Jakarta (Antara Babel) - Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey yang saat masih menjadi Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI mengaku tidak ada penawaran uang terkait proyek pengadaan KTP-elektronik (KTP-e) terhadap pimpinan Banggar DPR RI.
"Kan saya sudah jawab di pengadilan, tidak ada penawaran kepada pimpinan Badan Anggaran," kata Olly seusai diperiksa sebagai saksi kasus KTP-e di gedung KPK, Jakarta, Selasa.
KPK memeriksa Olly sebagai saksi untuk tersangka Andi Agustinus alias Andi Narogong dalam penyidikan tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan Kartu Tanda Penduduk berbasis Nomor Induk Kependudukan secara nasional (KTP-e).
Ia pun menyatakan tidak ada yang janggal dalam proses awal pembahasan anggaran proyek pengadaan KTP-e tersebut.
"Tidak ada yang janggal, karena itu usulan pemerintah semua. Tidak ada usulan DPR untuk membuat KTP-e. Semua itu program prioritas pemerintah. Itu saja," kata dia.
Ia pun menegaskan tidak ada lobi soal pengesahan anggaran proyek pengadaan KTP-e itu antara pemerintah dengan DPR RI.
"Itu usulan pemerintah. Tidak ada DPR, proyek sebesar Rp5,9 triliun itu semua usulan pemerintah, bukan usulan DPR. Catat itu," kata Olly.
Ia juga menegaskan bahwa dirinya tidak menerima aliran dana proyek pengadaan KTP-e.
"Duit saya tidak terima, kan sudah saya jawab semua di pengadilan," ucap Olly.
Dalam dakwaan disebut bahwa Olly Dondokambey yang saat itu sebagai Wakil Ketua Banggar DPR RI menerima 1,2 juta dolar AS terkait proyek KTP-e sebesar Rp5,95 triliun.
Terdakwa dalam kasus ini adalah mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Kemendagri Sugiharto.
Irman sudah dituntut 7 tahun penjara sedangkan Sugiharto dituntut 5 tahun penjara.
KPK juga telah menetapkan pengusaha Andi Agustinus, mantan Anggota Komisi II DPR RI 2009-2014 Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani, dan anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Golongan Karya Markus Nari sebagai tersangka dalam perkara tersebut.
Andi disangkakan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.
Sementara Miryam S Haryani disangkakan melanggar Pasal 22 juncto Pasal 35 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Sedangkan Markus Nari disangkakan melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.