Dinas Pertanian Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terus melakukan pengawasan atas perkebunan sawit, mulai dari bibit hingga penjualan hasil panen petani sawit.

"Kita ketahui harga sawit mengalami penurunan hingga Rp 600 di 2018 lalu. Namun, sejak Desember 2019, harga sawit terus mengalami kenaikan hingga mencapai harga Rp 1.600," kata Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, Erzaldi Rosman di Pangkalpinang, Selasa.

Ia mengatakan, sejak 2019 lalu pihaknya telah membentuk tim khusus terkait pengawasan harga sawit di Babel. Tim ini dinamai satgas sawit, yang merupakan gabungan dari berbagai pihak, seperti Kepolisian, TNI, hingga dinas pertanian.

Sistemnya adalah mengawasi harga beli sawit oleh pabrik (korporasi) sesuai dengan harga sawit yang resmi dikeluarkan Dinas Pertanian Babel setiap bulannya. Ini diharapkan dapat terus diawasi, baik di pabrik maupun korporasi seperti koperasi yang bertugas sebagai pengumpul.

"Kepada para petani dan pengumpul, ketika harga membaik seperti saat ini, jangan menurunkan kinerja dan penerapan SOP yang telah disusun, karena ini bertujuan agar meningkatnya harga jual sawit ini tetap stabil," ujarnya.

Harga jual jika tidak dikelola dengan sistem tata niaga yang baik seperti dibentuknya kerjasama dengan korporasi, maka akan menyebabkan harga yang terus merosot disebabkan indikasi yang hanya menguntungkan segelintir orang saja.

Erzaldi berharap upaya ini dapat memotivasi masyarakat yang memiliki perkebunan sawit untuk sadar dan kemudian ikut dalam program kerja sama dengan korporasi yang telah diterapkan di Babel. 

"Banyak sekali manfaat untuk petani sawit yang sebelumnya menjual harga Tandan Buah Segar (TBS) nya secara mandiri. Petani yang bermitra dengan korporasi tidak perlu cemas dengan harga yang tidak sesuai dengan modal produksinya, karena harga telah disepakati sejak awal perjanjian," ujarnya.

Kepala Dinas Pertanian Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Juaidi, menambahkan, kenaikan harga ini mengacu kepada harga dunia yang terkena dampak global.

Salah satunya juga merupakan dampak dari kebijakan Pemerintah Pusat tentang penerapan  Biodiesel 30 persen (B30). Selain itu, dampak dari diklaimnya CPO Malaysia oleh India juga ikut mempengaruhi.

"Ketika harga CPO dunia meningkat, maka akan berdampak juga terhadap perhitungan TBS perbulan yang dihitung dan ditetapkan oleh Dinas Pertanian Babel," ujarnya.

Menurut Juaidi, bisa dipastikan sudah banyak petani yang menyadari perlunya bergabung dengan korporasi atau kelembagaan. Kelembagaan memberi peran besar terhadap harga jual petani yang telah memiliki kerja sama atau bermitra dengan korporasi, ketimbang petani yang mandiri. Sehingga, petani akan ikut merasakan kenaikan harga jika secara global permintaan TBS meningkat.

"Yang saya khawatirkan adalah para petani mandiri yang belum terikat kemitraan akan lebih sulit menjual TBS  karena masuk dalam antrian terakhir untuk dibeli oleh pabrik, jika pabrik cukup pasokan, maka TBS petani mandiri tidak dibeli oleh pabrik dan TBS akan membusuk," ujarnya.

Pewarta: Elza Elvia

Editor : Adhitya SM


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2020