Semarang (Antara Babel) - Permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dinilai sangat urgen karena berpotensi pada kerugian konstitusional dan pemborosan keuangan negara.

Tidak pelak lagi, sejumlah anak bangsa mengajukan permohonan itu ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar produk Pilpres 9 Juli mendatang tidak menjadi masalah di kemudian hari.

Mahkamah Konstitusi pun pada hari Senin (16/6) menggelar tiga permohonan pengujian Pasal 159 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) terhadap UUD 1945.

Mereka yang mengajukan permohonan tersebut, antara lain Andi Muhammad Asrun, Heru Widodo, Zainal Arifin Hoesein, dkk. (Pemohon Perkara Nomor 50/PUU-XII/2014); Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Rahmi Sosiawaty, dan Khoirunnisa Nur Agustyati (Pemohon Perkara Nomor 51/PUU-XII/2014); serta Sunggul Hamonangan Sirait dan Haposan Situmorang (Pemohon Perkara Nomor 53/PUU-XII/2014).

Dalam Pasal Pasal 159 Ayat (1) UU Pilpres, disebutkan bahwa pasangan calon terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.

Dalam Ayat (2), disebutkan bahwa dalam hal tidak ada pasangan calon terpilih sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam Pilpres.

Sementara itu, ketentuan dalam Pasal 6A UUD 1945 terdiri atas lima ayat, yakni Ayat (1) menyebutkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Kemudian, Ayat (2) berbunyi: "Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum."
   
Berikutnya, Ayat (3) menyebutkan bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.

Selanjutnya, Ayat (4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan pasangan yang memperoleh suara terbanyak dilantik sebagai presiden dan wakil presiden.

Ayat terakhir atau Ayat (5) berbunyi: "Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang."
   
Kemudian, lahirlah UU Pilpres (UU No. 42/2008) yang di dalamnya "mengadopsi" Ayat (3) UUD 1945, atau terdapat dalam Pasal 159 Ayat (1). Namun, belakangan menimbulkan polemik dan bahkan menggerakkan sejumlah anak bangsa untuk menguji pasal tersebut ke MK.

    
                       Cukup Satu Putaran
Inti dari tiga permohonan perkara pengujian UU Pilpres terhadap UUD 1945 itu adalah Pilpres 2014 cukup satu putaran karena hanya diikuti dua pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Mereka yang menjadi kontestan Pilpres 2014, yakni peserta nomor 1 Prabowo Subianto-Hatta Radjasa yang diusung Partai Gerindra, PAN, Partai Golkar, PKS, PPP, dan PBB, sedangkan peserta nomor 2 Joko Widodo-Muhammad Jusuf Kalla yang diusung PDI Perjuangan, Partai NasDem, PKB, Partai Hanura, dan PKPI.

Dalam sidang MK dengan agenda pemeriksaan pendahuluan yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Arief Hidayat didampingi Hakim Konstitusi Muhammad Alim dan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (16/6), pemohon Andi Muhammad Asrun berpendapat bahwa Pasal 159 Ayat (1) UU No. 42/2008 sesungguhnya dirancang untuk Pilpres dengan jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden lebih dari dua pasangan.

Jika Pilpres 2014 dua putaran, kata Andi Muhammad Asrun, kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden yang sama akan bertarung kembali dan akan mengakibatkan pemborosan keuangan negara dan ketidakstabilan politik. Bahkan, mungkin tidak mungkin akan menimbulkan gesekan sangat keras dan berdarah di kalangan akar rumput pada masing-masing pendukung.

Untuk menjawab peristiwa konkret dalam Pilpres 2014, Andi Muhammad Asrun berpendapat bahwa agar ketentuan Pasal 159 Ayat (1) UU No. 42/2008 tidak menimbulkan multitafsir, sudah saatnya dan seharusnya diberikan makna dan/atau tafsir baru oleh MK sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan dan berfungsi sebagai "the guardian of the constitution and the panel interpretation of constitution", yaitu tidak diberlakukan untuk Pilpres dengan dua peserta.

Ia pun lantas mengusulkan menambah frasa "... dan tidak diberlakukan untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan dua pasangan calon presiden dan wakil presiden" dalam Pasal 159 Ayat (1) UU No. 42/2008".

Dengan demikian, bunyi pasal tersebut: "Pasangan calon terpilih adalah pasangan calon yang bersuara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi Indonesia dan tidak diberlakukan untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan dua pasangan calon presiden dan wakil presiden."

Para pemohon memohon majelis hakim konstitusi mengabulkan permohonan mereka untuk seluruhnya, kemudian menyatakan Pasal 159  Ayat (1) UU Pilpres tidak bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang pasal tersebut tidak diberlakukan untuk Pilpres dengan dua pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Selain itu, majelis hakim juga menyatakan UU No. 42/2008 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang Pasal 159 Ayat (1) UU Pilpres tidak diterapkan dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan dua pasangan calon presiden dan wakil presiden.

"Memberitakan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau, apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). Terima kasih, Yang Mulia," kata pemohon Andi Muhammad Asrun. (Sumber: mahkamahkonstitusi.go.id).

