Nama seorang perwira menengah Kepolisian Republik Indonesia yang berpangkat komisaris besar tiba-tiba mencuat ke permukaan bukannya karena berhasil menumpas teroris atau "menangkap" maling ayam melainkan gara-gara menghajar tujuh anak buahnya.
Peristiwa memalukan atau merendahkan Korps Kepolisian itu terjadi hanya beberapa hari menjelang peringatan Hari Bhayangkara, 1 Juli 2018. Saat para polisi tanpa kecuali seharusnya bergembira dan bukannya menerima hajaran dengan helm yang tentu saja menyakitkan tubuh dan jiwa karena bisa menimbulkan rasa dendam terhadap atasan yang seharusnya disegani dan dihormati.
Komisaris Besar Polisi Ekotrio Budhiniar yang jabatannya cukup penting yaitu sebagai Kepala Pusat Pendidikan Administrasi Lembaga Pendidikan (Lemdiklat) Polri dicopot oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Polisi Karnavian gara-gara perwira menengah tersebut memukuli tujuh anak buahnya hanya karena hal yang amat sepele.
Kombes Ekotrio beberapa hari yang lalu saat akan memasuki Markas Pusat Pendidikan Administrasi sekitar pukul 07.30 WIB di Jakarta merasa mobilnya rerhalang oleh sebuah mobil boks katering.
Karena perwira yang sok ini merasa tidak sabar gara-gara hal sepele ini maka dia langsung turun dari mobilnya dan kemudian mendatangi anak buahnya yang sedang berjaga dengan menghajar para petugas jaga itu dengan alat pengaman kepala, helm.
Sekalipun anak buahnya itu paling-paling berpangkat tamtama atau bintara, ternyata mereka tidak takut untuk mengadukan nasib buruk mereka ke atasannya sehingga akhirnya kasus ini ditangani Inspektorat Pengawasan Umum Polri serta Divisi Profesi dan Pengamanan lembaga tersebut. Karena itulah Kapolri Jenderal Tito tak ragu untuk mencopot anak buahnya itu.
Ketika mengomentari kasus kekerasan itu, Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Polisi Setyo Wasisto mengungkapkan bahwa Ekotrio bisa terkena dua sanksi sekaligus yaitu etika dan pidana tentang penganiayaan. Sementara itu, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Humas Polri Brigadir Jenderal Polisi Mohammad Iqbal menyatakan pencopotan Ekotrio itu merupakan peringatan agar tak terjadi tindakan sok-sokan alias arogan oleh atasan terhadap bawahan.
Sementara itu, sebaliknya dari Kepolisian Daerah Papua muncul berita yang berlawanan atau memprihatinkan karena telah terjadi penghadangan terhadap sekitar sembilan polisi yang sedang melakukan pengamanan surat suara pemilihan gubernur dan wakil gubernur Papua di Distrik Torere. Para Bhayangkara ini yang sedang menaiki dua perahu motor bersama camat Torere dihadang oleh kelompok separatis yang biasa disebut kelompok kriminal sipil bersenjata alias KKSB. Tujuh polisi yang selamat telah dibawa ke Kepolisian Resor Mamberamo sedangkan dua polisi lainnya hingga Kamis siang belum ditemukan.
Menjelang hari Bhayangkara 1 Juli 2018 itu, ratusan ribu polisi harus mendengar atau mengetahui telah terjadinya dua peristiwa yang bertolak belakang yakni seorang perwira menengah dengan sok-sokan atau semaunya sendiri menghajar beberapa anak buahnya. Sedangkan di lain pihak beberapa polisi harus berjibaku dengan naik perahu motor melaksanakan tugas negara mengawal surat suara pemilihan gubernur dan wakil gubernur sehingga harus siap berkorban jiwa dan raga jika sampai mengalami tindakan kekerasan oleh kelompok separatis lokal di sana.
Jenderal Hugeng
Mudah- mudahan Komisaris Besar Ekotrio menjadi perwira terakhir yang terpaksa ditindak tegas oleh pimpinan Polri hanya gara-gara hal yang amat sepele itu. Namun masyarakat pasti tidak bisa melupakan bahwa beberapa tahun lalu seorang jenderal polisi harus diseret ke meja hijau gara-gara "memakan" uang rakyat dan negara dalam kasus penyediaan peralatan-peralatan seperti pembuatan surat izin mengemudi alias SIM dan surat tanda nomor kendaraan atau STNK.
