muhammad dan Islam yang ditunjukkan di Barat, bahkan di kalangan orang yang sangat liberal.
Perempuan yang lahir pada 14 November 1944 tersebut ingin memperkenalkan Islam kepada masyarakat Barat, terutama Eropa, dan dia merasa tak ada cara yang lebih baik untuk memulainya selain dengan memperkenalkan kisah kehidupan Nabi Muhammad.
Buku yang ditulis wanita kelahiran Irlandia umumnya mengenai pencariannya kepada Tuhan terlihat dari karya yang ditulis tentang agama Islam, Yahudi, Kristen dan Buddha yang mengawali pencariannya itu dengan menjadi seorang biarawati dari Ordo Society of the Holy Child Jesus.
Karen menulis tentang sejarah Islam yang berjudul Islam: a Short History, The Battle for God: Fundamentalism in Judaism, Christianity and Islam yang juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Mizan dengan judul Berperang Demi Tuhan.
Selain itu, ia juga menulis tentang Buddha yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dan diterbitkan oleh Bentang,
Karyanya mengenai sejarah mengenai Tuhan, A History of God, yang diterbitkan tahun 1993 juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Mizan dengan judul Sejarah Tuhan. Buku yang terjual laris itu merupakan salah satu upaya wanita yang lulus dalam program doktoral di Oxford dalam pencarian akan Tuhannya.
Tidak heran apabila nama Karen Amstrong cukup dikenal dan juga sangat peduli dengan Indonesia. Bersama Mizan pun ia berencana akan mengadakan proyek bersama. Dalam pandangannya tentang situasi Indonesia saat ini disebutnya sangat memprihatinkan, terkait dengan memudarnya toleransi beragama.
Berbincang dengan Karen Amstrong layaknya berbagi semangat dan gagasan. Tesisnya pernah ditolak oleh seorang penguji luar sehingga membuat dia meninggalkan akademi tanpa sempat menyelesaikan studi doktor. Meski demikian, ia sempat menjadi dosen di London.
Secara lugas, ia menyatakan sangat prihatin dengan situasi dunia saat ini, termasuk masalah keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa (UE) atau disebut Brexit. Ia juga resah atas kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, dan galau terhadap kelompok ISIS yang katanya hanya dapat berkembang di Timur Tengah.
Berbicara dengan Karen Amstrong rasanya wawasannya seseorang menjadi semakin berkembang jauh melampau batas wilayah, apalagi masalah agama yang sangat pribadi.
Peraih TED Prize 2008 tersebut melukiskan keyakinannya secara lugas dalam sebuah wawancara di C-Span pada 2000. Pemilik laman Internet charterforcompassion
"Saya menggali sumber keyakinan saya dari ketiga-tiga iman Abraham (Ibrahim). Saya tidak dapat melihat salah satu daripadanya memiliki monopoli terhadap kebenaran, masing-masing daripadanya mempunyai keunggulan dibandingkan yang lainnya. Masing-masing mempunyai kejeniusannya sendiri dan masing-masing mempunyai kelemahan dan tumit Achillesnya sendiri," ujarnya.
Bagi Karen, agama bukanlah soal mempercayai sesuatu. Agama adalah soal akhlak, berperilaku dalam cara yang mengubah diri sendiri, mengantarkan diri semakin dekat dengan yang kudus dan sakral.
Puluhan tahun kajian yang telah dilakukannya mengenai sejarah dan peran agama telah mengantarkannya pada keyakinan bahwa inti ajaran agama-agama dapat diringkas dalam Kaidah Emas, yakni memperlakukan orang lain sebagaimana diri kita ingin diperlakukan. Tema inilah yang ditulisnya dalam salah satu bukunya yang berjudul Twelve Steps to a Compassionate Life terbitan 2010.