    
                        Sangat Urgen
 Menanggapi permohonan tersebut, Ketua Panel Arief Hidayat mengemukakan, "Perlu saya sampaikan, saya melihat dan merasakan juga keprihatinan dari para pemohon sehubungan dengan pasal-pasal yang dimohonkan karena bisa berdampak pada kerugian konstitusional yang sekaligus di dalamnya mengandung kerugian sosial, politik, ekonomi, dan sebagainya. Oleh karena itu, kita melihat bahwa permohonan ini sangat urgen."
Arief Hidayat meminta para pemohon untuk bisa menjelaskan secara lebih tajam mengenai ketentuan Pasal 159 Ayat (1) UU No. 42/2008 yang menimbulkan multitafsir itu.

Dalam sidang tersebut, Arief juga meminta para pemohon lebih mempertajam permohonannya dengan lebih memperdalam positanya agar hakim menjadi makin yakin untuk menentukan yang paling konstitusional di antara ketentuan yang ada.

Dalam kesempatan itu dia juga menjelaskan apa yang dimaksud dengan pendekatan "original intent" dalam arti yang sempit. "Bahwa Presiden Republik Indonesia itu adalah Presiden NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Karena Presiden NKRI, beliau harus didukung oleh sebaran wilayah geografis, didukung oleh penduduk Indonesia dari Merauke sampai ke Sabang. Itu 'original intent' dalam arti sempit," katanya.

Paham yang kedua, lanjut Arief, lebih mendekatkan problematika ini dengan menggunakan pendekatan yang telah disampaikan oleh kuasa hukum Pemohon Perkara Nomor 51/PUU-XII/2014 Wahyudi Djafar.

Dalam konteks Pilpres 2014, kata Wahyudi Djafar, prinsip "the living constitution" (konstitusi yang hidup) juga harus dilaksanakan. "Bahwa asumsi awal dari tim perumus Perubahan Ketiga UUD 1945, yang disahkan pada bulan November 2001, pasangan calon presiden dan wakil presiden akan selalu lebih dari dua pasangan calon, tidak terjadi pada Pemilu 2014," katanya.

Wahyudi Djafar juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan  pendekatan "original intent", kekhawatiran tidak terpenuhinya persyaratan yang termaktub di dalam Pasal 6A Ayat (3), sesungguhnya dapat dijawab dengan keberadaan Pasal 6A Ayat (4) dalam Amendemen Keempat UUD 1945 yang disahkan pada bulan Agustus 2002. Pada  ketentuan ini, para pembentuk UUD 1945 menandaskan berlakunya suara terbanyak sebagai operasional dari prinsip kedaulatan rakyat.

"Bahwa situasi hari ini membutuhkan tafsiran yang jelas dan pasti perihal penafsiran dari ketentuan Pasal 6A Ayat (3) dan Ayat (4) UUD 1945 agar terdapat kesepahaman dan kepastian regulasi dalam penyelenggaraan Pilpres 2014," ujarnya.

Arief Hidayat, Wakil ketua MK, juga menyinggung pernyataan Pemohon Perkara Nomor 50/PUU-XII/2014 Andi Muhammad Asrun bahwa MK sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan dan berfungsi sebagai "the guardian of the constitution" (pengawal konstitusi).

Itu berarti, kata Arief, harus mampu menghidupkan konstitusi  ini menjadi "the living constitution", yaitu konstitusi yang hidup, konstitusi yang mampu mengikuti dengan perkembangan masyarakatnya. "Kalau terjadi seperti itu, yakni calonnya hanya ada dua, ya, untuk apa kita hanya memenuhi formalitas," ujarnya.

Arief juga menegaskan bahwa pihaknya pernah menggunakan pendekatan tersebut terkait dengan masalah pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. "Karena ini adalah tugas dari Mahkamah Konstitusi sebagai 'guardian of constitution', mampu menggerakkan konstitusi yang hidup," ujarnya.

Ketika menyinggung soal perlu-tidaknya amendemen lagi terhadap UUD 1945 terkait dengan hal itu, Arief pun menegaskan, "Tidak perlu. Yang berubah adalah undang-undangnya, misalnya, gitu. Nah, itu disebut 'the living constitution'."
Akan tetapi, lanjut dia, bisa juga ada orang yang mengatakan bahwa pendekatan yang demikian adalah "original intent" yang sifatnya luas atau "original intent" yang komprehensif dan holistis. Mahkamah Konstitusi pernah memakai pendekatan "original intent" yang komprehensif dan holistis. Akan tetapi, tidak menggunakan pendekatan komprehensif yang sempit.

Wakil Ketua MK ini juga mencantumkan alasan untuk dua pasangan harus dihindari putaran kedua karena pemborosan anggaran yang seharusnya bisa digunakan untuk kepentingan nasional lainnya.

Untuk itu, majelis panel menyarankan para pemohon memperbaiki permohonannya dan secepatnya diserahkan karena sidang perbaikan permohonan dilaksanakan pada hari Rabu (18/6).

Tidak saja pemohon dalam perkara tersebut, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo serta sejumlah pihak pun berharap Pilpres 2014 cukup satu putaran. Apalagi, berpotensi menghemat anggaran negara hingga Rp3,2 triliun.

"Cukup satu putaran saja," kata Tjahjo yang juga Ketua Tim Kampanye Nasional Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla di Semarang, Minggu (15/6).

Kini, tinggal menunggu ketukan palu majelis hakim MK apakah Pilpres 2014 satu atau dua putaran.

Pewarta: Oleh D.Dj. Kliwantoro

Editor : Aprionis


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2014