Ekotrio mungkin lupa bahwa selama beberapa tahun terakhir ini sebenarnya citra atau kehormatan Korps Polri sedang
"naik daun" terutama akibat tindakan tegas dan keras satuan elite Detasemen Khusus (Densus) 88 yang bertugas memberantas terorisme di Tanah Air.
Entah sudah berapa ratus teroris atau tersangka teroris yang berhasil dibekuk oleh anggota Densus 88. Ada yang masih menjadi terduga, tersangka, terpidana tau mungkin sudah dihukum mati. Tapi di lain pihak masyarakat juga tidak akan bisa melupakan serangan teroris terhadap polisi seperti di Medan, Kelapa Dua Bogor. Bahkan masyarakat atau rakyat pasti akan mengingat keberhasilan Polri menumpas serangan teroris di sekitar kawasan Mohammad Husni Thamrin di Jakarta Pusat pada Januari 2016. Orang-orang di Tanah Air pasti melihat bagaimana beberapa polisi menembaki para teroris yang beraksi di kawasan "ring satu" di dekat Istana Kepresidenan.
Ekotrio mungkin tidak bertemu dengan Jenderal Polisi Hugeng Imam Santoso yang beberapa puluh tahun lalu pernah memimpin Polri. Hanya gara-gara hal yang amat sepele, Jenderal Hugeng harus kehilangan jabatannya. Saat dia memerintahkan pemakaian helm bagi para pengendara motor, namun banyak orang yang menentangnya. Namun, detik ini orang-orang pasti menyadari bahwa helm adalah alat yang amat vital untuk melindungi para pengendara motor seperti pada saat arus mudik serta arus balik.
Sebagai seorang perwira yang bertugas di bidang pendidikan di lingkungan internal POlri, maka seharusnya Ekotrio amat sadar tentang arti pentingnya bagaimana seorang polisi harus belajar menghormati semua polisi lainnya tanpa kecuali mulai dari yang berpangkat terendah misalnya bhayangkara dua alias bharada hingga jenderal berbintang empat seperti Tito Karnavian. Jika sesama polisi saja harus dihormati apalagi masyarakat luas mulai dari pemulung, tukang becak hingga tokoh masyarakat dan pemimpin partai politik.
Jenderal Polisi Hugeng dikenal sebagai orang yang amat sederhana dan tidak haus terhadap materi walaupun sudah menjadi komandannya Polri. Dia bahkan dikenal sebagai tokoh yang tergabung dlam kelompok musik The Hawaian Senior".
Pertanyaanya sekarang adalah masih adakah perwira polisi yang pantas sikap dan pemikirannya ditiru oleh polisi yang jumlahnya ratusan ribu orang di Tanah Air tercinta ini?.
Polri pasti memiliki bhayangkara dua, komisaris besar hingga jenderal- jenderal yang pintar bahkan bisa jadi jenius. Tapi diantara mereka semua itu adakah yang pantas untuk pribadinya pantas ditiru atau diikuti?
Hari Ulang Tahun Polri pada 1 Juli 2018 seharusnya benar- benar dijadikan sarana untuk bermawas diri oleh semua jajaran tanpa kecuali mulai dari hal sederhana misalnya melayani rakyat yang benar- benar tulus saat membutuhkan SIM dan STNK tanpa harus memberikan imbalan, penerimaan anggota Polri tanpa "uang sogokan" hingga razia kendaraan di jalan- jalan tanpa pamrih.
Rakyat Indonesia pasti mendambakan Bhayangkara yang bekerja secara tulus tanpa pamrih sekalipun gaji atau pendapatan mereka belum memadai apalagi gangguan keamanan di masa mendatang pasti akan tetap dan bahkan semakin banyak.
Berita Terkait
Polri dibawah Kemendagri perpanjang rantai birokrasi
2 Desember 2024 15:38
Kompolnas: Polri di bawah TNI khianati cita-cita reformasi
2 Desember 2024 13:17
Firli Bahuri batal hadiri pemeriksaan di Bareskrim
28 November 2024 14:21
Bareskrim tangkap 1 DPO kasus judi online situs W88
21 November 2024 14:41
Densus 88 Mabes Polri tangkap dua terduga teroris di OKU Timur Sumsel
20 November 2024 21:01
Kompolnas dukung putusan MK soal netralitas Polri di pilkada
18 November 2024 16:23