Dalam merawat dan memantapkan demokrasi, janji politik yang perlu diwujudkan bukan cuma tekad yang muncul dari penguasa tapi juga yang diucapkan oleh kubu oposisi.
Terlepas dari kaburnya pemilahan secara tegas antara kubu penguasa dan oposisi dalam perpolitikan di Tanah Air, munculnya janji politik sebagai salah satu hasil pertemuan antara Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat dan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra pantas disyukuri, dicatat dan ditagih realisasinya.
Dalam pertemuan Selasa malam, Susilo Bambang Yudhoyono dan Prabowo Subianto antara lain bersepakat bahwa politik identitas, yang mengeksploitasi sentimen negatif suku, agama, ras dan antargolongan alias SARA, harus dicegah.
Siapa pun yang berkepentingan dengan pematangan praksis demokrasi akan menyambut dengan gembira atas lahirnya komitmen mencegah politik identias itu, meskipun tekad semacam itu sudah menjadi keniscayaan dan tak perlu digaungkan berulang kali.
Namun yang lebih penting dari sikap penerimaan atas janji politik itu, publik, terutama pegiat prodemokrasi, lebih berharap bahwa semua yang diucapkan itu direalisasikan dalam setiap kiprah dan langkah atau manuver politik penelur kesepakatan mencegah politik identitas itu.
Sekadar mengingatkan pengalaman masa lalu yang belum terlalu jauh dari ingatan publik, demokrasi pernah terancam oleh politik identitas yang terekspresikan lewat demonstrasi besar-besaran pada momen-momen menjelang Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017.
Kenapa demokrasi massal itu dapat dikategorikan sebagai ekspresi politik identitas? Karena unjuk rasa itu dilakukan oleh satu kekuatan sosial politik yang substansi perkaranya menyangkut isu SARA. Dari parameter ilmu-ilmu sosial apa pun, demo semacam itu adalah bermuatan politik identitas.
Fenomena itu jelas kontras dengan demo-demo yang dilakukan oleh massa dari beragam identitas keberagamaan yang target politiknya adalah untuk kepentingan bersama sebagaimana yang terpantul pada demo massal menggulingkan kekuatan otokrat Orde Baru pada 1998.
Yang menjadi poin dari pengingat kembali atas peristiwa unjuk rasa bermuatan politik identitas menjelang Pilgub DKI Jakarta 2017 itu adalah bahwa SBY dan Prabowo tak memperlihatkan pencegahan mereka atas fenomena mencemaskan bagi kelangsungan demokrasi saat itu.
Itu sebabnya ketika dalam pertemuan di rumah Presiden ke-6 tersebut muncul kesepakatan untuk mencegah politik SARA, pemangku kepentingan demokrasi berharap bahwa kesepakatan itu tak cuma menjadi janji politik dari kubu yang berseberangan dengan kubu pemerintah.
Banyak bentuk atau wujud pencegahan politik SARA yang bisa dijalankan. Sebagai ketua umum masing-masing partai yang berjati diri alias berideologi nasionalis dengan menjadikan Pancasila sebagai dasar parpol, SBY dan Prabowo harus sanggup mengajak kader mereka untuk mewujudkan pencegahan politik SARA.
Para juru bicara, kader, simpatisan masing-masing parpol dituntut menjauhkan diri dari membuat pernyataan-pernyataan provokatif yang bisa mengobarkan sentimen politik identitas.
Ciri paling menonjol dalam ekspresi politik identitas adalah pengutipan ayat-ayat suci yang eksklusif dalam kampanye. Pernyataan politik yang melahirkan citra negatif atas etnis atau pengikut iman tertentu harus dicegah.
Kelompok etnis atau pengikut iman tertentu berdemonstrasi untuk menentang kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan kelompok pendemo itu dihalalkan oleh demokrasi. Namun, partai politik yang urusannya adalah menyangkut kepentingan bersama tak boleh menungganggi demo semacam itu untuk keuntungan politis parpol.
Dalam konteks ini, diniscayakan bahwa semua parpol berideologi dasar Pancasila dan mengoperasikannya dalam berebut atau mempertahankan kuasa. Ketika ada parpol yang mendasarkan ideologinya secara implisit bukan pada Pancasila, tapi pada teologi agama, perjuangan lewat politik identitas segera menjadi karakteristiknya.
Meskipun politik identitas diprediksi tak akan mempunyai prospek, sebagaimana disimpulkan oleh periset ilmu politik Saiful Mujani yang meneliti perkara itu selama 20 tahun sejak era demokratis 1998, kalangan minoritas masih khawatir dan prihatin terhadap kecenderungan politikus yang secara implisit maupun eksplisit melontarkan pernyataan-pernyataan bermuatan anasir SARA.
Menghilangkan sama sekali munculnya pernyataan bermuatan SARA di era ketika setiap individu mempunyai saluran ekspresi politik lewat media sosial jelas mustahil. Lewat media semacam itu pernyataan yang mengobarkan sentimen primordial intoleran terproduksi setiap saat.
Pada momen itulah setiap tokoh politik dituntut mengimbanginya dengan pernyataan-pernyataan tandingan, yang targetnya adalah mencegah politik SARA. Hal-hal seperti inilah yang harus diwujudkan sedikitnya oleh SBY dan Prabowo yang membuat kesepakatan untuk mencegah politik SARA. Tentu hal serupa juga dituntut pada elite politik lain.
Sebetulnya mencegah politik identitas alias SARA atau sektarian simpel saja. Jika pertarungan politik selalu diekspresikan lewat perang program demi kesejahteraan bersama, otomatis tak ada ruang untuk mengobarkan politik primordial itu.
Sayangnya, para politikus terlampau terseret ke isu-isu di luar program, yang pada akhirnya merembet ke perkara politik identitas. Fenomena mengulur-ulur waktu untuk saling menunggu sebagai trik menentukan calon wakil presiden menjelang Pemilihan Presiden 2019 membuktikan bahwa adu program menjadi urusan sekunder elite politik.
Antara kubu petahana dan kubu penantang bukannya memamerkan program-program yang dijadikan andalan untuk memenangi kontes perebutan RI1, tetapi mereka malah bermanuver tentang penentuan siapa yang akan dijadikan pasangan capres-cawapres melawan kubu lawan.
Itulah pencapaian maksimal yang bisa diusahakann untuk mempertahankan demokrasi di sini hari ini.
Berita Terkait
Cek fakta, Presiden Prabowo imbau sekolah diliburkan pada Ramadhan 2025
2 Desember 2024 16:19
Cek fakta, Prabowo perintahkan jatuhi hukuman mati pada AKP Dadang Iskandar
1 Desember 2024 09:33
Presiden Prabowo: Anggaran makan bergizi Rp10.000 per anak/ibu hamil per hari
29 November 2024 20:38
Presiden Prabowo umumkan upah minimum nasional 2025 naik 6,5 persen
29 November 2024 18:08
Presiden Prabowo: Setiap rupiah milik rakyat harus dinikmati oleh rakyat
28 November 2024 21:01
Prabowo umumkan dana kesejahteraan guru 2025 naik jadi Rp81,6 triliun
28 November 2024 20:58
Pemerintah alokasikan Rp17 triliun perbaiki 10.440 sekolah pada 2025
28 November 2024 19:44