Bogor (Antaranews Babel) - Mantan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan mengusulkan pertemuan Mahkamah Agung, Dewan Pers, dan Komisi Penyiaran Publik untuk membahas mengenai aturan transparan pengadilan, menyusul perdebatan terkait dengan penayangan langsung jalannya persidangan oleh media.
"Usulan saja, apakah KIP, Dewan Pers, dan MA duduk bersama membuat aturan yang sifatnya etik," kata Bagir dalam Lokakarya Media di Pusdiklat Mahkamah Agung, Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis.
Bagir menyebutkan ada banyak ketegangan antara kebebasan pers dan indenpedensi pengadilan, seperti pengadilan yang ingin menjaga indenpedensi dan menjamin penegakan hukum yang benar. Dengan demikian, tidak terjadi bias, menjamin keadilan, dan menghindari terjadinya trial by the press.
Dari sisi kebebasan pers, katanya lagi, memiliki kepentingan, kemerdekaan pers yang memikul beban hak melalui tulisan atau suara, maupun gambar; menjamin kebebasan informasi, baik untuk menyimpan maupun menyebarluaskanya; sebagai pengawas publik atas nama publik; menempatkan diri sebagai wakil publik; adanya kepentingan pencari keadilan.
Dalam persidangan, lanjut Bagir, ada pasal yang mengatur syarat-syarat persidangan dalam KUHAP, yakni Pasal 153 Ayat (3).
Sidang terbuka untuk umum, untuk memastikan tidak ada hukum tanpa pengecualian, kepentingannya untuk melindungi privacy. Contoh sidang yang tidak boleh dibuka adalah persidangan anak karena anak belum layak menanggung beban hukum.
"Sebagai contoh kasus kematian Angelin, sudah tidak ada kepentingan untuk masa depannya, tetapi untuk rasa keadilan ini harus diungkap kepada publik bahwa ada kekejaman," katanya.
Sejalan dengan fungsi dan tugas media sebagai penyebarluasan informasi dan edukasi masyarakat, Bagir mengingatkan bahwa transparansi pengadilan jangan sampai merugikan orang lain.
Ia melihat ada diskriminasi dalam pemberitaan penangkapan pengedar narkoba yang wajahnya tertutup, sedangkan tersangka korupsi yang ditangkap wajahnya dipertontonkan.
Dalam kejadian ini, tersangka koruptor yang belum divonis oleh majelis hakim, telah lebih dahulu dihakimin oleh publik lewat pemberitaan media.
"Siaran langsung di pengadilan tidak boleh, di negara-negara lain tidak ada kamera masuk pengadilan, ditakutkan ada kesalahan," kata Bagir yang juga mantan Ketua Dewan Pers.
Perlu Regulasi
Sementara itu, Hakim Agung yang juga juru bicara MA, Suhadi, memandang perlu adanya regulasi mengatur siaran langsung di pengadilan.
Ia mengatakan bahwa perekaman persidangan yang terbuka untuk umum pada dasarnya tidak dilarang sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 04 Tahun 2012.
Akan tetapi, ketentuan dalam SEMA tersebut bukan termasuk siaran langsung televisi yang selama ini sering disiarkan dalam beberapa persidangan, seperti kasus kopi sianida yang melibatkan Jessica, persidangan perkara tipikor, hingga tersangka pelaku terorisme.
"Merujuk pada prinsip persidangan terbuka untuk umum, memang tidak ada aturan mengenai pelarangan penyiaran langsung di televisi," katanya.
Akan tetapi, kata dia, apakah penyiaran langsung dapat dikatakan sebagai salah satu untuk melaksanakan prinsip persidangan terbuka untuk umum?
Dalam perkara pidana, katanya lagi, alat bukti keterangan saksi memegang peranan sangat penting dalam pembuktian. Pasalnya, kebenaran yang dicari dalam pembuktian perkara adalah kebenaran materiil.
Konsekuensi logis dengan siaran langsung televisi maka saksi yang esok harinya akan memberikan keterangan sudah mengetahui situasi di persidangan dan dikhawatirkan akan memengaruhi kesaksiannya.
"Padahal, dalam KUHAP, mengatur antarsaksi tidak boleh berkomunikasi," kata Suhadi.
Anggota Dewan Pers, Ratna Komala mengingatkan pers harus bijak dan taat kode etik dalam melaksanakan peliput persidangan.
Ratna mengatakan bahwa bentuk transparansi persidangan adalah persidangan terbuka untuk umum yang membolehkan wartawan melakukan peliputan, merupakan salah satu fungsi pers sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
"Belum ada peraturan yang mengatur peliputan persidangan. Akan tetapi, jangan sampai hak-hak pers untuk meliput persidangan tidak diberikan," kata Ratna.
Menurut Ratna, dilema siaran langsung yang diputar sepanjang persidangan dikhawatirkan akan mengganggu ketertiban dan kelancaran persidangan.
Siaran langsung sepanjang persidangan juga berbahaya dalam kasus terorisme. Hal ini dikhawatirkan mengancam keamanan perangkat persidangan dan saksi.
Karena siaran langsung tanpa diedit, contoh kasus Antasari, muncul kontes asusila.
"Siaran langsung tanpa diberi konteks dan editorial oleh redaksi akan menimbulkan pemahaman sepotong-sepotong bagi pemirsa yang nonton sepotong-sepotong," kata Ratna.